Home Regional Pesisir Pantai Selatan Tulang Punggung EBT Yogyakarta di Masa Depan

Pesisir Pantai Selatan Tulang Punggung EBT Yogyakarta di Masa Depan

Yogyakarta, Gatra.com – Mengacu pada visi misi Gubernur Sultan Hamengku Buwono X, ‘Among Tani Dagang Layar’ yang dicetuskan pada 2017, kawasan pesisir pantai selatan dari Gunungkidul sampai Bantul akan menjadi tulang punggung pengembangan energi baru terbarukan (EBT) Yogyakarta di masa mendatang.

Di sepanjang kawasan ini, pembangkit listrik tenaga (PLT) bayu dan surya yang dikembangkan dengan konsep hibrida akan menjadi sumber energi bagi penyediaan listrik EBT lokal yang pada 2025 ditargetkan mencapai 8.017 megawatt (MW).

Melalui Peraturan Daerah (Perda) nomor 6/2020 tentang Rencana Umum Energi Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2020 – 2050, Pemda DIY telah menetapkan capaian bauran EBT hingga 2050.

Hal ini disampaikan Kepala Bidang Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan (PUP ESDM) Daerah Istimewa Yogyakarta, Yustina Ika Kurniawati, kepada Gatra.com, Rabu (5/7).

“Pada 2025, kebutuhan energi listrik yang dipasok PLN Jawa Madura Bali (Jamali) akan mencapai 0,50 Million Tonne Of Oil Equivalent (MTOE) atau mencakup 97,48 persen. Kemudian energi dari EBT lokal ditargetkan terpenuhi sebesar 0,01 MTOE atau 2,52 persen,” jelasnya.

Kemudian pada 2050, dengan kebutuhan konsumsi listrik dari PLN Jamali sebanyak 1,76 MTOE (97,84 persen) akan disumbang oleh energi dari EBT lokal sebesar 0,04 MTOE (2,16 persen).

Mengacu pada target 2025, Ika menyatakan keseriusan Pemda DIY dalam pemanfaatan EBT realisasinya tercermin dalam bauran EBT lokal yang capaiannya sudah melebihi target dalam Perda Nomor 6 Tahun 2020.

Ika menerangkan pada 2020 capaian bauran EBT sudah menembus persentase 6,08 persen, kemudian 2021 mencapai 6,44 persen, dan di akhir tahun lalu 6,47 persen.

“Padahal secara implementasi bauran EBT di Yogyakarta pada 2025 kita targetkan mencapai 6,6 persen atau sebesar 0,12 MTOE. Artinya target yang kita tetapkan di 2025 kurang 0,13 persen,” ujarnya.

Menurutnya, capaian realisasi bauran EBT di Yogyakarta dihasilkan dari empat PLT yaitu mikrohidro (PLTMH), surya (PLTS), biomassa (PLTB), dan bayu (PLTB). Ika memberi catatan khusus untuk PLTB pihaknya mengandalkan pabrik gula Madukismo yang telah menghasilkan energi listrik sebesar 3,84 MW.

Untuk energi dari PLTMH, disumbang dari PLTMH di Kulonprogo yang berada di Dusun Kedungrong, Desa Purwoharjo, Kecamatan Samigaluh dan dua PLTMH di Kecamatan Kalibawang, Semawung serta Blumbang. PLTMH Kedungrong sendiri merupakan inisiatif dari masyarakat Dusun Kedungrong.

Untuk PLTS, Ika menyebut sumbangsih berasal dari pemasangan panel-panel surya di gedung milik pemerintah daerah. Salah satunya di kantor Pemda dan Gubernur DIY Kepatihan.

Sedangkan PLTB, PLTB Bayu Biru di Pantai Baru, Desa Poncosari, Kecamatan Srandakan, Bantul, masih menjadi andalan. PLTB Banyu Biru merupakan proyek pemasangan kincir angin pada 2009 inisiatif Kementerian Riset dan Teknologi serta LAPAN waktu itu. Ini merupakan prototipe PLTB besar di Indonesia yang pada akhirnya direalisasikan di Sidrap, Sulawesi Selatan.

