Home Kolom Pulau Rempang; Dehumanis, Pelanggaran Nilai Agama dan Intoleransi Ekonomi

Pulau Rempang; Dehumanis, Pelanggaran Nilai Agama dan Intoleransi Ekonomi

 

Oleh: Aguk Irawan MN*


Konflik masyarakat Rempang dengan aparat --dalam hal ini petugas gabungan Polisi, Tentara, Satpol PP, dan DITPAM Badan Pengusahaan (BP) Batam, pada tanggal 7-9 Agustus 2023 yang lalu, bukan saja memperlihatkan adanya pelanggaran hak asasi manusia, tapi juga pelanggaran pada nilai-nilai agama, sekaligus semakin memperjelas adanya ketimpangan sosial dan intoleransi ekonomi.

Konflik aparat kekerasan negara dengan warga sipil berakar pada masalah tanah. BP Batam ingin mengembangkan tanah milik warga sebagai Kawasan Rempang Eco City. Pada tanggal 7 September 2023, BP Batam berjanji untuk berkomitmen menyediakan lahan pengganti bagi warga Pulau Rempang yang akan direlokasi.

Apabila hunian baru belum selesai, maka BP Batam berjanji pula akan menyediakan hunian sementara sekaligus biaya hidup perbulan. Besaran biaya hidup yang dimaksud adalah Rp1.034.636 per orang dalam setiap kartu keluarga (KK). Biaya tersebut diperuntukkan biaya air, listrik, dan kebutuhan sehari-hari.

Bagi masyarakat yang memilih untuk tidak menempati rumah hunian sementara yang tersedia, dan lebih memilih menumpang di rumah saudara atau di luar hunian sementara, BP Batam berjanji memberikan tambahan biaya sewa sebesar Rp1,000,000/bulan. Sementara hunian baru yang dipersiapkan berupa rumah tipe 45 seharga Rp120,000,000/unit, dengan luas tanah maksimal 500 meter persegi.

BP Batam juga menggambarkan masa depan Pulau Rempang sebagai "Kampung Pengembangan Nelayan Maritime City," yang kelak akan menjadi percontohan di Indonesia sebagai kampung nelayan yang modern sekaligus ramah lingkungan. Dilengkapi dengan lembaga pendidikan (SD, SMP dan SMA) dan rumah ibadah (masjid, gereja, dan lainnya).

Namun, apakah semua janji manis Badan Pengusahaan Batam menarik dan memikat hati masyatakat? Mengapa Polisi, Tentara, dan Satpol PP lebih memihak perusahaan dari pada masyarakat? Jawabannya sudah jelas, seperti yang sudah-sudah, masyarakat tak begitu percaya dengan janji-janji manis dan imajinasi tentang masa depan yang lebih baik dari pemerintah.

Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menggambarkan bagaimana aparatur kekerasan negara telah melanggar nilai-nilai religi, untuk tidak menyebutnya telah melanggar hak asasi manusia (HAM). YLBHI mengatakan, aparat gabungan dari beragam kesatuan mengendarai 60 armada berupaya masuk ke Pulau Rempang.

Logikanya, aparat negara yang seyogyanya melindungi rakyat, sekarang berbalik menyerang mayoritas penduduk dari 16 kampung Melayu Tua. Dengan persenjataan yang dibeli dari uang masyarakat, mereka menyerangnya dengan menyemprotkan water cannon kepada masyarakatnya sendiri.

YLBHI menambahkan bahwa beberapa orang mendapatkan intimidasi, kekerasan fisik, dan enam orang ditangkap oleh kepolisian setempat. Mereka dimasukkan ke dalam mobil berjeruji besi, layaknya tahanan, pelaku kriminal, bahkan lebih buruk dari perlakuan koruptor.

Sungguh sangat sulil mencari titik pembenaran dari perilaku aparatur negara tersebut; karena demi membela investasi dan pengusaha rela menyakiti fisik dan perasaan bangsanya sendiri. Di sinilah kita menemukan kebenaran pernyataan Presiden RI Pertama Ir. Soekarno: "perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah, namun perjuangan kalian akan lebih sulit karena melawan bangsa sendiri."

Perilaku pemerintah dan aparatur negara tidak dapat dibenarkan dalam banyak sisi. Bukan saja salah dari segi perjuangan mengisi kemerdekaan ini, yang mulai mengarah pada tindakan-tindakan intoleransi ekonomi dan ketidakadilan sosial. Lebih dari itu, investasi di Pulau Rempang melanggar dasar ajaran agama.

