Home Nasional Koalisi Masyarakat Sipil Nilai Presiden Salahgunakan Intelijen soal Survillance terhadap Parpol

Koalisi Masyarakat Sipil Nilai Presiden Salahgunakan Intelijen soal Survillance terhadap Parpol

Jakarta, Gatra.com – Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan (KMSRSK) menilai Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyalahgunakan data dan intelijen karena diduga melakukan survillance terhadap partai politik (Parpol).

KMSRSK dalam pernyataan sikapnya yang diterima pada Minggu (17/9), Presiden Jokowi menyampaikan bahwa dirinya mendapatkan informasi dari komunitas intelijen di Indonesia mengenai data, suvei, dan arah partai politik (Papol).

Menurut KMSRSK, Presiden Jokowi menyampaikan pernyataan soal informasi dari beberapa lembaga intelijen ngara tersebut dalam acara Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Seknas Jokowi pada Sabtu (16/9).

“Kami memandang, pernyataan presiden tersebut mengindikasikan adanya penyalahgunaan kekuasaan terhadap alat-alat keamanan negara untuk melakukan kontrol dan pengawasan demi tujuan politiknya,” demikian KMSRSK.

Hal tersebut tidak bisa dibenarkan dan merupakan ancaman bagi kehidupan demokrasi dan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia. Persoalan ini juga merupakan bentuk penyalahgunaan intelijen untuk tujuan tujuan politik Presiden dan bukan untuk tujuan politik negara.

“Pada hakikatnya, lembaga intelijen dibentuk untuk dan demi kepentingan keamanan nasional dalam meraih tujuan politik negara dan bukan untuk tujuan politik presiden,” ujarnya.

Pengumpulan data dan informasi yang dilakukan oleh intelijen hanya boleh digunakan untuk kepentingan pengambilan kebijakan, bukan disalahgunakan untuk memata-matai semua aktor politik untuk kepentingan politik pribadinya.

Dalam negara demokrasi, kata KMSRSK, partai politik bukanlah ancaman keamanan nasional sehingga sulit untuk memahami apa alasan intelijen dikerahkan untuk mencari informasi terkait data dan arah perkembangan partai politik. Hal ini jelas jelas merupakan bentuk penyalahgunaan intelijen.

Peristiwa ini mengindikasikan adanya pelanggaran terhadap hukum dan Undang Undang (UU) Intelijen, UU HAM, UU Partai Politik, dan lain-lain.

“Kami menilai ini merupakan bentuk skandal politik dan menjadi masalah serius dalam demokrasi sehingga wajib untuk diusut tuntas,” ujarnya.

KMSRSK menilai hal ini merupakan masalah serius dalam kehidupan demokrasi di Indonesia, tidak boleh dan tidak bisa dalam negara demokrasi, Presiden beserta perangkat intelijenya menjadikan partai politik sebagai objek dan target pemantuan intelijen.

Intelijen memang merupakan aktor keamanan yang berfungsi memberikan informasi, terutama kepada Presiden. Namun demikian, informasi intelijen itu seharusnya terkait dengan musuh negara atau masalah keamanan nasional, bukan terkait dengan masyarakat politik (partai politik dan lain-lain) serta juga masayarakat sipil sebagaimana disebutkan Pasal 1 angka (1) dan (2) UU No. 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara.

Partai politik dan masyarakat sipil adalah elemen penting dalam demokrasi, sehingga tidak pantas dan tidak boleh Presiden memantau, menyadap, mengawasi kepada mereka dengan menggunakan lembaga intelijen demi kepentingan politik Presiden.

Adapun Pasal 1 angka (1) dan (2) UU Intelijen, yakni Pasal 1 angka (1): Intelijen adalah pengetahuan, organisasi, dan kegiatan yang terkait dengan perumusan kebijakan, strategi nasional, dan pengambilan keputusan berdasarkan analisis dari informasi dan fakta yang terkumpul melalui metode kerja untuk pendeteksian dan peringatan dini dalam rangka pencegahan, penangkalan, dan penanggulangan setiap ancaman terhadap keamanan nasional.

Pasal 1 Angka 2-nya: Intelijen Negara adalah penyelenggara Intelijen yang merupakan bagian integral dari sistem keamanan nasional yang memiliki wewenang untuk menyelenggarakan fungsi dan kegiatan Intelijen Negara.

“Oleh karena itu, sudah sehaptutnya DPR memanggil Presiden beserta lembaga intelijen terkait untuk menjelaskan masalah ini kepada publik secara terang benderang,” demikian KMSRSK.

KMSRSK terdiri dari Imparsial, PBHI, Amnesty International, YLBHI, KontraS, Centra Initiative, Elsam, Walhi, ICW, HRWG, LBH Masyarakat, dan Setara Institute.

178