Home Nasional Koalisi Masyarakat Sipil Dorong KPK Tuntaskan Kasus Korupsi Kabasarnas

Koalisi Masyarakat Sipil Dorong KPK Tuntaskan Kasus Korupsi Kabasarnas

Jakarta, Gatra.com - Operasi tangkap tangan (OTT) dugaan praktik korupsi tender salah satu proyek di Basarnas yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Selasa (25/7) lalu berujung pada penetapan lima orang sebagai tersangka. Tak lama berselang, KPK justru meminta maaf atas penetapan tersangka dua prajurit TNI dan menyerahkan proses hukumnya kepada Puspom TNI.

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Keamanan yang salah satunya diwakili Gufron Mabruri dari Imparsial, menilai langkah KPK yang meminta maaf dan menyerahkan kasus dugaan korupsi kepada Puspom TNI merupakan langkah keliru dan dapat merusak sistem penegakan hukum pemberantasan korupsi di Indonesia. Sebagai kejahatan yang tergolong tindak pidana khusus (korupsi), KPK seharusnya menggunakan UU KPK sebagai pijakan dan landasan hukum dalam memproses militer aktif yang terlibat dalam kejahatan korupsi tersebut. 

"KPK dapat mengabaikan mekanisme peradilan militer dengan dasar asas lex specialis derogat lex generalis (UU yang khusus mengesampingkan UU yang umum). Dengan demikian KPK harusnya mengusut kasus ini hingga tuntas dan tidak perlu meminta maaf," ujarnya, Minggu (30/7).

Baca Juga: Kabasarnas Tersangka KPK, Amnesty: Dibawa ke Pengadilan Militer Melanggar Asas Hukum

Menurutnya, alasan yurisdiksi hukum bahwa kedua tersangka sebagai militer aktif berada di bawah peradilan militer tidaklah akurat. Permintaan maaf dan penyerahan perkara kedua prajurit tersebut kepada Puspom TNI juga akan menghalangi pengungkapan kasus tersebut secara transparan dan akuntabel. Ini juga bisa menjadi jalan impunitas bagi kedua tersangka yang sudah tertangkap tangan.

Sistem peradilan militer yang diatur dalam UU No. 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer, merupakan sistem hukum yang eksklusif bagi prajurit militer yang terlibat dalam tindak kejahatan. Ia menilai ini seringkali menjadi sarana impunitas bagi mereka yang melakukan tindak pidana. 

Padahal, dalam pasal 65 ayat (2) UU TNI tahun 2004 sendiri mengatakan bahwa: Prajurit tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum yang diatur dengan undang-undang.

Ia menegaskan bahwa penetapan tersangka yang dilakukan oleh KPK merupakan hal yang benar karena dilakukan sebagai tindak lanjut dalam suatu operasi tangkap tangan. Sebaliknya, bila KPK justru tidak mentersangkakan kedua anggota aktif TNI yang menjabat di lembaga sipil, hal ini tidak boleh dilakukan.

"Mereka yang sudah menjadi tersangka tidak bisa mendalilkan bahwa penetapan tersangka terhadap mereka hanya bisa dilakukan oleh penyidik di institusi TNI karena dugaan korupsi ini tidak ada kaitannya sama sekali dengan institusi TNI dan kepentingan militer," tegasnya.

Baca Juga: Mahfud MD Apresiasi Tindakan KPK Tetapkan Kepala Basarnas Tersangka

Atas dasar hal itu, pihaknya meminta KPK mengusut tuntas dugaan korupsi secara transparan dan akuntabel. Pengungkapan kasus ini harus menjadi pintu masuk mengungkap kasus-kasus dugaan korupsi yang melibatkan prajurit TNI lainnya, baik di lingkungan internal maupun external TNI.

"KPK harus memimpin proses hukum terhadap siapa saja yang terlibat dugaan korupsi di Basarnas ini. Sebagai garda terdepan dalam pemberantasan korupsi, KPK tidak boleh takut memproses hukum perwira TNI yang terlibat korupsi. Jangan sampai UU Peradilan Militer menjadi penghalang," katanya.

Selain itu, ia juga mendorong Pemerintah dan DPR segera merevisi UU No. 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Sebab, selama ini, aturan ini sering digunakan sebagai sarana impunitas dan alibi untuk tidak mengadili prajurit TNI di peradilan umum.

Evaluasi keberadaan prajurit TNI aktif di berbagai instansi sipil, terutama pada instansi yang jelas bertentangan dengan ketentuan yang diatur dalam UU TNI juga perlu ditelaah kembali. Bila hanya akan menimbulkan polemik hukum ketika terjadi pelanggaran yang dilakukan oleh prajurit TNI aktif tersebut, maka hal tersebut tidak direkomendasikan untuk dilanjutkan lagi.

25