Home Pendidikan Eksklusif! Dirjen Dikti Ristek Prof. Nizam Kupas Habis Ekosistem Riset (Bagian II)

Eksklusif! Dirjen Dikti Ristek Prof. Nizam Kupas Habis Ekosistem Riset (Bagian II)

Wawancara Khusus

Prof. Ir. Nizam, M.Sc., DIC., Ph.D

Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi RI

“Kita Ingin Membangun Kedaulatan Indonesia Dalam Karya”

-------------------------

 

 

Sejumlah upaya dilakukan untuk menggerakkan dunia pendidikan yang selaras dengan tantangan zaman. Dunia pendidikan saat ini tidak hanya berperan mencerdaskan bangsa tetapi juga menjadi daya dukung pembangunan dan kehidupan ekonomi yang berkelanjutan. Karena itu, muncul program Link and Match yang mengkolaborasikan pendidikan dengan sektor industri. Sejalan dengan program unggulan Mendikbudristek Nadiem Makarim mengenai Kampus Merdeka, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) di bawah binaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi (Ditjen Dikti Ristek) meluncurkan program Kedaireka (Kedaulatan Indonesia dalam Reka Cipta) pada 12 Desember 2020.

Kedaireka sendiri merupakan platform resmi pemerintah untuk “menjodohkan” Perguruan Tinggi dan Dunia Usaha dan Dunia Industri (DUDI) dalam menjawab tantangan kebutuhan inovasi di dalam negeri. Setelah sukses dengan program pendanaan Matching Fund di tahun 2021 dan 2022, Kedaireka kemudian menghadirkan program Ekosistem Kedaireka yang bertujuan sebagai platform end-to-end yang dapat membina sekaligus mengakselerasi proses kolaborasi antar akademisi dan industri.

Diketahui, Matching Fund merupakan program pendanaan dari Ditjen Dikti Ristek yang melibatkan insan perguruan tinggi dan Dunia Usaha Dunia Industri (DUDI) untuk bersama-sama terlibat dalam menjawab tantangan di dalam dunia industri serta membentuk ekosistem Merdeka Belajar. Kedaireka Matching Fund di tahun 2021 dan 2022 mengusung lima tema prioritas yang terdiri dari Ekonomi Hijau, Ekonomi Biru, Ekonomi Digital, Kemandirian Kesehatan dan Pariwisata.

Untuk menyimak lebih jauh tentang program pendanaan yang mendukung ekosistem riset di perguruan tinggi dan DUDI, Tim Redaksi Gatra berkesempatan mewawancarai Dirjen Dikti Ristek Kemendikbud, Prof. Nizam di Kantor Gatra, Kalibata, Jakarta Selatan, pada Selasa, 4 Juli 2023. Pria kelahiran Surakarta, Jawa Tengah ini memiliki sederet pengalaman di bidang pendidikan tinggi. Ia pernah menjabat sebagai Sekretaris Dewan Pendidikan Tinggi (DPT) dari tahun 2008-2013, kemudian Dekan Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada (UGM) dari 2017-2020. Berikut petikan wawancara dengan lelaki peraih gelar Doktor dari University of London tersebut.

Apa faktor yang mengakibatkan pergeseran dari sektor pertanian ke sektor jasa?

Ya, sektor jasa itu memang tinggi return-nya tetapi volatile sekali. Pasar uang global goncang sedikit, goncang semua. Dan, jasa ini kan pemainnya banyak. Jadi, negara-negara yang sudah maju mereka masuk sektor jasa karena industrinya sudah mapan. Sektor basisnya, pangannya itu sudah mandiri, kalau kita lihat negara-negara maju itu tidak satupun yang saya amati yang mereka di sektor jasa tapi masih punya masalah di sektor pangan. Amerika Serikat sebagai negara industri terbesar, mereka pangannya sudah eksportir, gandum terbesar di dunia. Pangannya sudah aman semua. Jadi, mereka masuk sektor jasa itu sudah aman. Perut kenyang, terjamin. Indonesia sektor pangan aja masih impor, yang paling utama beras masih impor. Sekarang kita masuk sektor pangan yang kita tidak bisa memproduksi gandum. Jadi, sektor pangan kita babak belur melompat ke sektor jasa. Sektor industri kita malah declining. Ini harus menjadi perhatian kita semua. Itulah kenapa kita bangun Kedaireka menyadarkan kita perlu berdaulat dalam rekacipta.

