Home Sumatera Sungai Sudah Tercemar, Sarolangun Dalam Ancaman Krisis Air Bersih

Sungai Sudah Tercemar, Sarolangun Dalam Ancaman Krisis Air Bersih

Sarolangun, Gatra.com - Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Sarolangun, Provinsi Jambi, menyatakan bahwa sejumlah sungai yang menjadi sumber air baku untuk kehidupan sehari-hari warga daerah tersebut, saat ini sudah masuk kategori tercemar.

Kepala Dinas Lingkungan Hidup Sarolangun, Iwan Kurniawan melalu Kepala Bidang (Kabid) pengendalian, pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup, Eva Riyanti mengatakan ada enam titik sungai yang selalu mereka lakukan uji laboratorium untuk menguji indeks kualitas air di daerah itu.

"Ada enam titik, yaitu sungai Limun hulu, di Desa Panca Karya kami ambil sampelnya. Kemudian Batang Asai hulu, Batang Asai hilir, sungai Tembesi hulu di Limbur, sungai Tembesi hilir di Muara Ketalo, terakhir sungai Air Hitam di Lubuk Kepayang," katanya kepada Gatra.com baru-baru ini.

Ia menyebut, dalam pengertiannya air atau badan air, atau disebut dengan pemantauan air sungai. Badan air itu air permukaan, dan ada juga air tanah yang menjadi kegiatan pemanfaatan air oleh warga selama ini.

"Jadi, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Sarolangun ini ada melakukan kegiatan pemantauan air yang mana tujuannya itu untuk mengetahui indeks kualitas air sungai kita," ujarnya.

Ia menjelaskan, untuk mengetahui indeks kwalitas air sungai ini mengacu pada permenLH nomor 27 tahun 2021 tentang indeks kualitas lingkungan hidup, yang mana didalamnya ada tentang indeks kualitas air.

Kesimpulan yang diambil dari enam titik pemantauan yang dilakukan pihak Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Sarolangun, menyatakan air sungai yang ada sudah tercemar.

"Dari hasil perhitungan indeks pencemaran air (IPA) untuk keenam titik sampling, status mutu air satu memenuhi baku mutu, yaitu sungai air hitam dan lima tercemar ringan," kata Eva Riyanti.

Eva Riyanti melanjutkan, bahwa dari hasil tersebut kalau dilihat dengan kasat mata sudah sangat jelas seluruh sungai yang ada saat ini terlihat keruh dan pekat, karena dampak aktivitas penambangan emas tanpa izin (PETI) yang semakin marak didaerah tersebut.

Ancaman Krisis Air Bersih

Dari hal tersebut, tentu sangat berdampak terhadap persediaan air bersih bagi masyarakat daerah itu saat ini. Karena air bersih termasuk dalam kebutuhan manusia untuk kehidupan sehari-hari.

Saat ini, kalau bicara tentang air bersih. Di Kabupaten Sarolangun, Perusahaan Daerah Tirta Sako Batuah merupakan satu-satunya perusahaan daerah air minum (PDAM) berbasis masyarakat yang dikelola oleh pemerintah daerah setempat.

Melihat kondisi air sungai yang saat ini semakin keruh, pihak PDAM setempat juga mengeluhkan kondisi tersebut karena dianggap sangat mengganggu produksi air baku yang menjadi persediaan untuk mereka salurkan.

"Kalau untuk saat ini, memang yang menjadi kendala kita itu adalah sumber air baku. Sumber air baku kita ini kan kalau kita lihat memang sangat jelek, sehingga sangat sulit untuk produksi," kata Direktur PDAM Sarolangun, Syargawi kepada Gatra.com.

Syargawi mengatakan hal tersebut juga ada kaitannya dengan perubahan iklim saat ini. "Ka lau melihat kedepan iklim ini memang kan, bisa dikatakan tidak menentu. Kadang panas, kadang hujan, dengan situasi panas itu berarti sumber air baku semakin tidak karu-karuan itu," ujarnya. 

Saat ini memang bisa dilihat, dengan debit air yang besar ketika musim hujan tingkat kekeruhan sungai-sungao di Sarolangun sudah tinggi. Nah, apabila pada musim kering artinya debit air yang ada di sungai itu rendah.  Sehingga kegiatan yang dilaksanakan oleh penambang-penambang emas tanpa izin (PETI) itu mengalirkan lumpur-lumpur yang kental sehingga membuat tingkat kekeruhan air sungai atau air baku semakin tidak terkendali.

"Kita melihat ini suatu fenomena yang kurang baik di dalam sistem pengelolaan penyedia air minum yang ada di perusahaan daerah (Perumda) Tirta Sako Batuah ini. Karena memang seharusnya kemampuan dari instalasi pengelolaan air (IPA) kita itu mengolah pada tingkat kekeruhan air yang cukup rendah," kata Syargawi.

