Home Nasional Imam Besar Masjid Istiqlal: Pemuda Indonesia Jangan Pesimistis Memandang Bangsanya

Imam Besar Masjid Istiqlal: Pemuda Indonesia Jangan Pesimistis Memandang Bangsanya

Jakarta, Gatra.com – Sumpah Pemuda yang diperingati pada 28 Oktober 2023, menjadi pengingat akan perjuangan para pemuda dari berbagai suku, agama, dan budaya di Indonesia untuk bersatu membangun sebuah bangsa. Imam Besar Masjid Istiqlal, Prof. Dr. Nasaruddin Umar, mengingatkan para pemuda Indonesia agar tidak pesimistis memandang bangsanya sendiri, melainkan senantiasa memperjuangkan persatuan di tengah perbedaan dan kemajemukan.

“Saya berharap betul, pemuda Indonesia jangan kerjanya hanya menjelekkan bangsa sendiri dan mengagumi bangsa lain. Dengan segala kekurangan bangsa kita, kita tetap harus menghargai bangsa sendiri,” kata Nasaruddin dalam webinar internasional “Sumpah Pemuda dan Literasi Keagamaan Lintas Budaya: Memperkuat Kohesi Sosial dalam Masyarakat Plural” yang diadakan Institut Leimena bersama Ponpes As’adiyah Pusat Sengkang Sulsel dan Sekolah Kristen Tritunggal Semarang pada Jumat (27/10).

Nasaruddin mengatakan, Indonesia layaknya “kepingan surga” karena memiliki alam yang sangat subur serta masyarakat dan budaya yang beragam. Al-Qur’an juga menyebut tentang keberagaman bahwa Allah menciptakan manusia berbangsa-bangsa dan bersuku-suku. Itulah sebabnya, pemuda Indonesia masa kini menghadapi tantangan untuk mengembangkan perbedaan menjadi sebuah kekuatan, bukan kelemahan.

Nasaruddin mendorong para pemuda untuk mempelajari sejarah bangsa dengan baik. Indonesia memiliki modal sosial di masa lalu karena pernah mengalami penjajahan selama berabad-abad. Faktor tersebut seharusnya memudahkan kita sebagai anak-anak bangsa untuk bekerja sama sekalipun berbeda agama, suku, dan budaya.

“Agama apapun pernah merasakan dijajah di Indonesia, etnik apa pun pernah merasakan bagaimana susahnya menjadi orang yang dijajah. Jadi persamaan sejarah membuat kita lebih solid sebagai warga bangsa,” ujar Nasaruddin yang juga Ketua Umum PP Ponpes As’adiyah Sengkang.

Menurutnya, Sumpah Pemuda adalah contoh bahwa sejak zaman dahulu keinginan menyatu sebagai sebuah bangsa sudah diproklamirkan oleh para wakil pemuda dari berbagai daerah. Menurutnya, Nabi Muhammad SAW juga menghargai kepemimpinan pemuda, salah satunya dengan menunjuk panglima perang Usamah bin Zaid yang baru berusia 19 tahun.

Nasaruddin juga mengingatkan pentingnya persatuan bangsa menjelang pesta demokrasi tahun 2024. Dia mengimbau para santri dan civitas akademika di mana pun agar menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan, serta menjadi pemuda tangguh yang optimistis terhadap diri sendiri dan bangsanya.

“Kita boleh berbeda partai, berbeda pilihan, tapi tetap cita-cita bangsa ke depan Insyaallah kita tetap mendukung panji-panji Negara Kesatuan Republik Indonesia. Siapa pun pemimpin terpilih, kita berikan dukungan sepenuhnya. Siapa pun yang kalah, terimalah itu menjadi suatu takdir kenyataan. Jika cara berpikir kita seperti itu, Indonesia akan menjadi negara sangat kokoh di masa datang,” kata Nasaruddin.

Pelajaran dari Johannes Leimena dan Buya Syafi’i

Senior Research Fellow dari University of Washington Amerika Serikat, Dr. Chris Seiple, mengatakan, Sumpah Pemuda adalah sebuah deklarasi luar biasa yang telah membentuk bangsa Indonesia. Ia merasa sangat beruntung bisa mempelajari Sumpah Pemuda dari program literasi keagamaan lintas budaya. Salah satunya mengenal Sosok Dr. Johannes Leimena yang merupakan tokoh Sumpah Pemuda sebagai perwakilan Jong Ambon dalam Kongres Pemuda tahun 1928.

“Beliau (Johannes Leimena) berusia 23 tahun ketika Sumpah Pemuda. Saya berpikir, apa yang saya pikirkan saat berusia 23 tahun, bagaimana saya bisa belajar berpikir seperti beliau untuk saling menghormati dan bekerja sama supaya ada satu nusa, satu bangsa, dan satu masyarakat,” kata Chris.

Chris menambahkan, tokoh Indonesia yang juga menginspirasinya dan dianggapnya sebagai “guru” adalah Ahmad Syafi’i Maarif atau Buya Syafi’i. Chris menyebut, Buya, yang lahir 7 tahun setelah Sumpah Pemuda, menukil lewat bukunya bahwa pluralisme tepat dilakukan dan bermanfaat bagi semua orang. Sumpah Pemuda benar-benar menggambarkan dan mengejawantahkan nilai pluralisme bahwa kita harus mempunyai kapasitas untuk menghormati satu sama lain sebagai satu bangsa.

Sementara itu, Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Ponpes As’adiyah, Dr. Tarmizi Tahir, mengatakan para santri di pesantren memiliki “ikrar santri” sebagai implementasi dari nasionalisme santri. Salah satu isi dari ikrar tersebut adalah santri di NKRI yang berideologi Pancasila dan berkonstitusi UUD 1945, serta berkebudayaan Bhinneka Tunggal Ika.

Guru Sekolah Kristen Tritunggal, Danny Prasetyo, mengatakan Sumpah Pemuda 1928 menjadi bukti bahwa semangat persatuan dan rasa bangga atas tumpah darah Indonesia sudah tumbuh jauh sebelum kemerdekaan. Penekanan dalam Sumpah Pemuda adalah kata “kami”, bukan “aku”, artinya generasi muda saat ini harus mampu mengendalikan ego dan kepentingan pribadi, sebaliknya mengutamakan kepentingan umum, bangsa, dan negara.

Direktur Eksekutif Institut Leimena Matius Ho mengatakan program literasi keagamaan lintas budaya, atau LKLB, merupakan upaya bersama Institut Leimena dan berbagai mitra untuk meneruskan semangat dan cita-cita Sumpah Pemuda. Program itu difokuskan kepada guru dan pendidik agama karena pentingnya peran pendidikan dalam membangun sikap saling menghargai sesama manusia terlepas dari berbagai perbedaan. Program LKLB telah diikuti sedikitnya 5.700 guru lintas agama dan penyuluh agama dari 34 provinsi sejak diadakan tahun 2021.

“Dalam masyarakat yang religius seperti Indonesia, kita tidak bisa mengabaikan pentingnya mengembangkan kemauan dan kemampuan untuk membangun relasi dan kolaborasi dengan penganut agama dan kepercayaan berbeda. Tanpa ini, masyarakat kita akan mudah diadu domba dan terpecah belah,” kata Matius.

100