Home Pendidikan Jadi Pembicara di Harvard, Guru Besar Ukrida Angkat Peran Seni Sebagai Pereda Konflik Sosial

Jadi Pembicara di Harvard, Guru Besar Ukrida Angkat Peran Seni Sebagai Pereda Konflik Sosial

Jakarta, Gatra.com - Guru Besar Psikologi Universitas Kristen Krida Wacana (Ukrida), Prof. Johana Endang Prawitasari, menjadi pembicara dalam kuliah umum di Harvard University dan UCLA Center for Southeast Asia Studies di Amerika Serikat. Dalam paparannya, Johana menjelaskan tentang peran kearifan lokal dalam masyarakat Indonesia.

Johana mengusung topik The Psychology of Indonesian Communities on Javanese Cultural Psychology. Analisis tersebut mengetengahkan contoh kondisi sosial masyarakat di wilayah Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta pasca gempa bumi 27 Mei 2006. Contoh yang sekaligus menjadi studi kasus ini  kemudian menjadi pembahasan yang menarik dan interaktif.

Berawal dari serangkaian kegiatan penelitian bersama dalam Action Research Design,  yang kemudian melahirkan gagasan pendekatan melalui seni dan budaya, guna merepresentasikan kondisi sosial masyarakat. Latar belakang kegiatan penelitian berlanjut ke pengabdian pada masyarakat, dimana gempa tahun 2006 tersebut menyisakan penderitaan, peluang sekaligus tantangan.

“Selain pemberian bantuan, ditemukan juga potensi masalah sosial karena dirasakan adanya ketidakadilan distribusi bantuan,” jelas Johana dalam keterangannya, Senin (8/1).

Dalam penelitian tersebut, diketahui bahwa asca musibah gempa bumi itu ternyata terjadi ketidakadilan distribusi bantuan, yaitu warga masyarakat korban gempa memperoleh bantuan dana karena memiliki KTP setempat, sementara yang rumahnya hancur karena gempa malah tidak memperoleh bantuan dana karena tidak memiliki KTP setempat.

Saat itu, soslusi masyarakat atas konflik ketidak adilan hadir melalui Srandul, yaitu drama tari dan merupakan seni tradisional kerakyatan dari Yogyakarta yang didasarkan pada kearifan masyarakat setempat. Setiap RT atau dusun membuat skenario drama sendiri sebelum, saat, dan setelah gempa.

Dalam proses latihan drama terjadi gotong royong dan kerukunan mulai terjalin. Hal demikian menjadi salah satu upaya bersama guna mengatasi trauma sosial yang terjadi, dan masyarakat setempat merespon kegiatan sosiodrama dengan sangat positif.

“Tujuan pementasan sosiodrama tersebut adalah agar konflik sosial itu dapat tercermin untuk kemudian bisa mencari solusi bersama”, demikian dikatakan oleh Johana.

Beberapa manfaat serta pelajaran yang diperoleh dari penelitian dan pengabdian pada masyarakat, antara lain mendukung sistem dana bergulir, sebagai wadah melaksanakan demokrasi, koordinasi, dan menyampaikan pendapat bahkan kritik. Selain itu juga bermanfaat sebagai wadah beragam informasi dan program kegiatan desa, menambah pendapatan desa karena bisa menyewakan perlengkapan kepada desa tetangga.

Sebagai tindak lanjut dari kegiatan, gagasan yang muncul, diantaranya kolaborasi dengan pakar nasional dan internasional untuk menghasilkan pengetahuan baru terkait masalah sosial.

Gagasan lainnya, yaitu kajian psikologi budaya menggunakan keberagaman budaya di Indonesia, dimana banyak kelompok etnis, bahasa lokal, dan budaya asli. Layanan kesehatan mental yang kemungkinan digabungkan dengan kearifan lokal guna mendukung mekanisme penanggulangan konflik sosial, juga menjadi gagasan untuk ditindaklanjuti bersama.

“Terungkap premis bahwa konteks budaya sangat penting untuk melakukan tindakan yang tepat sesuai persepsi komunitas. Dalam hal ini setelah gempa bumi hebat yang sedemikian memporakporandakan kehidupan penduduk di Bantul, seni dapat digunakan untuk revitalisasi kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat,” tegas dia.

47