Home Regional Polemik TPST Pagedangan, Warga Gagal Temui DPRD, Ditinggal ke Lampung

Polemik TPST Pagedangan, Warga Gagal Temui DPRD, Ditinggal ke Lampung

Tangerang, Gatra.com - Niatan perwakilan warga dari Desa Pagedangan, Kecamatan Pagedangan, Tangerang, Banten kandas untuk bertemu dan melakukan dengar pendapat bersama Anggota Komisi II DPRD Kabupaten Tangerang, (Kamis, 21/09).

Rombongan warga yang beriringan delapan mobil ke kantor wakil rakyat Kabupaten Tangerang itu, akhirnya hanya bisa duduk dan berfoto di lingkungan DPRD. Janji untuk ketemu pada hari itu sekitar pukul 10 pagi di Ruang Rapat Gedung DPRD Tangerang gagal, karena para wakil rakyat itu tidak berada di tempat. “Katanya ada kunjungan kerja ke Lampung," kata Bagus Priyanto, Ketua Umum Paguyuban Warga Perumahan Bumi Puspiptek Asri (PBPA).

Pihak Sekretariat Dewan menurut Bagus, yang mereka konfirmasi, katanya sudah ada pemberitahuan pembatalan. “Tapi ternyata surat pembatalannya saja masih di ruang mereka,” tambahnya.

Hearing ini sebenarnya ditujukan untuk memberikan pemaparan ke anggota Komisi II DPRD Tangerang terkait hasil uji emisi Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) dan tempat pengolahan sampah Reduce, Reuse dan Recycle (3R), Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang dikelola Paguyuban warga Perumahan Bumi Puspiptek Asri Pagedangan (PBPA).

Menurut Bagus, kedatangan warga juga hendak menjelaskan ikhwal pembangunan TPST-3R RTH PBPA. Ia menjelaskan, seharusnya anggota DPRD Tangerang bisa memihak warga yang berinisiatif untuk membangun pusat pengelolaan dan pengolahan sampah secara independen, sehingga meringankan beban pemerintah.

Kebutuhan Pengelolaan Sampah Warga

Awal pembangunan pusat pengolahan sampah di Pagedangan karena waktu itu salah satu TPST yang dikelola salah satu RW hanya bisa dipakai oleh warga RW tertentu. Hal ini memicu Paguyupan warga Perumahan Bumi Puspitek Asri, yang didukung 4 lingkungan RW di perumahan itu, mencari solusi manajemen sampah rumah tangga di lingkungan mereka.

Maka warga pun berinisiatif membangun Pusat pengolahan sampah secara swadaya, dilengkapi dengan Insenerator sehingga solusi pembuangan sampah bisa teratasi. “Inseneratornya kami desain sendiri, karena memang ada warga yang profesinya engineer dan mempunyai pengalaman pembangunan TPST sebelumnya. Ada yang bisa bikan gambar, biaya juga dari waga, semua bergotong royong,” kata Bagus.

Tak lama, TPST itu sudah bisa beroperasi, banyak warga yang memanfaatkan fasilitas yang memang dibiayai dari iuran bersama. Namun dalam perjalanannya, ada beberapa warga yang merasa keberatan dengan beroperasinya pusat pembakaran sampah itu. “Ada yang keberatan dengan asap yang keluar dari cerobong Insenerator,” kata Bagus.

Dan keberatan itu akhirnya juga didengar pihak Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan Kabupaten Tangerang.

Pihak Pemda menganggap fasiltas itu tidak dilengkapi dengan uji emisi dan persyaratan lain yang diperlukan agar bisa digunakan, sehingga harus dinonaktifkan sementara.

Sampah Tak Terkelola

Di saat terjadi negosiasi antara pengelola dengna Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan Kabupaten Tangerang itu, tiba- tiba pihak Pemda menurunkan aparat kepolisian dan satpol PP untuk melakukan penyegelan.

“Karena ada protes dan Pemda meminta menutup, ya kita ikuti. Persoalannya kan sampah warga kontinyu dan tidak bisa berhenti, lalu bagaimana penanganannya,” kata Bagus.

