Home Hukum Sidang Haris-Fatia Perdalam Indikasi Keterlibatan Luhut di Pertambangan Papua

Sidang Haris-Fatia Perdalam Indikasi Keterlibatan Luhut di Pertambangan Papua

Jakarta, Gatra.com - Hakim Ketua, Cokorda Gede Arthana memperdalam indikasi keterlibatan Luhut Binsar Pandjaitan dalam konsesi pertambangan di Papua.

Hal ini dilakukan dalam agenda sidang lanjutan untuk terdakwa Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti yang menghadirkan peneliti kajian cepat yang dibahas dalam video podcast "Ada Lord Luhut di Balik Relasi Ekonomi-Ops Militer Intan Jaya!!".

Indikasi keterlibatan Luhut dalam pertambangan di Papua disebutkan oleh peneliti dari Trend Asia, Ahmad Ashov Birry yang merupakan salah satu periset kajian cepat tersebut. Ashov dihadirkan sebagai saksi meringankan untuk pihak terdakwa.

"Saudara saksi, kembali kita tegaskan kita minta jawaban saksi dari hasil riset saja, temuan anda di riset itu seperti apa terhadap pertanyaan kami sebelumnya," ucap Kuasa Hukum terdakwa, Muhammad Isnur dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Timur (PN Jaktim), Senin (4/9).

Sebelumnya, Isnur sempat menanyakan soal keterlibatan Luhut dalam pengerahan militer ke Papua. Pihak terdakwa ingin mempertegas, apakah Luhut terlibat dalam pengerahan ini secara langsung, baik dalam arti memberi perintah atau punya pengaruh tidak langsung terhadap operasi militer yang ada.

Penjelasan dari Ashov bermula dari laporan tahunan yang dikeluarkan secara resmi oleh West Wits Mining pada tahun 2017. Perusahaan asal Australia ini adalah induk perusahaan dari PT Madinah Quarrata'ain (MQ) yang punya kerja sama dengan salah satu anak perusahaan yang dimiliki Luhut, yaitu PT Tambang Raya Sejahtera (TRS).

Dalam laporan tahunan tersebut dijelaskan, progres kerja yang tengah berlangsung. PT TRS dilaporkan sudah berhasil mendapatkan status clean and clear bagi PT MQ sebagai salah satu syarat agar dapat melakukan kegiatan pertambangan di Papua.

Selanjutnya, PT TRS akan memproses sertifikat untuk status clean and clear tersebut, lalu mengamankan daerah konsesi dari penambang ilegal. Ashov mengatakan, penyebutan penambang ilegal atau liar merupakan kosakata dari pihak perusahaan.

"Dijelaskan dalam bukti itu yang mulia bahwa PT TRS sedang melakukan komunikasi dengan kunci pengambil kebijakan di pemerintah, termasuk militer, termasuk pemimpin regional, termasuk polisi, dan sedang me-arrange pertemuan dengan pihak-pihak tersebut dengan menteri-menteri senior. Mereka bilang begitu," jelas Ashov.

Berdasarkan laporan tahunan, lanjutnya, menteri-menteri senior ini disebut sebagai leverage atau daya ungkit dari PT TRS.

"Indikasi saya bilang, tadi Luhut Binsar Pandjaitan menguasai 99 persen saham PT Toba Sejahtera. Di saat yang sama, dia adalah menteri Koordinator Maritim dan Investasi yang mengkoordinir ESDM, KLHK, dan lain sebagainya," kata Ashov.

Seperti yang diketahui, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) memiliki wewenang untuk mengeluarkan izin kelola hutan dan beberapa hal lainnya. Sementara, Izin Usaha Pertambangan (IUP) merupakan kewenangan dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

"Dan kemudian, mereka bilangnya untuk membersihkan penambang-penambang ilegal, mereka bahkan punya opsi untuk mobilisasi TNI-POLRI, mereka bilang begitu," kata Ashov lagi.

Namun, peneliti Trend Asia ini menjelaskan, pertemuan antara perusahaan Wets Wits Mining atau perwakilannya dengan menteri-menteri senior yang dimaksud belum terjadi karena menunggu otoritas dari pemerintah pusat.

Ashov pun menegaskan, nama Luhut Binsar Pandjaitan disebutkan sebanyak tiga kali dalam kajian cepat "Ekonomi-Politik Penempatan Militer di Papua: Kasus Intan Jaya". Dalam tubuh laporan kajian, nama Luhut terlampir atas kaitannya sebagai pemilik induk perusahaan yang menaungi PT TRS. Kemudian, posisinya selaku Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi (Menko Maves). Nama Luhut kembali disebut dalam kesimpulan yang merujuk pada pertanyaan awal riset.

"Pertanyaan penelitiannya, pertama kami menemukan ada relasi dalam dua korporasi itu dengan penempatan militer ataupun mobilisasi militer. Kemudian, kesimpulan berikutnya adalah bahwa bisa jadi terselip kepentingan bisnis dengan penempatan militer," jelas Ashov lagi.

Untuk kasus ini, Fatia Maulidiyanti didakwa melanggar Pasal 27 Ayat (3) juncto Pasal 45 Ayat (3) Undang-Undang ITE, Pasal 14 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946, Pasal 15 UU Nomor 1 Tahun 1946 dan Pasal 310 KUHP tentang Penghinaan.

Sedangkan, Haris Azhar didakwa melanggar Pasal 27 Ayat (3) juncto Pasal 45 Ayat (3) UU ITE dan Pasal 14 Ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 1946, Pasal 15 UU Nomor 1 Tahun 1946 dan Pasal 310 KUHP juncto Pasal 55 Ayat (1) KUHP.

56