Home Pemilu 2024 Muhammadiyah Desak Jokowi, MK bukan Mahkamah Kalkulator, Hentikan Pemburu Kekuasaan Tidak Halal

Muhammadiyah Desak Jokowi, MK bukan Mahkamah Kalkulator, Hentikan Pemburu Kekuasaan Tidak Halal

Jakarta, Gatra.com- Pengurus Pusat (PP) mendesak Presiden Joko Widodo mencabut pernyataan presiden boleh kampanye dan berpihak. Desakan Muhammadiyah itu disampaikan dalam rilisnya, 28/01, yang diteken Ketua Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah Trisno Raharjo.

Trisno berpandangan presiden sebagai kepala negara adalah pemimpin seluruh rakyat. Pada dirinya ada tanggung jawab moral dan hukum dalam segala aspek kehidupan bernegara, termasuk Pemilu. Presiden berkewajiban memastikan penyelenggaraan pemilu yang berintegritas untuk memastikan penggantinya adalah sosok yang berintegritas.

"Selain itu, sebuah jabatan publik (Presiden) terikat dengan prinsip dasar yang harus dipatuhi. Pejabat publik disumpah untuk menjabat sepenuh waktu sehingga seharusnya memang tidak ada aktivitas lain selain aktivitas yang melekat pada jabatan," katanya.

Berdasarkan hal diatas, maka secara filosofis posisi Presiden adalah pejabat publik yang terikat sumpah jabatan dan harus berdiri di atas dan untuk semua kontestan. Dengan demikian, secara filosofis, aktivitas untuk kampanye sekalipun dilakukan saat cuti adalah tidak tepat.

Jokowi membuat kontroversi melalui pernyataan, 24/1, yang menyebut bahwa presiden dan menteri boleh kampanye, boleh berpihak. "Hak demokrasi, hak politik setiap orang. Setiap menteri sama saja. Presiden itu boleh loh kampanye, boleh lho memihak," katanya.

Pernyataan ini langsung menimbulkan kontroversi di masyarakat. Meskipun pada kesempatan yang sama, Presiden Jokowi menggarisbawahi bahwa kampanye dimaksud tidak menggunakan fasilitas negara.

Pasca kontroversi, Presiden Joko Widodo memberikan klarifikasi. Alih-alih meralat pernyataannya tersebut, Jokowi justru menyebut bahwa ucapannya sudah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) dengan mengutip ketentuan Pasal 299 dan Pasal 281.

"Kita ini kan pejabat publik sekaligus pejabat politik. Masak gini enggak boleh, berpolitik enggak boleh, Boleh. Menteri juga boleh," ungkapnya.

"Melihat pernyataan terakhir Presiden, terkesan bahwa apa yang beliau sampaikan adalah sebuah kebenaran yang harus didukung atau setidaknya tidak ditolak," ungkap Trisno. Pernyataan dimaksud tidak lain merupakan upaya mencari pembenaran. Pertanyaannya, apakah pernyataan Presiden Joko Widodo ini dapat dibenarkan baik dari sudut pandang hukum maupun etika.

"Sikap (Muhammadiyah) ini dipandang penting mengingat Muhammadiyah memiliki peran dan tanggungjawab keummatan dan kebangsaan untuk tetap menjaga nalar demokrasi yang diperjuangkan oleh seluruh komponen bangsa Indonesia ini agar tidak diseret sesuka hati elit politik berdasarkan keinginan dan kepentingannya masing-masing," kata Trisno.

"Dari sudut pandang etis (dan teknis). Sumpah jabatan penyelenggara negara, termasuk presiden, adalah setia pada Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945. Kesetiaan ini harus diwujudkan dalam segala aktivitasnya. Bahkan, meskipun Presiden diusulkan partai politik atau gabungan partai politik, saat dirinya menjabat menjadi Presiden, dirinya wajib tunduk pada rakyat bukan pada partai politik pengusung," katanya.

"Di luar itu, Joko Widodo, selalu akan dipersonifikasi sebagai presiden dalam aktivitas apapun. Bahkan aktivitas keseharian yang tidak ada kaitannya dengan penyelenggaraan pemerintahan sekalipun. Oleh karenanya, penyelenggaraan pemerintahan seperti pembagian bantuan sosial akan secara langsung maupun tidak langsung “dianggap” sebagian masyarakat sebagai “bantuan Jokowi”. Faktanya, kondisi ini diperparah dengan adanya kesengajaan dari Presiden dan sebagian menterinya untuk memposisikan “bantuan sosial” ini sebagai “bantuan Jokowi”," katanya.

Berdasarkan hal-hal di atas, Majelis Hukum dan HAM Pimpinan Pusat Muhammadiyah perlu menyatakan beberapa sikap.  "Mendesak Presiden Joko Widodo untuk mencabut semua pernyataannya yang menjurus pada ketidaknetralan institusi kepresidenan, terlebih soal pernyataan bahwa Presiden boleh kampanye dan boleh berpihak," kata Trisno.

"Meminta kepada Presiden untuk menjadi teladan yang baik dengan selalu taat hukum dan menjunjung tinggi etika dalam penyelenggaraan negara. Presiden harus menghindarkan diri dari segala bentuk pernyataan dan tindakan yang berpotensi menjadi pemicu fragmentasi sosial, terlebih dalam penyelenggaraan Pemilu yang tensinya semakin meninggi," lanjutnya.

"Meminta kepada Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) untuk meningkatkan sensitifitasnya dalam melakukan pengawasan, terlebih terhadap dugaan digunakannya fasilitas negara (baik langsung maupun tidak langsung) untuk mendukung salah satu kontestan Pemilu," katanya.

"Menuntut kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk memperkuat peran pengawasan penyelenggaraan Pemilu, utamanya terhadap dugaan penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan pemenangan satu kontestan tertentu," ungkapnya.

"Meminta kepada Mahkamah Konstitusi (MK) untuk mencatat setiap perilaku penyelenggara negara dan penyelenggara pemilu yang terindikasi ada kecurangan untuk dijadikan sebagai bahan/referensi memutus perselisihan hasil Pemilu. Sikap ini penting dilakukan oleh MK agar putusannya kelak yang bukan sekedar mengkalkulasi suara (karena MK bukan Mahkamah Kalkulator) tetapi lebih jauh dari itu untuk memastikan penyelenggaraan Pemilu telah berlangsung dengan segala kesuciannya. Tidak dinodai oleh pemburu kekuasaan yang menghalalkan segala cara," katanya.

"Mengajak seluruh rakyat Indonesia untuk bersama-sama mengawasi penyelenggaraan pemilu, penyelenggara pemilu, dan utamanya penyelenggara negara. Pengawasan semesta ini diperlukan untuk memastikan Pemilu berlangsung secara jujur, adil, dan berintegritas agar diperoleh pimpinan yang legitimated dan berintegritas serta memastikan tidak adanya penyalahgunaan kekuasaan dan fasilitas negara oleh penyelenggara negara," pungkasnya.

482