Pemda akhirnya menyanggupi untuk mengkompensasi masalah sampah warga dengan menurunkan armada truk sampah. Namun pada prakteknya, truk yang seharusnya mengambil sampah 3 kali sepekan, hanya datang dua kali sepekan, kadang sekali, bahkan seminggu tidak diambil.

Hal ini memicu permasalahan baru dimana sampah residu yang dikumpulkan di TPST malah menggunung karena tidak terangkut truk Pemda “Saat masih pakai Insenerator penumpukan sampah bisa dihindari. Sekarang malah jadi persoalan lain, yaitu bau, jorok, dan bikin penyakit," kata Bagus.

Karena itulah warga kemudian menyurati DPRD untuk melakukan hearing dan menyelesaikan permasalahan itu. Namun upaya itu nampaknya juga gagal. Bagus menyesalkan DPRD Kabupaten Tangerang yang kurang memprioritaskan masalah lingkungan warganya.

Ia mengaku kesal, karena dirinya dan perwakilan warga lainnya sudah meluangkan waktu untuk bisa menghadiri dengar pendapat, namun para wakil rakyat yang seharusnya menghormati pihak yang diwakilinya, tidak menyempatkan diri untuk sekedar bertemu.

“Saya harus cuti untuk bisa memberikan penjelasan ke DPRD, saya siapkan bahan paparan ke mereka selama sepekan, sementara mereka yang mewakili kita, malah tidak mau bertemu, saya tak mau lagi buat janji, apalagi jika pada jam kerja,” katanya.

Bagus menegaskan, jika memang DPRD ingin melakukan kembali dengar pendapat, maka lebih baik dilakukan di Desa Pagedangan. “Kami punya tempat, masjid kami besar, kalau semua DPRD datang juga bisa ditampung. Tapi harus mereka yang undang, dan waktunya sore saja, biar tidak menganggu aktivitas kami,” ujarnya.

Pengaktifan kembali TPST Perumahan Bumi Puspiptek Asri

Setelah tidak jadi bertemu anggota Komisi II DPRD Kabupaten Tangerang, anggota Paguyuban ini kemudian berinisiatif menyambangi beberapa dinas pemerintahan daerah Kabupaten Tangerang. Seperti Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan hingga Satpol PP dan Kantor Kabupaten Tangerang.

Mereka mengirimkan hasil uji laboratorium yang diantaranya berisi hasil uji emisi dan hasil uji dispersi atau sebaran asap hasil pembakaran sampah. “Yang hasilnya gas buangan dari Insinerator kami itu di bawah ambang batas. Jadi tidak berbahaya bagi lingkungan,” kata Bagus.

Paguyuban warga dalam kunjungannya itu juga benisiatif mengirimkan surat ke Bupati Tangerang dan dinas terkait, untuk bisa membuka kembali Insenerator yang telah disegel sebelumnya. “Agar permasalahan sampah di lingkungan kami segera selesai,” kata Bagus.

Soal keberatan warga, menurut Bagus, memang ini sebuah dinamika, yang selalu akan ada, dan perlu diselesaikan secara bijak. Karena TPST itu selama ini sudah dimanfaatkan hampir 700 kepala keluarga di lingkungan tersebut. Dengan mencakup sekitar 24 RT dari 4 RW si perumahan BPA. Sementara warga yang menolak diperkirakan hanya 20 KK sampai 30 KK.

Bagus menilai, saat penyegelan, Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan Kabupaten Tangerang juga tidak melakukan pendekatan melalui prosedur yang benar, karena langsung main eksekusi dengan melakukan penyegelan.

“Seharusnya kami masyarakat yang bernisiatif untuk mengelola lingkungannya sendiri, ya dibina dulu, diarahkan, kalau memang salah. Kami kan bukan mau cari keuntungan, malah mau bantu pemerintah atasi persoalan sampah. Seharusnya pemerintah beri solusi, kalau warga salah arah,” katanya.

2750