Home Hukum Hendardi: Batasan Usia Capres-Cawapres Ujian MK di Tahun Politik

Hendardi: Batasan Usia Capres-Cawapres Ujian MK di Tahun Politik

Jakarta, Gatra.com – Ketua Dewan Nasional Setara Institute, Hendardi, mengatakan, gugatan mengenai batas usia calon presiden dan wakil calon presiden (Capres-Cawapres) yang diajukan sejumlah pihak merupakan ujian bagi Mahkamah Konstitusi (MK) di tahun politik.

Hendardi di Jakarta, Selasa (26/9), menyampaikan, didesain konstitusional MK adalah instrumen yang ditugaskan untuk menegakkan keadilan konstitusional atas norma-norma yang mengandung dimensi dan merupakan isu konstitusional.

Ia menegaskan, MK bukanlah Mahkamah Keranjang (sampah) yang bisa memeriksa semua perkara atau tempat semua curahan warga mencari keadilan. Bukan pula tempat para elit, dengan mengorkestrasi warga untuk menggunakan instrumen keadilan ini guna mencari kuasa.

Ia mengungkapkan, permohonan terbaru uji materiil ketentuan batas usia capres/cawapres kembali diajukan ke MK oleh warga Solo yang masih berstatus mahasiswa pada tanggal 12/9/2023. Permohonan tersebut dengan nomor perkara 90/PUU-XXI/2023.

Hendardi menilai, selain tidak punya legal standing karena yang bersangkutan tidak sedang dan akan nyapres, permohonan ini sangat politis karena pemohon meminta tafsir dan makna konstitusional ketentuan batas usia itu dimaknai dengan bahwa syarat usia 40 tahun atau pernah menjabat sebagai gubernur/bupati/walikota.

“Dengan kata lain, pemohon kembali mengambil langkah antisipatif bilamana MK terlanjur memutus menolak permohonan serupa pada tiga perkara yang hampir putus,” katanya.

Sebelumnya, lanjut Hendardi, MK telah memberikan privilege pada perkara pengujian Pasal 169 huruf q UU 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) yang menetapkan batas usia calon presiden dan wakil presiden paling rendah 40 tahun.

“Dengan sidang maraton, MK telah menyelesaikan tahap pemeriksaan dan Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) atas perkara 29/PUU-XXI/2023, 51/PUU-XXI/2023, dan 55/PUU-XXI/2023,” ujarnya.

Untuk kepastian hukum, lanjut Hendardi, MK didorong segera menggelar sidang pleno pembacaan putusan, mengingat tahapan Pilpres akan memasuki masa pendaftaran pada 19–25 Oktober 2023.

“Menunda pembacaan putusan padahal sudah diputus, sama saja menunda keadilan. Menunda keadilan berarti menolak keadilan sebagaimana doktrin justice delayed justice denied. Artinya, putusan MK tidak akan berarti bagi penegakan kehidupan berkonstitusi,” ujarnya.

Pentingnya menyegerakan pembacaan putusan juga ditujukan untuk memberi pembelajaran bagi warga dan elit yang nafsu berkuasa dengan terus mengorkestrasi argumen keadilan bahwa seolah-olah pembatasan usia capres atau cawapres adalah diskriminatif sehingga harus ditafsir lain.

Padahal sejak lama, ujar Hendardi, ihwal pengaturan usia pejabat publik dikategorikan bukan sebagai isu konstitusional oleh MK. Ini sebagaimana dalam putusan putusan No. 37/PUU-VIII/2010 terkait usia pimpinan KPK, putusan 49/PUU-IX/2011 terkait syarat usia calon hakim konstitusi, No. 15/PUU-XV/2017 terkait usia calon kepala daerah, dan putusan No. 58/PUU-XVII/2019 dan putusan No. 112/PUU-XX/2022 terkait syarat usia pimpinan KPK yang tetap dinyatakan sebagai bukan isu konstitusional.

Ia mengungkapkan, batas usia dalam pengisian jabatan publik jelas merupakan open legal policy atau kebijakan hukum terbuka sehingga bukan merupakan kewenangan MK untuk mengaturnya.

“Presiden dan DPR sebagai law maker adalah institusi yang berwenang menetapkan batasan usia tersebut,” katanya.

Menurutnya, dari perspektif HAM dan hak konstitusional warga, sejak berdiri, MK telah mempertegas batasan tafsir diskriminasi yang seringkali dijadikan argumen dan dalil pengujian konstitusionalitas norma.

“Banyak salah kaprah penggunaan dalil diskriminasi yang sebenarnya adalah bentuk perlakuan berbeda dalam kondisi yang berbeda,” katanya.

Hendardi mengungkapkan, berdasarkan? riset 10 Tahun Kinerja Mahkamah Konstitusi, SETARA Institute pada 2013 mencatat bahwa MK telah berkontribusi memberikan batasan pemaknaan terhadap konsep diskriminasi dan nondiskriminasi.

“MK menegaskan bahwa perlakuan berbeda dengan diskriminasi adalah berbeda. Perlakuan berbeda dalam mengisi posisi jabatan-jabatan tertentu misalnya, dapat dibenarkan dengan menakar relevansi fungsi kelembagaan tersebut,” katanya.

Perlakuan berbeda atau pembedaan dapat dibenarkan sepanjang tidak didasarkan atas agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, dan keyakinan politik serta tidak dilakukan secara sewenang-wenang dan melampaui kewenangan pembentuk undang-undang.

“MK harus tahan ujian di tahun politik, meskipun sebagian orang telah meragukannya,” ujar Hendardi.

Pasalnya, lanjut dia, MK adalah satu-satunya harapan penjaga kualitas demokrasi dalam Pemilu, saat para penyelenggaran Pemilu dan pemerintah menunjukkan gejala tidak netral dalam kontestasi.

“MK juga yang bisa menghentikan konsolidasi politik dinasti yang dikendalikan oligarki, yang terlanjur memerankan sebagai pengendali republik melalui prakti vetocracy di hampir semua kebijakan negara,” katanya.

24