Home Politik KPU Diminta Perhatikan Putusan MKMK dalam Menetapkan Capres-Cawapres

KPU Diminta Perhatikan Putusan MKMK dalam Menetapkan Capres-Cawapres

Jakarta, Gatra.com – Koordinator Perekat Advokat (Perekat) dan Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI), Petrus Salestinus, meminta Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk memperhatikan putusan Mahkamah Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) dalam menetapan Capres-Cawapres 2024.

“Dalam menetapkan Paslon, KPU dituntut menempatkan Putusan MKMK, sebagai landasan hukum dan etik,” kata Petrus di Jakarta, Minggu (12/11).

Terlebih lagi, lanjut Petrus, MKMK berhasil membongkar konspirasi politik di supra struktur politik Istana melalui jejaring nepotisme di MK, satu dan lain karena menjadikan MK sebagai instrumen politik.

Menurutnya, KPU harus memperhatikan itu karena yakyat Indonesia sedang prihatin dan cemas. Pasalnya, saat ini tiga lembaga negara yaitu Presiden, MK, dan KPU yang kewenangannya diberikan langsung oleh UUD 1945, namun pimpinannya diduga terlibat dalam konspirasi dengan supra struktur politik Istana dalam politik praktis.

“Padahal, baik MK maupun KPU RI, merupakan lembaga negara yang kemandirian dan independensinya dijamin oleh UUD 1945,” ujarnya.

Lembaga negara tersut, kata dia, seharusnya tidak boleh diintervensi secara melawan hukum oleh siapapun juga, terlebih-lebih oleh supra struktur politik demi politik praktis lewat nepotisme.

“Putusan MKMK No.2/MKMK/L/ARLTP/10/ 2023, tgl.7/11/2023, serta merta mendelegitimasi Putusan MK No.90/PUU-XXI/ 2023, tgl.16/10/ 2023 ditandai dengan diberhentikan Anwar Usman, ipar Presiden Jokowi dari jabatan ketua MK, karena terbukti melakukan pelanggaran berat Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi,” ujarnya.

Petrus lebih lanjut menyampaikan, KPU tidak boleh membiarkan dirinya hanya berfungsi sebagai eksekutor pihak Istana, mengeksekusi Putusan MK No.90/PUU-XXI/2023, tgl.16/10/ 2023 dan mengabaikan Putusan MKMK yang secara Moral dan Etik mengembalikan wibawa dan marwah MK.

“KPU harus pahami bahwa putusan MK No.90/PUU-XXI/2023 dimaksud adalah produk konspirasi supra struktur politik Istana, memperalat MK melalui Anwar Usman, ipar Presiden Jokowi, demi meloloskan GRR mendampingi Bacapres Prabowo Subianto,” ujarnya.

Menurutnya, itu sebagaimana secara eksplisit dan implisit diungkap dalam Putusan MKMK. Oleh karena itu, suka atau tidak Putusan MKMK itu berimplikasi menimbulkan cacat hukum pada pencawapresan GRR, sehingga KPU tidak punya pilihan lain selain harus menyatakan batal pencawapresan GRR.

Putusan MK dan MKMK dimaksud, merupakan alat bukti “sempurna”, bahwa etika kehidupan berbangsa dan bernegara di era Jokowi berada di titik nadir. Ini tentu mengancam integrasi nasional menuju krisis multi dimensi dan lahirnya krisis kepercayaan publik yang meluas kepada Pemerintah.

“Praktik bernegara dengan cara mengabaikan etika bernegara jelas menyimpang dari Pembukaan UUD 1945, TAP MPR No. XI/MPR/ 1998 dan TAP MPR No. VI/MPR/ 2001, yang secara tegas melarang relasi keluarga dalam Penyelenggaraan Negara (Nepotisme) melalui UU No. 28 Tahun 1999,” ujarnya.

Nepotisme pada gilirannya akan merusak sendi-sendi etika bernegara, yakni kejujuran, rasa malu, keteladanan, toleransi, menjaga kehormatan serta martabat diri sebagai warga bangsa, berangsur angsur hilang dan akan muncul disintegrasi bangsa.

“Untuk menghentikan Nepotisme Jokowi dengan daya rusak yang tinggi, hanya bisa dilakukan dengan dua cara,” ujarnya.

Pertama, lanjut Petrus, Anwar Usman mundur total atau dipecat dari Hakim Konstitusi, sedangkan GRR segera mundur atau ditarik dari posisi Bacawapres dan diganti oleh Pimpinan Parpol dalam KIM.

“Jika cara pertama gagal dilakukan, maka pilihan cara kedua, sebagai langkah konstitusional 'Memproses hukum Presiden Jokowi melalui impeachment atas dugaan telah melanggar UUD 1945 dan peraturan hukum lainnya',” ujarnya.

Secara kasat mata terdapat fakta yang notoire feiten, betapa Etika bernegara, yakni budi pekerti, kejujuran, integritas, rasa malu, toleransi mengalami penghancuran secara sistemik, selama 10 tahun Presiden Jokowi berkuasa.

“Lembaga Kepresidenan, MK, dan KPU, terkena imbas dari proses kehancuran akibat penyalahgunaan wewenang dengan menggunakan relasi keluarga dalam Tata Kelola Pemerintahan dan Penyelenggaraan Negara, tanpa rasa malu dan bersalah, karena itu harus diakhiri sekarang juga,” katanya.

Ia menegaskan, penggunaan Hak Angket DPR bisa berkembang hingga Presiden Jokowi di-impeachment di MK. Ini tentu memerlukan dukungan publik guna mendapatkan legitimasi.

“Karena itu, dalam melaksankan fungsi representasi rakyat, DPR memiliki alasan konstitusional meng-impeach Presiden Jokowi, tetapi dengan tetap menjaga integrasi nasional,” katanya.

61