Dengan situasi perubahan iklim yang tidak menentu ini menurutnya tingkat kekeruhan air baku itu semakin tinggi, sehingga hasil produksi itu sangat bergantung menjadi tidak positif. Karena sungai-sungai yang menjadi sumber air baku itu sekarang secara kualitas sudah tidak bagus oleh eksplorasi alam yang saat ini telah dilakukan secara berlebihan.

Pihak PDAM sendiri juga kesulitan melakukan perbaikan, karena kondisi keuangan yang tidak prima. "Kalau dari total jumlah rekening yang kita cetak setiap bulan, itu tingkat ketertiban mambayarnya hanya berkisar 60 persen dari total jumlah pengguna sebanyak 12.000 rekening," ujar Syargawi.

Artinya masih rendah kesadaran masyarakat untuk membayar rekening air tepat waktu, ini jelas berpengaruh pada cashflow perusahaan kepada pendapatan dan penerimaannya.

"Saya menggaris bawahi, bahwasanya ini menjadi ancaman juga terhadap keberlangsungan operasional perusahaan. Tentu masyarakat itu berharap airnya lancar, air yang lancar pelayanan yang baik itu harus berbanding lurus dengan kesadaran masyarakat untuk membayar rekening air tepat waktu," katanya.

Bagaimana pihaknya bisa memberikan pelayanan yang baik, sementara disatu sisi dalam pembayaran rekening setiap bulan saja itu banyak sekali tunggakannya. Inikan tentu tidak baik di dalam suatu pengelolaan keuangan dalam suatu perusahaan.

"Soal harga jual ke masyarakat pengguna ada klasifikasinya. Ada, kalau kita sekarang menggunakan tarif dasar dari ketentuan permendagri nomor 21 tahun 2020, jadi tentang perubahan tarif atas batas bawah itu kita menentukan tarif kemarin itu oleh kepala daerah itu di angka Rp4.900 per meter kubiknya yaitu untuk tarif dasar rumah tangga," jelasnya.

Menurut Syargawi Ini sebenarnya kalau dihitung dari biaya harga pokok produksi perusahaan masih jauh di bawah, sementara harga pokok produksi itu lebih kurang Rp7000 per meter kubiknya. Nah, artinya pihak perusahaan harus merugi.

"Jadi, tarif yang kita tetapkan sekarang tidak bisa menutupi biaya beban penuh, kalau dilihat dari penilaian itu saja kan kelihatan sekarang kan, kecuali tarif itu sendiri sudah ditetapkan berdasarkan ketentuan bisa menutupi biaya beban penuh," katanya.

Terkait situasi ancaman krisis air bersih itu sendiri sekarang kata Syargawi, dari dulu memang yang menjadi problem memang hal itu. "Sebelum maraknya PETI ini tidak begitu berpengaruh, karena air baku itu masih bening. Kalau sekarang kita sulit mengelola air baku itu jadi air hasil produksi, intinya ancaman itu saat ini semakin nyata dan kita sudah merasakannya saat ini," kata Sargawi.

Berikutnya tentu terkait situasi saat ini memang perlu perhatian lebih serius dari pemerintah daerah. Mungkin perlu mengambil suatu kebijakan terkait pelestarian sumber air baku ini, agar pengelolaan PAM yang ada di Kabupaten Sarolangun ini bisa lebih baik.

Nah, kemudian juga tentu pihaknya membutuhkan anggaran. Kalau seandainya mereka tidak bisa merubah air baku disungai itu dari hulunya menjadi lebih baik, pihaknya yang melakukan inovasi di sistemnya, cuma kan untuk mebuat inovasi ini kan butuh anggaran.

"Itu perlu kita lakukan, supaya nanti cost biaya produksi air bersih itu rendah. Mungkin dengan cost biayanya rendah itu kita mungkin bisa menekan biaya operasionalnya, artinya memang butuh dukungan pemerintah daerah bahkan sangat butuh," kata Sargawi.

"Saat ini memang dibantu oleh Pemda itu, untuk biaya operasional. Tapi, untuk kita melakukan pengembangan, investasi, dan inovasi-inovasi itu tidak ada. Untuk tahun ini tidak ada," katanya lagi.

Ancaman Krisis Air Bersih Mulai Masuk Desa

Ancaman krisis air bersih di Kabupaten Sarolangun saat ini, tidak hanya di wilayah perkotaan yang masih bisa bergantung pada ketersediaannya yang dikelola dari PDAM setempat.

Ancaman itu juga mulai menghantui masyarakat pedesaan, yang sedianya tentu dianggap tidak mungkin mengalami krisis air bersih, namun pada kenyataannya saat ini ancaman tersebut diakui telah terjadi.