Apa saja klaster industri yang menjadi fokus dari riset dan inovasi ini?

Cukup beragam. Mulai industri masa depan seperti kendaraan listrik misalnya. Industri alat-alat kesehatan, obat-obatan, alat pertanian, dan manufaktur itu udah masuk ke sana. Untuk itu, kita sudah buat lima prioritas sesuai arahan Pak Presiden. Yang pertama, itu Green atau Industri Hijau, karena seluruh dunia akan bergerak ke sana. Green Economy itu apa, yang segala macam berkelanjutan. Misalnya, pengembangan energi terbarukan atau Circular Economy bagaimana siklus industri di suatu pabrik itu bisa circular, mengurangi input, mengurangi limbah, Zero Waste, Zero Carbon, jadi Net Zero dan sebagainya. Menjadi Green Economy atau ekonomi yang berkelanjutan di semua sektor. Yang kedua, Blue Economy, 75 persen wilayah kita ini kan laut, perairan. Tapi kontribusi sektor laut dan perairan kita itu masih sangat kecil dari PDB kita. Ini kan ironis, negara dengan kekayaan laut yang besar sekali, tapi nilai tambah dari sektor ini masih sangat minimum. Armada kita masih sangat minim, perahu-perahu nelayan kita itu 95% masih perahu kecil, yang hanya bisa melaut 10-20 km dari pantai. Padahal, ikan-ikan kita yang punya ekonomi tinggi di laut dalam. Lobster kita cuma kirim benih ke Vietnam, Vietnam yang mendapat nilai tambah berlipat kali dari benih kita. Itu harus kita garap betul, Blue Economy ini menjadi tema yang kita dorong.

Yang ketiga, soal Digital Economy, termasuk transformasi digital. Semua sektor ekonomi, sektor industri, sektor pertanian, sektor jasa terutama akan beralih ke digital. Sehingga, Digital Economy itu sangat penting. Itu kita punya nilai tambah karena kita punya jutaan mahasiswa. Digital Native, kreativitas atau inovasi mereka itu sangat bisa untuk berkontribusi dalam ekonomi digital dengan kreativitas mereka. Karena dunia digital selama ini sifatnya ke software dan sebagainya itu relatif rendah. Kalau sampai hardware kita sudah jauh sekali tertinggal, tetapi untuk software, desain, dan creative industry itu masih sangat mungkin. Keempat, obat-obatan dan alat kesehatan. Karena kita ini sebagai negara dengan biodiversitas terbesar kedua di dunia. Harusnya sumber bahan baku obat itu melimpah ya tapi saat ini baru sampai pada level jamu. Fitofarmaka juga tidak berkembang, dari puluhan ribu potensi Fitofarmaka itu belum sampai 1 persennya yang menjadi bahan baku obat yang tersertifikasi, sangat sangat kecil, padahal peluangnya besar sekali. Mulai dari regulasi, sistem di Kementerian Kesehatan, di BPOM itu harusnya sudah sangat mendukung bagaimana Fitofarmaka itu berkembang di Tanah Air. Itulah potensi kita, nilai ekonomi dari obat-obatan itu kan ratusan triliun. Itu yang saat ini kita impor semua bahan baku obat itu.

Kelima, pariwisata dan industri kreatif. Karena kita ada 17 ribu pulau dibanding dengan negara yang punya satu pulau, kita tertinggal. Ini kan ironis banget bagaimana kita mengembangkan pariwisata yang tentunya berbasis ecotourism, pariwisata yang lebih lestari, menyejahterakan rakyat, bukan pariwisata yang justru merusak ekosistem dan budaya masyarakat. Ini harus kita bangun industri kreatif mulai dari industri gim, pemain gim di Indonesia itu 60 juta lebih dari data yang ada. Tapi 99% itu gim luar atau impor, berapa triliun devisa kita yang hilang. Kita ini industri gim, industri perfilman, industri animasi, itu mestinya kita perkuat. Karena kita punya keunggulan dalam hal kreativitas. Untuk itu perlu riset tadi, lupa untuk bisa menjadi suatu produk, menjadi sesuatu yang bisa masuk ke pasar internasional itu perlu riset. Enggak bisa Moci, menjadi makanan internasional, kalau enggak ada riset di belakangnya. Bagaimana Moci itu tanpa pengawet bisa bertahan berhari-hari, bagaimana packaging-nya, bagaimana marketing-nya, bagaimana rantai pasok kualitas bahan bakunya. Ini semua butuh riset. Jadi, lima tema ini yang kita angkat.

