Home Ekonomi Ketergantungan Investasi Cina, RI Untung atau Buntung?

Ketergantungan Investasi Cina, RI Untung atau Buntung?

Jakarta, Gatra.com - Direktur Studi Cina-Indonesia, Center for Economic and Law Studies (Celios), Zulfikar Rakhmat menilai ketergantungan Indonesia terhadap investasi Cina membawa kerugian bagi negara. Pasalnya, sejumlah proyek infrastruktur yang didanai Cina mengalami masalah mulai dari sisi pembiayaan, lingkungan hingga isu ketenagakerjaan.

Zulfikar menyebut salah satu contoh proyek investasi Cina yang berpotensi merugikan negara yakni Kereta Cepat Jakarta Bandung (KCJB). Selain pengerjaannya yang molor, pembiayaan proyek ambisius itu juga mengalami pembengkakan (cost overrun) yang tak sedikit menambah beban utang negara kepada Negeri Tirai Bambu itu.

"Hari ini nilai utang Indonesia ke Cina mencapai angka yang cukup tinggi, di angka Rp315 triliun pada tahun 2022," ujar Zulfikar dalam diskusi publik di Hotel Ashley, Jakarta, Kamis (15/6).

Selain meninggalkan tumpukan utang, Zulfikar menyebut Indonesia juga harus mengalami potensi kehilangan penerimaan pajak dari upaya menarik investasi Cina ke dalam negeri. Misalnya saja, proyek hilirisasi nikel. Pemerintah melarang ekspor nikel mentah  dan memberikan berbagai insentif perpajakan untuk investor yang membangun smelter di Indonesia.

"Potensi penerimaan pajak yang hilang itu sekitar Rp32 triliun sejak tahun 2020," ucapnya.

Bahkan, ia menilai bahwa secara keseluruhan, gembar-gembor upaya pemerintah untuk hilirisasi produk tambang justru memberikan keuntungan negatif bagi keuangan Indonesia. Pelonggaran kebijakan bagi investor di dalam Undang-Undang Cipta Kerja seperti pemberian tax allowance maupun tax holiday yang dianggap lebih banyak menguntungkan pihak investor, termasuk Cina.

"Kalau dihitung-hitung negatif, saya enggak ada estimasi tapi yang jelas kerugiannya puluhan triliun," sebutnya.

Direktur Celios, Bhima Yudhistira juga mengatakan upaya pemerintah memberikan stimulus untuk menarik investasi dari Cina dianggap berlebihan. Pasalnya, stimulus (pemanis) yang diberikan berupa tax holiday maupun tax allowance kepada investor telah meningkatkan alokasi belanja pajak untuk investasi.

Bahkan, Bhima menyebut pada tahun 2022 pemerintah telah kehilangan potensi penerimaan pajak hampir sekitar Rp295 triliun akibat "pemanis" yang diberikan kepada investor, termasuk investor Cina di sektor nikel. Menurutnya, belanja pajak hingga ratusan triliun itu telah membuat rasio pajak yang cenderung stagnan.

"Kita berikan pemanis (sweetener) jangan kelebihan dong, kalau kelebihan kan bisa diabetes kan, jadi secukupnya. Sekarang kalau Cina butuh kita, harusnya kalau tanpa pemanis pun mereka datang, karena mereka butuh hilirisasi di negara mereka untuk nikel dan lain-lain," imbuh Bhima.

309