Karena kondisi air sungai yang dulu masih menjadi tempat bergantung mereka terhadap air bersih, saat ini sudah masuk kategori tercemar dan keruh, akibat aktivitas PETI yang semakin tidak terkendali.

"Dulu sekitar belasan tahun keatas yang lalu, sebelum ada aktifitas PETI di badan sungai, airnya masih bisa kita manfaatkan secara langsung untuk dimanfaatkan untuk kebutuhan sehari-hari," kata Kepala Desa Demang, Kecamatan Limun, Fahrul Rozi kepada Gatra.com.

Kebutuhan yang dimaksud, kata Fahrul, yaitu seperti mandi, minum, memasak dan berbagai penggunaan lainnya. Sekarang jangankan untuk minum, untuk mandi pun secara langsung tidak ada lagi.

"Yang ada sekarang, masyarakat untuk konsumsi itu beli dari warga lainnya yang membuka usaha air bersih yang memanfaatkan air tanah seperti sumur salah satunya, sungai saja kering kalau musim kemarau, apalagi sumur, itu kalau kita bicara terkait situasi iklim saat ini," ujar Fahrul.

Situasi ini tentu kata Fahrul tidak bisa dibiarkan dalam jangka panjang, karena hal tersebut bukan merupakan tradisi atau kebiasaan bagi masyarakatnya sejak nenek moyang dulu.

"Artinya ini kan, sangat berdampak terhadap situasi masyarakat pedesaan. Membeli air bersih itu bukan kebiasaan mereka dari dulu, bagaimana kalau hal ini terjadi dalam jangka panjang, apalagi situasi ekonomi semakin sulit saat ini," katanya.

Terkait situasi ekonomi ini katanya, saat ini memang masih ada kemampuan untuk membeli air bersih atau air masak untuk diminum karena masih ada pekerjaan di tambang-tambang yang masih berjalan.

"Untuk air saja saat ini pengeluaran per rumah tangga itu, mulai dari Rp300 ribu sampai dengan Rp500 ribu perbulan, dengan estimasi satu galon air Rp7000 per galon tiap rumah tangga," kata Fahrul.

Tutupan Hutan Terganggu PETI

Perubahan iklim tentu ada ketergantungannya dengan kondisi tutupan hutan, karena hal tersebut sangat berpengaruh terhadap situasi permukaan air di badan sungai.

"Salah satu dampaknya, bisa kita lihat ketika hutan semakin gundul adalah banjir yang tak terkendali dan tak biasa sering terjadi, dan ketika kemarau permukaan air sungai pun semakin dangkal," kata Kepala Kesatuan Pengelola Hutan Produksi (KPHP) Hulu unit VII perwakilan Dinas Kehutanan Provinsi Jambi di Kabupaten Sarolangun, Baim Arbain kepada Gatra.com.

Baim mengatakan saat ini kondisi penutupan hutan di wilayah tersebut yang menjadi fokus pengawasan bagi pihaknya seluar 127.252 hektar yang terdapat di tiga Kecamatan, yaitu Kecamatan Limun, Cermin Nan Gedang, dan Batang Asai.

"Tutupan hutan ini terbagi atas hutan dan non hutan, hutan itu sendiri terbagi dua, ada hutan lahan kering primer dan ada hutan lahan kering sekunder," katanya.

Baim menjelaskan, hutan lahan kering primer ini adalah termasuk hutan yang masih dengan pepohonan atau tumbuh-tumbuhan yang masih lebat, yang ketika berada di tengahnya kalau melihat ke atas, sinar matahari tidak terlihat.

"Sementara hutan lahan kering sekunder, ini termasuk hutan yang pernah terjamah. Kalau kita berada di tengahnya ketika melihat ke atas itu permukaannya sudah terbuka dan sinar matahari bisa terlihat," kata Baim.

Selanjutnya soal non hutan itu terbagi seperti belukar, pemukiman, perkebunan, pertambangan, pertanian lahan kering, pertanian lahan kering campur, sawah dan tanah terbuka.

"Dan seluruh hutan yang ada saat ini, situasinya memang sudah terganggu oleh aktifitas PETI, memang tidak besar, tapi kan aktifitas ini masih berlangsung hingga saat ini," katanya.

Baim menyebut, terutama saat ini di daerah-daerah hulu sungai Limun aktifitas PETI ini masih berlangsung saat ini yang masing berada dan masuk dalam wilayah hutan lindung.

"Diantaranya ada di dusun Manggis Desa Napal Melintang, dan Desa Lubuk Bedorong, dari jumlah total tutupan hutan yang ada, itu kita perkirakan sudah terganggu itu ada sekitar 5000 an hektar," kata Baim.

Hal ini katanya tentu tidak bisa dibiarkan, karena lambat laun akan terus mengurangi tutupan hutan yang ada saat ini. Karena aktifitas PETI itu masih ada.

491