Home Hukum Sebanyak 250 Ribu WNI Bekerja di Malaysia Secara Ilegal Tiap Tahun

Sebanyak 250 Ribu WNI Bekerja di Malaysia Secara Ilegal Tiap Tahun

Johor, Gatra.com - Konsulat Jendral Republik Indonesia di Johor Bahru, Malaysia, mengklaim jumlah Pekerja Migran Indonesia (PMI) nonprosedural di Malaysia yang bekerja menggunakan visa wisata terus meningkat setiap tahunnya. Tercatat PMI ilegal masuk di jiran mencapai 626.837 orang pada tahun 2022.

Konjem KJRI Johor Bahru Malaysia, Sigit Suryantoro Widiyanto, mengatakan, model bisnis sangat berubah dalam perkembangan digitalisasi dan teknologi. KJRI sebagai perwakilan Indonesia terus memantau penempatan PMI secara ilegal yang jumlahnya fluktuatif. Jalur atau enter poin yang terdata ada sebanyak 13 pintu masuk resmi dan tidak resmi.

"Data resmi yang dimiliki KJRI setiap tahun ada sekitar 600 ribu WNI masuk ke Malaysia, sekitar 400 ribu tercatat kembali ke Indonesia. Sedangkan 200 ribu WNI tak kembali ke Tanah Air setelah masuk ke Malaysia melalui beberapa pintu, seperti Batam, Bintan, Karimun, Bengkalis, Pulau Rupat dan Dumai, Riau," katanya, Kamis (20/7).

Sigit menjabarkan, tantangan yang dihadapi KJRI dalam pelaksanaan perlindungan WNI atau PMI di Malaysia adalah pemberi kerja di negeri jiran masih memilih PMI nonprosedural lantaran lebih murah dari segi biaya dan cepat prosesnya. Penegakan hukum terhadap pelaku penempatan pekerja ilegal di Malaysia cendrung masih lemah.

"Rata-rata upah di sini antara RM 1.500 sampai RM 5.000 per bulan. Jumlah tersebut tercatat penempatan dalam sektor formal dan nonformal. Namun PMI ilegal yang diamakan aparat hukum di Malaysia tidak diposisikan sebagai korban. WNI yang menjadi PMI ilegal cendrung kurang edukasi, tidak memahami hukum, dan aturan yang berlaku," ujarnya.

Dilemanya, kata Sigit, adalah Malaysia membutuhkan tenaga kerja, khususnya di Johor Bahru. Sementara warga negara Malaysia sendiri lebih memilih bekerja di Singapura karena mendapat upah yang lebih tinggi. Apalagi para PMI beranggapan bekerja dengan prosedural di Malaysia kurang populer lantaran mahal dan lama prosesnya.

"Perlu eduksi yang masif dilakukan dari tempat asal untuk meminimalisir penempatan PMI secara Ilegal yang berkelanjutan. Hal itu perlu dukungan dari segala pihak, tidak hanya dari aparat penegak hukum saja. Sebab, dampaknya selain berpotensi menjadi korban perdagangan orang, anak-anak para PMI ilegal yang terlahir di Malaysia tidak dapat bersekolah dan tidak dapat jaminan kesehatan yang mumpuni," tuturnya.

59