Home Politik Drama Politik Jokowi, Pengamat: Presiden Selayaknya Jadi Negarawan, Bukan Berpolitik Praktis Gila Kuasa

Drama Politik Jokowi, Pengamat: Presiden Selayaknya Jadi Negarawan, Bukan Berpolitik Praktis Gila Kuasa

Jakarta, Gatra.com - Pertemuan Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) dengan ketua umum partai politik beberapa waktu lalu, hingga pembacaan pidato di depan relawannya semakin menunjukkan geriliya politiknya. Analis Politik Sekaligus CEO & Founder Voxpol Center Research and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago, mengatakan bahwa drama politik akan semakin dimainkan oleh tokoh-tokoh berpengaruh, salah satunya Jokowi.

"Drama politik dimainkan Presiden Jokowi, satu langkah sudah dimenangkan meski melalui jalan terjal dan berliku. Megawati dan PDI-P akhirnya takluk dengan secara resmi mengusung Ganjar Pranowo sebagai bakal calon presiden," katanya dalam keterangan tertulisnya, Kamis (18/5).

Menurutnya, dipercepatnya deklarasi pengumuman capres dari PDI-P yang semula dijanjikan Megawati pada HUT PDI-P yang ke-50 bertepatan pada hari Haul Bung Karno, 1 Juni 2023 mendatang, akhirnya diumumkan pada satu hari menjelang lebaran menunjukkan adanya hal-hal yang memengaruhinya. Pendeklarasian Ganjar sendiri menunjukkan semakin mengerucutnya dukungan parpol setelah sebelumnya ada Anies Baswedan dan Prabowo yang sudah dideklarasikan.

Ia menilai bahwa langkah berikutnya yang akan diambil Jokowi yakni dengan memastikan calon wakil presiden yang berpasangan dengan Ganjar adalah orang yang tepat sesuai dengan yang ia inginkan. Caranya, relawan Pro Jokowi menjadi senjata paling ampuh yang kembali digerakkan melalui serangkaian acara bertajuk Musyawarah Rakyat (Musra).

"Musra sepertinya sudah dijadikan sebagai daya tawar atau bargaining position oleh Jokowi untuk bernegosiasi dengan partai politik [terutama dengan PDI-P] untuk memuluskan langkahnya, dan sejauh ini telah terbukti cukup ampuh," lanjutnya.

Melalui ajang Musra ini, ia menyebut bahwa Jokowi sedang mengirimkan pesan bahwa kepada internal relawan untuk bahu membahu melakukan penguatan soliditas relawan.

"Kedua, pesan kepada parpol untuk mendengarkan suara relawan. Ketiga, adanya pesan bahwa selain dukungan parpol, sosok Jokowi masih punya dukungan jejaring yang kuat di akar rumput melalui simpul-simpul relawan," terangnya.

Namun, langkah politik Jokowi ini tidak sepenuhnya bisa diterima. Baginya, ini bisa menjadi “preseden” buruk karena presiden yang sedang berkuasa tanpa rasa malu menjadikannya makelar demi kepentingan politik temporal dan merendahkannya sendiri.

"Seorang presiden sudah selayaknya naik level menjadi seorang negarawan bukan hanya sekadar politisi pragmatis gila kuasa. Terlibat aktif dalam melakukan negosiasi, bahkan menunjukkan dukungan secara terbuka akan memberikan dampak negatif yang sangat berbahaya terhadap penyelenggaraan pemilu 2024 nanti," katanya.

Menurutnya, netralitas akan menjadi isapan jempol baik dari penyelenggara dan bahkan dari aparat negara yang lain, yakni ASN, TNI, POLRI. Itu artinya, penyelenggaraan pemilu yang curang sudah di depan mata.

Pangi menyatakan bahwa pidato berapi-api Jokowi di hadapan relawan yang penuh dengan harapan, janji, dan jargon politik yang selalu membawa-bawa nama “rakyat”, menimbulkan kesan bahwa Jokowi lebih terlihat sebagai seorang calon presiden ketimbang “King Maker”. Padahal, sebagai seorang presiden, pidato ini seharusnya tidak menunjukkan hal itu.

Ia menekankan bahwa presiden yang sedang berkuasa tidak bisa memaksa kehendak rakyat. Jangan sampai, seolah-olah suara presiden adalah representasi suara rakyat.

Kedaulatan tetap berada di tangan rakyat. Presiden Jokowi hanya menjalankan mandat rakyat. Kriteria presiden biarlah rakyat secara emperik objektif yang menentukan dan tidak boleh diintervensi oleh pikiran intersubjektif Jokowi.

"Biarkan rakyat secara mandiri menentukan nasibnya dalam memutuskan preferensi pilihan presiden yang tepat untuk masa depan Indonesia," pungkasnya.

69