Home Hukum Buntut Polrestabes Medan, Imparsial: Prajurit TNI Tak Bisa Berikan Bantuan Hukum

Buntut Polrestabes Medan, Imparsial: Prajurit TNI Tak Bisa Berikan Bantuan Hukum

Jakarta, Gatra.com – Imparsial menilai pernyataan Kepala Badan Pembinaan Hukum (Kababinkum) TNI, Laksamana Muda (Laksda) Kresno Buntoro, bahwa TNI memiliki kewenangan untuk memberikan bantuan hukum kepada prajurit TNI dan keluarganya adalah keliru.

“Kami memandang, pernyataan Kababinkum TNI adalah keliru,” kata Gufron Mabruri, Direktur Imparsial dalam keterangan pers diterima pada Minggu (13/8).

Imparisal menilai bahwa pernyataan tersebut menunjukkan bahwa Kababinkum tidak memahami secara komprehensif aturan hukum terkait peran TNI dalam proses penegakan hukum.

“Hal itu dapat dilihat dari adanya pemahaman yang salah dan keliru terhadap beberapa aturan terkait bantuan hukum,” katanya.

Ia menjelaskan, meski benar bahwa setiap orang tanpa terkecuali prajurit TNI dan keluarga prajurit TNI berhak mendapatkan bantuan hukum. Hak atas bantuan hukum merupakan bagian dari hak asasi manusia. Hal ini dinyatakan dalam Pasal 7 Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang menjamin persamaan kedudukan di muka hukum.

“Selanjutnya, diatur pula di dalam Pasal 16 dan Pasal 26 International Covenant on Civil and Political Rights (Konvensi Hak Sipil dan Politik) yang pada intinya menjamin bahwa semua orang berhak atas perlindungan dari hukum,” ujarnya.

Selain merupakan hak asasi manusia, lanjut Gufron, bantuan hukum juga merupakan amanat Pasal 27 UUD NRI 1945. Untuk melaksanakan amanat konstitusi tersebut, pengaturan tentang bantuan hukum bagi masyarakat secara umum diatur kembali dalam Pasal 69 KUHAP, Pasal 56 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 1 UU 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum yang pada intinya setiap orang tanpa terkecuali berhak mendapatkan bantuan hukum.

“Namun demikian, secara khusus bagi lingkungan TNI, jaminan bantuan hukum kembali ditegaskan dalam Pasal 105, 215 dan 216 UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer,” katanya.

Inti dari ketenuan tersebut, yakni adanya jaminan bantuan hukum bagi tersangka yang diadili di peradilan militer maupun koneksitas. Jaminan tersebut juga kembali ditegaskan UU TNI dalam Pasal 50 Ayat (2) huruf f yang menyatakan “prajurit dan prajurit siswa mendapatkan rawatan dan layanan kedinasan meliputi.. (f). bantuan hukum”.

“Pasal 50 Ayat 3, yakni 'keluarga prajurit memperoleh layanan kedinasan meliputi.. (c). bantuan hukum',” ujarnya.

Imparsial, ujar Gufro, berpendapat bahwa keseluruhan pasal yang disebutkan di atas harus dipahami sebagai adanya jaminan negara kepada siapa pun, termasuk prajurit TNI dan keluarga prajurit TNI untuk memperoleh bantuan hukum.

Pasal-pasal tersebut jika dicermati tidak ada yang menyebutkan adanya pemberian kewenangan kepada prajurit TNI untuk dapat memberikan pendampingan atau bantuan hukum dalam lingkup (yurusdiksi) peradilan selain peradilan militer dan peradilan koneksitas.

“Hal ini harus digaris bawahi oleh Kababinkum mengingat keterangan yang disampaikan oleh Kababinkum terkait dengan kasus Mayor Dedi Hasibuan yang mengaku sebagai pendamping hukum keluarganya di Polrestabes Medan, Sumatera Utara,” ujarnya.

Hak untuk menerima bantuan hukum sebagaimana yang diatur dalam Pasal 50 Ayat (3) UU TNI tidak boleh ditafsirkan bahwa bantuan hukum tersebut harus atau bisa berasal dari institusi TNI. Terlebih bila lingkup (yurisdiksi) peradilan yang memproses kasus hukum tersebut bukan peradilan militer atau peradilan koneksitas.

“Dalam kasus keluarga Mayor Dedi Hasibuan yang tunduk pada peradilan umum, hak untuk memperoleh bantuan hukum tersebut harus tunduk pada UU Advokat No. 18 Tahun 2003,” ujarnya.

Selain itu, dasar hukum yang disebutkan oleh Kababinkum terkait kewenangan pemberian bantuan hukum oleh TNI yang didasarkan pada Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 2 Tahun 1971 juga salah dan keliru.

“Karena SEMA No. 2 Tahun 1971, sebenarnya melarang prajurit TNI menjadi penasihat hukum di Pengadilan Umum, kecuali atas izin khusus dari atasannya,” kata dia.

Selain itu, prajurit TNI yang akan menjadi penasihat hukum harus memenuhi syarat sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 12 Tahun 1952 yang sejatinya telah berulang kali dicabut, yakni PP melalui PP No. 6 Tahun 74, PP No. 53 Tahun 2010, dan PP No. 94 Tahun 2021.

“Dalam PP No. 94 Tahun 2021 tidak ada lagi pemberian izin sebagaimana dimaksud dalam SEMA No. 2 Tahun 1971. Atas dasar itu, sesungguhnya argumentasi Kababinkum yang bersandar pada pada SEMA No. 2 Tahun 1971 sudah kehilangan pijakan hukumnya,” kata Gufron.

Lebih dari itu, lanjut dia, aturan hukum tentang pemberian bantuan hukum, yang salah satunya diatur melalui SEMA No. 2 Tahun 1971 sudah disempurnakan melalui berbagai aturan perundang-undangan, salah satunya adalah UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat.

UU Advokat menyatakan, pemberi bantuan hukum atau pendamping hukum atau advokat tidak boleh berstatus sebagai pegawai negeri atau pejabat negara. Sementara dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana dalam Pasal 92 Ayat (3), “Semua anggota Angkatan Perang juga dianggap sebagai pejabat”.

“Oleh karena itu, merujuk pada UU Advokat sebenarnya prajurit TNI aktif tidak dapat menjadi pendamping hukum atau advokat,” ujarnya.

Imparsial juga menyampaikan, kerancuan hukum tersebut di atas diperparah oleh keengganan pemerintah yang belum juga merevisi UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer yang menciptakan silang sengkarut penegakan hukum di Indonesia.

95