Home Politik Politik Uang Susah Diberantas, Pemberian Politikus Dianggap Sedekah

Politik Uang Susah Diberantas, Pemberian Politikus Dianggap Sedekah

Sleman, Gatra.com– Maraknya politik uang menjelang pemilu dinilai tidak akan pernah bisa diselesaikan, meskipun terungkap bukti dan pelakunya. Politik uang dinilai bukan masalah hukum, melainkan terkait budaya. Desa memegang peran penting dalam upaya melawan politik uang.

Pandangan ini disampaikan dosen hukum tata negara Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, Gugun El Guyanie, saat ‘Deklarasi Desa Anti Politik Uang’ yang diselenggarakan Bawaslu Sleman, Yogyakarta, di kampus tersebut, Kamis (7/12) malam.

“Politik uang sama sekali bukan masalah hukum. Coba saja kita kumpulkan para profesor atau ahli tata hukum pidana, mesti tidak bisa menyelesaikan persoalan politik uang. Ini problem budaya hukum,” kata Gugun.

Ketika menerima sesuatu dari elit politik menjelang pemilu, menurut Gugun, masyarakat menamakan pemberian itu sebagai sedekah.

Bahkan meski tahu hal itu adalah politik uang, masyarakat enggan melaporkan karena mereka tidak ingin mencampuri urusan orang lain.

Gugun menyatakan, butuh waktu panjang untuk menghilangkan politik uang menjelang pemilu. Hal ini karena politik uang adalah masalah budaya hukum, sehingga yang harus dibenahi adalah budaya hukum di masyarakat.

“Penelitian LIPI dulu menemukan 40 persen dari total pemilih menerima sesuatu dari elit politik yang menjadi caleg. Ada 37 persennya bahkan memilih mereka yang memberi. Di Yogyakarta, 42 persen dari pemilih menyatakan apa yang diberikan elit politik menjelang pemilu bukan sogokan,” paparnya.

Menurutnya, untuk mengubah budaya ini harus dimulai dari desa. Desa memiliki struktur pemerintahan yang berdaulat dan masyarakat memiliki kedaulatan. Melibatkan mahasiswa dalam mensosialisasikan bahaya politik uang juga menjadi solusi.

Tapi yang paling penting, kata dia, masyarakat harus mampu menolak politik uang. "Jangan lagi menggunakan slogan ‘terima uangnya, pilih yang lain’. Tagline itu berbahaya karena akan mendidik budaya hipokrit atau munafik. Kalau mau bersih sekalian kita budayakan anti-politik uang,” tegas Gugun.

Dosen UGM Mada Sukmajati menyatakan desa merupakan tempat terbaik dan strategis melakukan transformasi atau perubahan sosial, termasuk masalah politik uang.

“Saya kira mengakhiri pola bitingan (politik uang di desa) menjelang pilkades akan berpengaruh besar pada pemilu di atasnya,” jelas Mada.

Menurutnya, skema politik uang lebih banyak dilakukan menjelang hari coblosan. Sebab masyarakat diasumsikan akan mengingat pihak pemberi di waktu-waktu akhir meskipun jumlahnya lebih kecil.

Ketua Bawaslu Arjuna Al Ichsan mengatakan dari 85 desa di Sleman baru lima yang mendeklarasikan sebagai desa anti-politik uang. Lima desa itu Sardonoharjo, Candibinangun, Trimulyo, Ambarketawang, dan Sendangsari.

“Memang sedikit dari kuantitas, tapi secara kualitas kita percaya kelima desa ini menjadi pelopor bagi banyak desa di Sleman. Tindakan sepele ini bagian dari sebuah gerakan dan saat banyak orang terlibat akan memberi dampak luar biasa,” katanya.

Gerakan anti-politik uang menurutnya memang langkah kecil. Namun langkah ini membawa perubahan besar.

“Politik uang, layaknya candu. Ia meracuni proses pemilu dan pemilihan dengan memperdagangkan suara dan kekuasaan. Membelokkan tujuan sejati dari sebuah Pemilu dan pemilihan yang adil,” tegasnya.

37