Home Hukum Probono Bisa dalam Perkara Hukum Adat? Narasumber PKPA Peradi Jakbar Sampaikan Ini

Probono Bisa dalam Perkara Hukum Adat? Narasumber PKPA Peradi Jakbar Sampaikan Ini

Jakarta, Gatra.com – Ketua Pusat Bantuan Hukum (PBH) Peradi Denpasar, Dr. Desi Purnani, S.H., M.H., menjelaskan tentang apakah pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma alias gratis (probono) bisa atau tidak diterapkan dalam perkara hukum adat.

Desi menyampaikan pandangannya menjawab pertanyaan salah seorang peserta Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) Angkatan IX gelaran DPC Peradi Jakarta Barat (Jakbar)-Universitas Bina Nusantara (Ubinus) yang dihelat secara hybrid pada Jumat malam (20/10).

Desi lantas mencontohkan daerah Bali yang mempunyai hukum adat yang masih sangat kental di tengah masyarakatnya. Menurutnya, probono dalam pandampingan klien dalam perkara hukum adat ini sangat membantu.

“Contoh, untuk kasus perceraian. Kalau secara hukum nasional kita, perceraian itu hanya berdasarkan akte prkawinan atau buku nikah saja langsung ke proses pengadilan,” katanya.

Namun di daerah Bali yang juga menerapkan hukum adat, ada ketentuan bahwa perceraian harus melalui lembaga atau hukum adat. Selama dalam perkara tersebut tidak terdafat konflik, maka prosesnya tidak rumit.

“Bagaimana kalau berkonflik, misalnya bagaimana hak asuh anak? Purusa-nya sangat kental sekali. Bagaimana dengan anak, apakah anak bisa dibagi dan anak sebagai apa,” ujarnya.

Ia menjelaskan, ketika ada masyarakat kurang mampu meminta pendampingan hukum secara probono, lanjut Desi, advokat bisa memberikan pendampingan dalam perkara hukum adat di banjar.

“Jadi di sana tradisi pernikahan adat itu harus lewat banjar dulu secara adat, kemudian didaftarkan di catatan sipil setempat. Di situlah ketika terjadi permasalahan, pendampingan, kita bisa sangat potensial sekali untuk membatu permasalahan hukum adatnya,” kata dia.

Ia menjelaskan, karena menggunakan hukum adat, maka advokat harus memahami hukum adat yang berlaku di suatu daerah, katakanlah Bali seperti yang dicontohkan dalam perkara ini.

“Kita lepas dari ranah hukum nasionalnya dulu, kita fokuskan di hukum adat. Ini sangat efektif sekali untuk bisa menengahi karena di hukum adat itu ada banjar, pendese, prajuru adat,” katanya.

Desi menjelaskan, advokat hanya dapat menolak memberikan probono dengan alasan dan pertimbangan bahwa perkaranya tidak sesuai dengan keahlian advokat, bertentangan dengan hati nuraninya yang bukan karena pertimbangan diskriminasi SARA, HAM, dan gender; serta akan mengakibatkan terjadinya benturan atau konflik kepentingan sebagaimana diatur dalam perundang-undangan.

“Sedang menangani probono lain, di mana berdampak beban berlebihan dalam penanganan yang dibuktikan dengan bukti-bukti perkara probono yang sedang ditangani dan sudah melebihi kuota probono, yakni 50  jam atau lebih dari perkara yang diwajibkan. Tetapi tetapa menerima dan menangani lebih dianjurkan,” katanya.

Lebih lanjut Desi menyampaikan bahwa advokat wajib memberikan bantuan hukum sebagaimana ketentuan dalam Pasal 22 Ayat (1) dan (2) Undang-Undang (UU) Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat.

Kemudian, Pasal 1 angka 3 UU Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum. Pasal 2 sampai Pasal 14 Peraturan Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Nomor: 1 Tahun 2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma. Pasal 11 Ayat (1) dan Ayat (2) dan Pasal 13 Peraturan Pemerintah Nomor 83 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberiran Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma.

212