Home Hukum Jaksa Agung Diminta Berikan Kepastian Hukum Perkara Pemanfaatan Lahan Pemprov NTT

Jaksa Agung Diminta Berikan Kepastian Hukum Perkara Pemanfaatan Lahan Pemprov NTT

Jakarta, Gatra.com – Kuasa hukum Direktur PT Sarana Investama Manggabar (SIM) Heri Pranyoto, Khresna Guntarto, menyampaikan, pihaknya meminta Jaksa Agung memberikan kepastian hukum atas perkara dugaan korupsi kerja sama pemanfaatan aset Pemprov Nusa Tenggara Timur (NTT) berupa tanah atau lahan seluas 31.670 m2.

Khrisna dalam keterangannya pada Selasa (1/8), menyampaikan, kliennya mengajukan permohonan tersebut melalui surat resmi yang ditujukan kepada Jaksa Agug ST Burhanuddin.

Dalam surat tersebut, lanjut dia, kliennya mengajukan perlindungan hukum agar kasus tersebut jangan sampai disalahgunakan oleh oknum untuk menjadikan kliennya sebagai tersangka hingga terdakwa di pengadilan.

Demi kepastian hukum, kata dia, bila perlu Jaksa Agung memerintahkan untuk menerbitkan surat penetapan penghentian penyidikan (SP3) atas perkara terkait tanah di Pantai Pede, Desa Gorontalo, Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat, yang ditangani Kejaksaan Tinggi (Kejati) NTT tersebut.

Ia mengatakan, pihaknya menyampaikan permintaan tersebut karena menilai penanganan kasus dugaan korupsi tersebut, mulai dari penyelidikan hingga penetapan tersangka oleh Tim Pidana Khusus (Pidsus) Kejati NTT tidak objektif.

Penanganan kasus tersebut, lanjut Khresna, didasarkan pada asumsi dugaan perbuatan melawan hukum atau penyalahgunaan kewenangan terkait beberapa hal yang salah, sesat, dan tidak benar.

“Klien kami, PT SIM berikut jajaran pengurusnya, merupakan mitra kerja sama swasta yang melaksanakan proyek dengan skema BOT/BGS tanpa keuangan negara atau daerah sama sekali,” ujarnya.

Dalam surat permohonan tersebut juga menyampaikan sejumlah informasi, di antaranya proyek kerja sama tersebut terkait bisnis yang masuk dalam ranah hukum perdata, bukan pidana, apalagi korupsi karena tidak merugikan keuangan negara.

Pihaknya juga meminta agar kasus tersebut dihentikan, atau setidak-tidaknya menunggu putusan Pengadilan Negeri Kupang atas perkara gugatan perdata Nomor: 302/ PDT.G/ 2022/ PN.KPG hingga berkekuatan hukum tetap (inkracht).

Khresna menjelaskan, dalam perkara tersebut, PT SIM sebagai Penggugat melawan Gubernur NTT cq. Pemerintah Provinsi NTT sebagai Tergugat I dan PT Flobamora sebagai Tergugat II.

“Sebab, substansi persoalan yang dipermasalahkan penyidik erat kaitannya dengan perkara perdata yang sedang berjalan tersebut,” kata Khresna.

Selain itu, tim kuasa hukum juga meminta Jaksa Agung untuk memerintahkan Satgas 53 Kejaksaan Agung (Kejagung) atau Jaksa Agung Muda Pengawasan (Jamwas) untuk mengawasi kinerja Kejati NTT agar bertindak sesuai amanat dan nawa cita dari Presiden Joko Widodo (Jokowi), yakni memberikan kepastian hukum, perlindungan investasi, dan kemudahan berusaha.

Menurut Khrisna, kliennya sudah jelas dirugikan karena telah mengeluarkan uang puluhan miliar untuk investasi BOT/BGS, namun justru tidak mendapat kepastian dan harus menghadapi proses hukum.

“Dihadapkan pada proses rekayasa kasus dugaan tindak pidana korupsi yang seakan rumit, yang dapat mengkriminalisasi klien kami,” ujarnya.

Ia menegaskan, jika proses tersebut dibiarkan, maka investor yang menggarap proyek tanpa APBD atau APBN ?bukannya meraih untung, tetapi malah harus menghadapi jeruji besi dan merugi. Ini akan mencoreng hukum dan bisnis Indonesia.

“Sudahlah risiko tinggi, keluar uang banyak, dihantui pidana penjara pula. Sungguh Ironis dan menyedihkan,” katanya.

Ia menyampaikan, kerja sama yang dilakukan kliennya dengan Pemprov NTT sudah sesuai prosedur dan peraturan yang berlaku. Kliennya telah melakukan sejumlah tahapan sebelum kerja sama itu terlaksana.

PT SIM, kata dia, bahkan telah membangun di atas tanah tersebut dengan dana mencapai kurang lebih Rp25 miliar. Meski HGB dan IMB masih atas nama PT SIM, Pemprov NTT melakukan pemutusan kerja sama secara sepihak dan meminta PT SIM mengosongkan secara paksa dan tanpa ganti rugi yang jelas.

Dalam kasus dugaan korupsi pemanfaatan tanah Pemprov NTT yang di atasnya telah dibangun Hotel Plago ini, Kejati NTT telah menetapkan dua orang tersangka, yakni Kabid Pemanfaatan Aset (Pengguna Barang), Thelma D.S. Bana; dan Direktur PT SIM, Heri Pranyoto.

Mereka langsung ditahan usai menjalani pemeriksaan sebagai tersangka pada Senin (31/7/2023). Kejati NTT menyatakan bahwa para tersangka telah merugikan negara senilai Rp8.522.752.021,08 (Rp8,5 miliar).

Kerugian negara tersebut berdasarkan temuan tim auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2021?. Kejati NTT menyebut bahwa nilai kontribusi kerja sama antara Pemprov NTT dan PT SIM terlalu rendah. Kerugian tersebut lantaran PT SIM tidak mengindahkan masukan untuk merevisi perjanjian kerja sama tersebut. Adapun nilai kontribusi kerja sama itu sebesar Rp255 juta setiap tahun.

Kejati NTT menyatakan kedua tersangka melanggar Pasal 2 Ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP subsider Pasal 3 Ayat (1) juncto Pasal 18 UU Nomor 20 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.

35