Ilustrasi Ekosistem Riset

Berapa banyak perguruan tinggi yang telah membangun engagement dengan industri?

Setiap tahun ada seribuan [proposal inovasi] yang kita danai. Beberapa di antaranya sudah produksi, dan ekspor kontainer tempe misalnya, sudah ada hasil dan impact-nya. Tetapi memang tidak seperti membalikkan telapak tangan, itu membutuhkan effort kita semua, dan tadi faktanya harus kita awal dari hulu hingga ke hilir. Kadang-kadang regulasi untuk masuk pasar baru itu barrier-nya tinggi sekali. Produk merah putih itu susah sekali masuk ke pasar. Konsumennya masih ragu dengan produk kita sendiri. Kalau kita memproduksi produk merah putih dalam economy of scale, produk baru masuk pasar itu berat sekali. Karena pasarnya sudah ada, pemain raksasanya sudah ada, susah sekali.

Apakah ada pendekatan yang dilakukan dengan asosiasi pengusaha dan Kementerian Perindustrian?

Hal ini saya sampaikan ke teman-teman HIPMI (Himpunan Pengusaha Muda Indonesia), teman-teman KADIN (Kamar Dagang dan Industri Indonesia), Kementerian terkait, kita itu butuh keberpihakan pada produk Merah Putih (dalam negeri). Dan, alhamdulillah Menko Marves sudah mengeluarkan gerakan “Bangga pada Buatan Indonesia”, tapi itu kan terus kita bangun kebijakannya. Dan harus ada kebijakan konkret bagaimana kita memproteksi produk merah putih yang tadi. Bayi ini tidak bisa kita bandingkan dengan raksasa-raksasa besar. Bayi ini harus kita lindungi dulu agar bisa berlari. Dan Marves sudah mendukung, kalau itu sudah masuk E-Catalog itu harganya akan sedikit lebih mahal dari produk impor. Dan nanti diprioritaskan, belanja pemerintah yang diutamakan adalah produk Merah Putih, selama itu harganya tidak melampaui. Kalau sekarang ini orang masih malu belanja produk luar negeri, bangga ketika flexing dengan produk impor. Tanpa riset dan inovasi, riset kita seperti tukang jahit yang sedikit mendapatkan nilai tambah.

Bagaimana dengan fokus riset di bidang pertanian?

Jadi, seluruh sektor kita dorong. Salah satunya sektor pertanian. Kita ketahanan pangan kita masih volatile, sangat rawan terhadap goncangan-goncangan ekonomi global. Goncangan iklim, hama, dan sebagainya. Jadi, kita perlu sekali untuk membangun sektor pertanian itu, makanya kita dorong membuat konsorsium kedaulatan pangan. Sehingga, perguruan tinggi di setiap daerah punya tanggungjawab terhadap produktivitas di daerahnya. Mulai dari isu masalah benih, kan kita selalu bergantung pada impor. Peternakan misalnya, 90 persen faktanya impor. Harusnya kita bisa di atas 60 persen produk kita sendiri untuk pertanian, peternakan, perikanan, dan sebagainya. Jadi, itu juga kita dorong agar kampus itu betul-betul menjadi mata air bagi pembangunan di daerahnya. Terutama sektor-sektor yang menyangkut hajat hidup masyarakat banyak. Misal, pertanian, peternakan, perikanan. Problem-nya, rantai logistik kita itu mengirim NTT/NTB ke Jakarta itu lebih mahal dari mengirim dari Australia ke Jakarta. Faktanya, produk kita tidak kompetitif di dalam negeri sendiri. Contoh lain, kita membuat sepeda motor listrik, sebagian besar komponennya masih impor karena tidak ada produk di dalam negeri, harga impor komponen itu kena pajak tinggi sekali, dibandingkan dengan yang masuk [produk] lengkap. Sekali lagi ini butuh peran negara, niat enggak mempunyai Indonesia yang maju, niat enggak kita mempunyai ekonomi yang betul-betul solid dan kokoh. Apakah selamanya akan menjadi tukang jahit?.

(Selesai)

**

482