Home Kesehatan ICMI Minta Pemerintah dan DPR Bahas RUU Kesehatan Lebih Komprehensif

ICMI Minta Pemerintah dan DPR Bahas RUU Kesehatan Lebih Komprehensif

Jakarta, Gatra.com - Ikatan Cendekiawan Muslim Se-Indonesia (ICMI) minta Pemerintah dan DPR membahas RUU Kesehatan lebih mendalam dan komprehensif. ICMI menekankan perlunya dialog dengan seluruh pemangku kepentingan dalam proses pemutakhiran Undang-Undang Kesehatan.

Hal itu diungkapkan Ketua Departemen Upaya Kesehatan Masyarakat MPP ICMI, Zaenal Abidin seusai Webinar Kajian RUU Kesehatan yang diadakan beberapa waktu lalu.

Ia menjelaskan bahwa dalam proses pembentukan Undang-Undang, dialog terbuka adalah suatu keniscayaan dan menjadi hak warga negara, yang sering disebut “meaningful participation”. Dalam dialog itu warga negara didengarkan pendapatnya (right to be heard), dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered), serta mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained).

Ia juga mengatakan bahwa dialog ini diperlukan. Lantaran, ICMI memandang pembahasan selama ini dinilai tidak transparan dan terkesan terburu-buru.

Beberapa catatan kritis ICMI terkait RUU Kesehatan yakni adanya upaya penghapusan peran organisasi profesi dalam pengawasan, pembinaan, rekomendasi bagi anggotanya yang berpraktik melayani masyarakat menjadi isu penting. Ia menduga RUU ini dapat menyebabkan terjadinya pemusatan kewenangan seluruh urusan kesehatan di Kementerian Kesehatan. ICMI juga berpandangan bahwa RUU Kesehatan berpretensi mengancam kemandirian rumah sakit.

"Hal ini menjadi salah satu poin keberatan organisasi-organisasi profesi di bidang kesehatan. Padahal selama ini peran masyarakat sangat signifikan dalam bidang kesehatan, termasuk dalam pengelolaan rumah sakit," katanya dalam keterangan yang diterima pada Selasa (13/6).

Hal lainnya, ICMI menilai bergesernya basis pendidikan dokter spesialis dari berbasis universitas ke pendidikan berbasis rumah sakit saja. Hal ini akan menurunkan mutu lulusan pendidikan dokter spesialis yang akan berdampak pada layanan kesehatan masyarakat.

Ketua Perhimpunan Dokter Spesialisasi Kedokteran Jiwa Indonesia, Agung Frijanto juga mengatakan bahwa RUU Kesehatan yang akan menyatukan 9 dari 10 Undang-undang ini akan menghapus UU Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa. Cakupan regulasi kesehatan jiwa dalam RUU ini terbilang sangat minim.

"Sedikit sekali cakupan pasal UU Nomor 18 Tahun 2014 tersebut yang diakomodir dalam RUU sehingga dapat menjadi masalah baru," katanya.

Masalah lain yang muncul adalah dibolehkannya korban pemerkosaan melakukan aborsi pada usia kehamilan 14 minggu. Hal ini berseberangan dengan Fatwa Majelis Ulama Indonesia yang hanya menoleransi hingga batas usia kehamilan enam minggu.

"Hilangnya kalimat akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan juga diperkirakan dapat menuai masalah di kemudian hari," tegasnya.

Lebih lanjut, ICMI Pusat menolak pasal-pasal dalam RUU Kesehatan yang memasukkan tembakau ke dalam kategori narkotika dan psikotropika. Hal ini dinilai tidak tepat karena tembakau bukanlah narkotika dan psikotropika. Penggolongan tembakau ke dalam kategori ini akan mempengaruhi upaya kesehatan dan juga berimplikasi luas dalam berbagai bidang termasuk Industri hasil tembakau (IHT).

Pasalnya, ICMI berpandangan bahwa IHT memiliki sektor turunan yang cukup banyak, mulai dari pedagang asongan hingga petani. IHT bukan hanya rokok tetapi beragam mulai dari obat, kosmetika, penyedap rasa, dan lainnya. Menurut data sebanyak 6,1 juta petani tembakau di Indonesia yang bergantung pada sektor pertembakauan dan nantinya dapat terancam dengan digulirkannya regulasi ini.

Pada pokoknya ICMI menilai RUU Kesehatan yang saat ini sedang menjadi polemik belum memperhatikan kepentingan masyarakat secara utuh. Mengingat RUU ini akan berdampak pada seluruh masyarakat, ICMI Pusat mengimbau pemerintah dan DPR membuka diri untuk berdialog dengan seluruh elemen masyarakat dalam pembahasannya.

200