“Kondisi wilayah yang kecil, Yogyakarta secara umum dalam bauran EBT akan lebih banyak mengandalkan surya dan bayu. Nah, pesisir selatan sendiri adalah tempat ideal untuk pengembangannya,” jelasnya.

Sebagai bentuk keberpihakan pada bauran EBT di masa depan, Ika menyatakan Pemda DIY bakal mempermudah pihak swasta untuk membangun PLT Hybrid (surya dan bayu) di pesisir selatan. Kebijakan ini sebagai dukungan pada Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN.

Ika menyatakan ada dua lokasi yang berpeluang untuk menjadi area energi PLTB dan PLTS yaitu Pantai Samas, Bantul, yang diprediksi mampu menghasilkan energi sebesar 50 MW dan sepanjang pantai Gunungkidul dengan estimasi tenaga sebesar 10 MW.

“Beberapa investor menyatakan ketertarikannya pada pesisir selatan dan tengah melakukan kajian mendalam. Nantinya energi yang dihasilkan akan disalurkan ke pelanggan lewat PLN,” paparnya.

Dengan konsep ini, Ika menyatakan Pemda DIY akan mengesampingkan dulu rencana pemanfaatan sampah di Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) Piyungan sebagai sumber bahan bakar energi alternatif. Selain masih dalam tahap perluasan area tampungan hingga 2026, belum adanya teknologi yang bisa menghabiskan sampah di TPST Piyungan menjadi persoalan.

Guna melihat besarnya potensi angin dan tenaga surya di pesisir selatan, pada Kamis (6/7) Gatra.com mengunjungi PLTB Bayu Biru di Pantai Baru. Dari 20 kincir terpasang dengan ketinggian 15 meter dan 150 panel surya yang terpasang, dihasilkan energi listrik sebanyak 42 KW.

“Kalau dulu, sebelum PLN masuk, sebanyak seratusan warung di sini menjadi konsumen dari PLTB Bayu Biru. Namun sejak 2014 berangsur-angsur turun dan sekarang hanya tinggal 40 persennya saja,” kata salah satu operator, Aar Faisal.

Menjadi PLTB terbesar pertama di Asia Tenggara, saat ini PLTB Bayu Biru sepenuhnya dikendalikan oleh ESDM Dinas PU Yogyakarta dan menjadi area penelitian bagi mahasiswa, dosen, dan praktisi EBT.

Aar yang telah ikut serta dalam proyek pembangunan sejak awal menyatakan potensi angin di pesisir selatan sangat kuat. Dengan ketinggian menara 15 meter didapati tekanan angin melaju hingga 4-6 meter per detik. Semakin tinggi menara yang dibangun, kekuatan laju angin juga semakin besar.

Terkait perubahan orientasi pemanfaatan EBT dari Pemda DIY yang tidak lagi fokus pada sampah mendapat apresiasi dari Manajer Program Akses Energi Berkelanjutan, Institute for Essential Services Reform (IESR), Marlistya Citraningrum.

“Bicara sampah menjadi sumber energi, hirarkinya berada di tingkat paling bawah paramida sumber energi. Tentang sampah, pilihan pertama adalah menghindari penggunaan dan meminimalisasi sampah plastik,” katanya.

Selain lebih kompleks dalam sistem pengelolaannya, menjadikan sampah sebagai sumber energi ini menimbulkan biaya besar. Khususnya pada biaya pengangkutan sampah dari rumah tangga hingga ke tempat pengelolaan.

Pasalnya, perusahaan besar yang akan menjadikan sampah sebagai energi listrik biasanya tidak mau menanggung biaya pengangkutan, sehingga dibebankan ke pemerintah.

“Saat ini kita tengah membangun presepsi bahwa sampah tidak boleh sebagai sebagai sumber energi dan sebisa mungkin tidak dijadikan solusi,” tutupnya.

430