Home Kesehatan IISD Desak Peraturan Pelaksana UU Kesehatan yang Memperketat Pengaturan Zat Adiktif

IISD Desak Peraturan Pelaksana UU Kesehatan yang Memperketat Pengaturan Zat Adiktif

Jakarta, Gatra.com - Indonesia Institute for Social Development (IISD) mendesak pemerintah untuk memperketat pengaturan zat adiktif berupa produk tembakau melalui Peraturan Pemerintah (PP) pelaksana dari Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 atau UU Kesehatan.

Diketahui, Pemerintah tengah menyusun Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) yang menjadi mandat dari UU Kesehatan yang telah resmi disahkan dan diundangkan pada 8 Agustus 2023.

Salah satu bagian RPP yang sedang disusun adalah pengamanan zat adiktif berupa produk tembakau sebagaimana mandat Pasal 152 UU 17/2023 tentang Kesehatan.

Dalam dokumen draf RPP yang beredar di publik, produk tembakau diatur dalam beberapa pasal, antara lain mengatur ketentuan rokok elektrik, larangan iklan, KTR, display produk dan larangan penjualan ketengan.

“Draft RPP bagian zat adiktif sudah relatif bagus, pemerintah tak boleh ragu lagi, segera sahkan. Jangan sampai masuk angin, terutama oleh manuver kepentingan industri,” ujar Program Director IISD Ahmad Fanani dalam keterangannya di Jakarta pada Jumat (29/9).

Menurutnya, pengaturan eksisting zat adiktif di bawah rezim PP 109/2012 gagal total. “Selama 10 tahun rezim PP 109/2012 darurat rokok tak membaik, justru perokok anak terus naik. Yang mencemaskan, 80% perokok mulai merokok di usia anak (di bawah 18 tahun),” katanya.

Ahmad menekankan, tak boleh lagi ada muslihat membenturkan upaya memperkuat regulasi zat adiktif dengan kepentingan ekonomi atau petani. Faktanya, selama 20 tahun terkahir industri tumbuh signifikan tapi nasib petani tak berubah.

Data Statistika Perkebunan Unggulan Nasional 2022 yang dikeluarkan Kementerian Pertanian Republik Indonesia, menunjukkan jumlah petani di lima wilayah perkebunan tembakau terbesar di Indonesia mengalami penurunan, dengan total jumlah petani tembakau pada 2021 mencapai 597.966 petani, menurun jadi 520.539 petani pada 2022.

Sebaliknya, berdasarkan laporan keuangan tahunan industri rokok, penjualan rokok cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Beberapa perusahaan rokok terbesar di Indonesia mencatatkan penjualan bersih yang makin meningkat selama 20 tahun terakhir.

“Kita tidak sedang mengatakan kalkulasi ekonomi itu tabu. Tapi sebagai negara yang dibangun di atas visi keadilan sosial, kalkulasi ekonomi dan industri tidak boleh meminggirkan kepentingan kesehatan yang merupakan hak dasar warga negara, dan determinan penting bagi gelap-terangnya masa depan bangsa,” ucap Ahmad.

Menurutnya, SDM yang unggul dan berdaya saing tidak akan berdaya guna tanpa didukung kesehatan optimal yang merupakan bantalan vital produktivitas. “Pandemi Covid mestinya membuka mata kesadaran kita betapa mahal harga yg harus dibayar dari bencana kesehatan,” ujarnya.

Ahmad menjelaskan, dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, pemerintah mentargetkan penurunan prevalensi perokok anak dari baseline 9,1 persen menjadi 8,7 persen di tahun 2024.

Sebelumnya, pada RPJMN 2015-2019 pemerintah juga gagal mewujudkan target prevalensi perokok anak. RPJMN 2015-2019 memasang target prevalensi perokok anak pada angka 5,4% di tahun 2019, tetapi realisasinya justru naik 9,1%.

Berbagai data mengindikasikan target RPJMN 2019-2024 untuk menurunkan prevalensi perokok anak pada angka 8,7 persen sulit terwujud. Hasil Survei Outlook Perokok Pelajar yang dilaksanakan Indonesia Institute for Social Development (IISD) pada 2022, dengan mengambil responden pelajar SMP-SMA, usia 11-19 tahun, sebanyak 27,76% pernah merokok dan sebanyak 10,67% menjadi perokok harian.

“Kegagalan pencapaian target RPJMN karena pemerintah tak melaksanakan rekomendasi RPJMN yang mengamanahkan penguatan regulasi pengendalian tembakau sebagaimana tercantum dalam rekomendasi 3.4,” pungkasnya.

112