Home Pemilu 2024 Jaga Pemilu: Netralitas ASN Jadi Isu Pelanggaran Pemilu Tertinggi

Jaga Pemilu: Netralitas ASN Jadi Isu Pelanggaran Pemilu Tertinggi

Jakarta, Gatra.com- Dalam hal pemantauan penyelenggaraan Pemilu 2024, hasil rekap pelanggaran yang Jaga Pemilu temukan dimana yang tertinggi adalah isu netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN) menjadi isu pelanggaran tertinggi (39%). Temuan ini berasal dari laporan via situs https://jagapemilu.com dan aktivitas proaktif dengan memantau percakapan kanal media sosial.

“Dari sisi isu, isu netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN) menjadi isu pelanggaran tertinggi (39%), disusul dengan isu politik uang (20%) dan pelanggaran kampanye (17%),” kata Sekretaris Perkumpulan Jaga Pemilu, Luky Djani dalam konferensi pers hasil rekap pelanggaran temuan Pemilu 2024 di Jakarta, Senin (12/2).

Baca juga: JAMMI Ingatkan Bahaya Hoaks dan Fitnah Jelang Pemilu 2024

Ia menambahkan, hal ini terhubung dengan pelaku pelanggaran terbesar, yang ditempati oleh Aparatur Sipil Negara (ASN) di angka 32%. Kemudian pada calon legislatif sebesar 29% atau salah satu pasangan calon

Data pelanggaran yang menjadi hasil temuan Jaga Pemilu pada Pemilu 2024.(GATRA/Dok Jaga Pemilu) 

Dari sisi kategori, pelanggaran yang Jaga Pemilu temukan dalam periode akhir Januari - tengah Februari 2024, didominasi oleh pelanggaran yang masuk dalam kategori tertinggi, yakni tindak pidana pemilu (44%), disusul dengan dugaan pelanggaran hukum lain (33%), disusul dengan dugaan pelanggaran administrasi pemilu (13%) dan dugaan pelanggaran kode etik penyelenggara (10%).

Menurut Rusdi Marpaung, Divisi Advokasi dan Hukum Jaga Pemilu, sebagai organisasi pemantau pemilu, Jaga Pemilu meneruskan laporan-laporan pelanggaran kepada Bawaslu. Namun ia menyayangkan bahwa berbagai pelanggaran yang terjadi terkait netralitas ASN cenderung bersanksi lemah.

“Sanksinya lebih banyak administratif atau teguran moral, tidak ada sanksi yang cukup memberi efek jera. Juga bagi kepala daerah, walikota, gubernur, harusnya sanksi untuk mereka datang dari kementerian. Tapi walaupun ada sanksi, maka efeknya pun tidak membuat jera atau cenderung lemah,” kata Rusdi.

Data pelanggaran yang menjadi hasil temuan Jaga Pemilu pada Pemilu 2024.(GATRA/Dok Jaga Pemilu) 

Abhan, Ketua Bawaslu tahun 2017-2022 mengatakan bahwa berbagai pelanggaran yang Bawaslu terima dari Jaga Pemilu dan berbagai organisasi pemantau lainnya, adalah laporan masyarakat yang harus ditindaklanjuti.

“Bawaslu punya fungsi menginvestigasi, karena itu Bawaslu harus transparan dalam upayanya menangani potensi pelanggaran yang masyarakat temukan. Ini untuk menjaga kepercayaan publik terhadap proses penyelenggaraan,” katanya. 

Baca juga: Pakar Hukum Nilai Film 'Dirty Vote' Rugikan Rakyat di Masa Tenang

Menurut Abhan, ia tidak heran jika sanksi yang diberikan kepada pelanggar netralitas ASN lemah. Ini mengingat bahwa walikota atau bupati adalah pejabat pembina kepegawaian di daerah itu.

Jika ada laporan potensi pelanggaran terhadap ASN, maka dari Bawaslu laporan tersebut akan masuk ke Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN), yang akan meneruskannya kepada para pejabat pembina tersebut, yang bisa jadi justru memberi ruang bagi ketidaknetralan itu sendiri.

Ia menambahkan, laporan pelanggaran ASN pada 2019 tidak terlalu banyak. Biasanya justru di pemilihan kepala daerah pelanggaran ASN justru mendominasi. Yang menarik, perlu ditelusuri apakah setelah pemilihan kepala daerah tersebut dimenangkan oleh calon yang didukung pelanggaran, apakah para subjek pelanggar itu diberi promosi.

Data pelanggaran yang menjadi hasil temuan Jaga Pemilu pada Pemilu 2024.(GATRA/Dok Jaga Pemilu) 

“Jika mendapat promosi, artinya target dukungan yang tidak netral itu tercapai,” katanya.

Dalam kesempatan itu, Luky Djani memaparkan beberapa tipologi kecurangan yang dapat terjadi di hari H, seperti upaya menuai dukungan salah satu paslon di masa tenang, upaya membeli suara dengan menawarkan uang, yang dikenal dengan istilah “serangan fajar"

Hingga netralitas petugas Tempat Pemungutan Suara (TPS), penyampaian formulir pemberitahuan memilih, pendistribusian logistik terhambat/terlambat, mobilisasi pemilih, intimidasi terhadap penyelenggara maupun pemilih yang menggunakan hak pilih lebih dari satu kali.

50