Islam, misalnya, memegang teguh kaidah ushul: "tasharruful imam bil maslahah." Implementasi kebijakan pemerintah diukur dari kemaslahatannya. Jika investasi tidak mengutamakan kemaslahatan (warga sekitar), maka kaidah ushul menolak tegas tindakan intoleransi ekonomi dan ketidakadilan semacam itu.

Dengan spektrum yang lebih luas dan mendekati pasti, setiap kebijakan publik yang tidak menguntungkan publik itu sendiri haruslah ditolak. Walaupun Pulau Rempang dalam imajinasi pemerintah akan menjadi kampung nelayan percontohan di Indonesia, namun itu semua adalah perspektif sepihak. Pada kenyataannya, warga tidak mampu memahami imajinasi abstrak tersebut.

Kemaslahatan yang harus terkandung dalam setiap kebijakan publik bukan dalam pandangan pemerintah. Jika itu terjadi, maka negara ini masih terikat oleh kekuatan oligarki. Sebaliknya, kemaslahatan diukur dari pemahaman rakyat itu sendiri. Dengan kata lain, warga Pulau Rempang tidak boleh menjadi objek kebijakan melainkan sebagai subjek kebijakan publik.

Logika ini dibangun karena lahan yang tak berpenghuni yang dikuasai pemerintah masih amatlah banyak, kenapa harus memaksakan membangun investasi di lahan yang berpenghuni dan sampai hati mengusir warganya sendiri? Bukankah ini semakin memperjelas bahwa "pemerintah" lebih mengutamakan kepentingan pemodal daripada nasib rakyatnya sendiri.

Imam Zainuddin ibnu Najim al-Hanafi mengatakan: "Kebijakan politik seorang pemimpin menyangkut kemaslahatan, yang terkait dengan kepentingan umum (umur ammah), maka tidak bisa dijalankan apabila bertentangan dengan kepentingan khusus (umur khassah) yaitu lingkup warga sekitarnya. Karena penegakan maqhosidu syariah harus terpenuhinya dua unsur yaitu umum dan khusus sekaligus."

Sementara dari sisi pesan ayat Suci mengatakan: "Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah baik laki-laki, wanita-wanita maupun anak-anak yang semuanya berdoa: Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini (Mekah) yang zalim penduduknya dan berilah kami pelindung dari sisi Engkau, dan berilah kami penolong dari sisi Engkau!" (Qs. An-Nisa':75).

Dengan kata lain, kepentingan umum dan khusus yang diperjuangkan oleh agama adalah kepentingan semua orang, sehingga tidak ada satu pun orang baik laki-laki, perempuan, dan anak-anak yang merasa terzalimi oleh kebijakan penguasa. Kezaliman penguasa terhadap rakyatnya sendiri adalah dosa besar dalam agama.

Demi menjaga kepentingan publik dari kebijakan zalim pemerintah, maka fiqih mengatur urusan investasi, yang baik dan benar menurut syariat. Investasi harus memenuhi standar dasar, yaitu menjamin pembagian hasil yang fair antara investor maupun penerima investasi, produktif, dan menyangkut kepentingan umum.

Muhammad al-Fatih Mahmud Basyir al-Maghribi, dalam kitabnya Al-Tamwil wa Al-Istitsmar fi Al-Islam, mengatakan: "takhdha'u 'amaliyyatut tamwil al-islami li majmu'ah minal dhawabith wal mabadi' allati min sya'niha an taj'alaha kafa-atan wa fa'aliyyatan bi hadfi tahqiqi tanmiyyatin syamilatin," (2018:7).

Dengan terjadinya bentrokan antara warga Pulau Rempang dan pihak pemerintah (BP Batam dan Aparat Kekerasan Negara), investasi di Pulau Rempang tidak memenuhi standar "kafa-atan" (rair return) juga tidak memberikan keuntungan besar bagi rakyat (syamilatan). Satu-satunya yang didapat dari investasi Pulau Rempang adalah keuntungan bagi dan dari sudut pandang pemerintah semata-mata yang dalam hal ini diwakili oligarki.

Perlu dicatat, praktik investasi yang tidak religius, tidak memenuhi standar kemanusiaan, dan selalu menguntungkan pihak oligarki (pemerintah) dengan menyengsarakan rakyat sudah menjadi pemandangab yang biasa di negeri ini. Maka perlu kiranya di masa-masa mendatang kita mengupayakan paradigma baru yang mengusung perubahan untuk realisasinya keadilan sosial, kemanusiaan, dan nilai religius, bukan hanya soal pergantian kepemimpinan belaka!.[G]


*Analis Sosial-Budaya dan Pengasuh Pesantren Baitul Kilmah Yogyakarta