Home Gaya Hidup Suun dan In Cycle di Lawatari IDF Yogyakarta: Eksplorasi Gerak Tubuh dalam Konteks Keperempuanan

Suun dan In Cycle di Lawatari IDF Yogyakarta: Eksplorasi Gerak Tubuh dalam Konteks Keperempuanan

Jakarta, Gatra.com - Penampilan tari “Suun” oleh koreografer Putu Arista Dewi dan “In Cycle” oleh koreografer Siti Alisa menutup rangkaian program Lawatari Indonesian Dance Festival (IDF) di Yogyakarta, Minggu (21/1). Kedua karya ini menyuguhkan gerak tubuh dalam konteks keperempuanan yang mengeksplorasi siklus dan posisi perempuan sebagai bagian dari hidup dan kehidupan.

Di pertunjukan pertama, Putu Arista Dewi mengangkat laku tubuh dalam kegiatan suun yaitu cara membawa barang dengan meletakkannya di atas kepala. Kegiatan ini merupakan laku tubuh sehari-hari perempuan Bali. Dalam suasana hening, Arista membawakan sendiri tarian ini di tengah-tengah penonton yang mengelilinginya tanpa batasan jarak.

Diawali dengan prosesi pengenaan busana dalam gerak tenang, penonton diajak mengamati tiap prosesnya dengan seksama dan tidak terburu-buru. Hingga si penari siap melakukan suun setelah satu kain yang dilingkarkan terpasang di kepalanya. Kemudian dia meletakkan sebuah kursi di atas kepala, sedikit membungkuk tangannya menggapai kursi lain dan mengangkatnya untuk dibawa di kedua tangan.

Baca Juga: IDF Lawatari: Yogyakarta, Pertemukan Proses Pengembangan Karya dan Praktik Inkubasi

Arista maju perlahan sembari menjaga keseimbangan. Lehernya bergerak perlahan ke kiri kanan demi menjaga posisi kursi di atas kepala. Hingga di ujung panggung kursi itu kemudian diletakan dalam posisi menyerupai menara. Prosesi ini diulangi beberapa kali, makin lama makin banyak kursi yang bertumpuk di ujung panggung.

Kemudian Arista mulai bermain dengan penonton. Dia meminta kursi yang diduduki penonton untuk dipasang di kepalanya. Pada tahap ini, kesulitan gerak tampak meningkat. Jika sebelumnya Arista bisa menyesuaikan posisi kursi yang “nyaman” di kepalanya, kali ini dia harus memasrahkan posisi itu pada penonton.

Gerak lehernya makin banyak terlihat bergeser sembari menahan untuk mencari posisi imbangnya. Dalam proses suun tersebut, terasa adanya koneksi antara tubuh, benda dan ruang. Bagaimana pun benda yang ditaruh di atas kepala akan mempengaruhi ruang gerak tubuh. Dan itulah yang terlihat dari tiap laku gerak yang muncul dari tubuh Arista di atas panggung.

Pertunjukan Suun di Lawatari Indonesian Dance Festival Yogyakarta (Gatra/Hidayat Adhiningrat P.)

Di ujung, pada menara itu, kali ini dia tidak hanya meletakan kursi yang dibawanya. Arista naik ke atas salah satu bagian menara kursi untuk menaruh kursi selanjutnya dalam posisi lebih tinggi. Penonton dibawa dalam suasana tegang, mungkin juga menduga kapan saatnya kursi-kursi itu terjatuh dan porak poranda. Meski nyatanya, hingga pertunjukan selesai tidak ada satupun kursi yang terjatuh dan penonton bisa bernafas lega. Arista berhasil membangun menara kursi itu dengan sempurna.

Putu Arista Dewi adalah seorang penari dan koreografer asal Jembrana, Bali, yang saat ini tinggal di Yogyakarta. Dalam dua tahun terakhir, Arista banyak berkolaborasi bersama kawan-kawan seniman lintas disiplin, termasuk teater, musik, dan rupa. Praktik artistik Arista berkelindan seputar tubuh dan perempuan Bali, yang dilihat dari aktivitas sehari-hari, sebagai sebuah teks yang menarik untuk ditelisik lebih jauh.

Baca Juga: Atandang, Ganda, dan Budi Bermain Boal: Tiga Pertunjukan Pertama Lawatari Yogyakarta

Bagi Arista, tari berkaitan erat dengan laku tubuh sehari-hari, dan tubuh memiliki sejarah dan narasi yang menarik untuk digali secara mendalam. Saat ini Arista tengah meneliti biografi ibunya yang berprofesi sebagai pemetik janur dalam konteks repertoar arsip perempuan Bali. Menggunakan tari dan biografi sang ibu sebagai titik awal, Arista ingin menelisik lebih jauh mengenai posisi perempuan terhadap kuasa.

Pada penampilan kedua, Siti Alisa lewat karya “In Cycle” berbicara tentang siklus hidup perempuan dalam bayang-bayang nilai moral di era modernitas. Dalam pertunjukan ini, empat penari perempuan bergerak ritmis di bawah remang cahaya. Di belakangnya stoples-stoples kaca menghiasi panggung dengan cahaya-cahaya berpendar.

Gerak yang keluar dari tubuh penari kental dengan unsur tarian balet. Ada unsur kelembutan yang dipadukan dengan penekanan pada kekuatan di beberapa bagiannya. Semacam memberikan gambaran tentang sifat tangguh perempuan dalam menghadapi fase-fase hidupnya yang berkelindan dengan beban-beban biologis dan sosial yang membayanginya.

Pertunjukan In Cycle di Lawatari Indonesian Dance Festival Yogyakarta (Gatra/Hidayat Adhiningrat P.)

Dalam peristiwanya, tubuh merupakan media komunikasi utama yang diekspresikan melalui benturan-benturan antara tubuh tari konvensional dan ketubuhan yang organik. Di saat yang sama, karya ini menyuguhkan kekontrasan artistik melalui kedinamisan antara visualisasi gambar, cahaya dan gerak tubuh.

Siti Alisa adalah seniman tari independen yang berbasis di Jakarta. Alisa mendalami tari balet klasik selama 15 tahun di Namarina Dance Academy dan mendapatkan gelar Advanced in Royal Academy of Dancing (ARAD). Alisa melanjutkan studinya di Institut Kesenian Jakarta dan lulus pada 2017.

Semenjak kelulusannya, ia menghasilkan beberapa karya. Di antaranya adalah Transference (2018), Train//thoughts (2019), Akar Air dan Yang Jatuh (2021), dan In Cycle (2022). Keempatnya telah dipentaskan di beberapa festival tari di dalam dan luar negeri.

Di samping berkarya, Alisa mengajar tari balet di The Ballet Academy of Indonesia serta menjadi salah satu tim kreatif Yayasan Seni Tari Indonesia. Ketertarikannya adalah menciptakan karya yang mengeksplorasi style tari balet dan modern yang dikemas dengan pemahaman kontemporer serta mengangkat persoalan-persoalan sosial budaya dan politik Indonesia.

85