Home Gaya Hidup APPNIA Jelaskan Perbedaan Stunting dan Gizi Buruk serta Penangannya

APPNIA Jelaskan Perbedaan Stunting dan Gizi Buruk serta Penangannya

Jakarta, Gatra.com - Dalam debat calon presiden (Capres) RI kelima, beberapa waktu lalu, para Capres memiliki sejumlah pandangan dan program terkait penuntasan masalah stunting dan gizi buruk. Misal, Capres Prabowo Subianto, menyampaikan program pemberian makan bergizi dan susu sebagai sumber protein hewani kepada ibu hamil dan anak-anak.

Sementara Capres Ganjar Pranowo berpandangan, pengentasan stunting perlu penanganan multi sektor. Misal, memperhatikan persiapan pra-nikah, mulai dari remaja, di mana perempuan Indonesia sebagian besar anemia. Juga, perlunya pemeriksaan kesehatan rutin, serta pemenuhan asupan gizi.

Sedangkan Capres Anies Baswedan, meski tidak menyampaikan pandangan mengenai stunting telah menargetkan penurunan angka prevalensi stunting menjadi 11-12,5% di tahun 2029.

Hal ini tercantum dalam dokumen visi, misi dan program kerja Capres Anies Baswedan yang mana akan dilakukan melalui pendampingan pendampingan ibu hamil hingga 1.000 hari pertama kehidupan anak dan ketersediaan pangan seimbang untuk mengatasi stunting.

Tentu, menjadi pertanyaan, apakah stunting dan gizi kurang atau gizi buruk sama?

Merujuk Kementerian Kesehatan, stunting adalah permasalahan gizi kronis yang disebabkan oleh kurangnya asupan gizi dalam rentang yang cukup waktu lama, umumnya hal ini karena asupan yang tidak sesuai dengan kebutuhan gizi pada 1.000 Hari Pertama Kehidupan, sejak ibu hamil maupun setelah bayi dilahirkan sampai usia 2 tahun.

Selain mengalami pertumbuhan terhambat, stunting juga kerap kali dikaitkan dengan penyebab perkembangan otak yang tidak maksimal. Hal ini dapat mempengaruhi kemampuan kognitif dan belajar tidak maksimal, serta prestasi belajar yang buruk.

Berdasarkan data Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) pada tahun 2022 angka stunting di Indonesia berada di 21,6 persen. Jumlah tersebut terbilang cukup tinggi bila dibandingkan dengan beberapa negara tetangga.

Sementara Gizi buruk adalah kondisi saat anak tidak mendapatkan asupan gizi yang cukup. Gizi buruk atau malnutrisi, merupakan kondisi serius ketika asupan makan anak tidak sesuai dengan nutrisi yang diperlukan.

Terkait hal itu, Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Produk Bernutrisi untuk Ibu dan Anak (APPNIA), Vera Galuh Sugijanto, menyampaikan, penyebab utama gizi buruk adalah kekurangan asupan makanan yang bernutrisi sesuai kebutuhan masing-masing kelompok usia anak.

"Selain itu, gizi buruk juga sering disebabkan oleh gangguan penyerapan nutrisi akibat penyakit kronis, misalnya diare kronis atau TBC," ucapnya, dalam rilis Kamis (15/2).

Dan pada balita jika gizi kurang dan gizi buruk tidak segera diintervensi dengan adekuat, maka anak akan dapat jatuh pada kondisi stunting.

Karena itu, orang tua harus selalu memantau tumbuh kembang anak, khususnya dari tinggi dan berat badan. Orang tua bisa memeriksakan anak secara berkala ke pelayanan kesehatan yang terjangkau seperti Posyandu.

Dengan memeriksakan anak, ibu pun akan lebih mudah mengetahui gejala awal gangguan dan penanganan masalah kesehatan pada anak.

Berdasarkan data Kemenkes, indikator stunting terdiri dari anak berbadan lebih pendek untuk anak seusianya, Proporsi tubuh cenderung normal tetapi anak tampak lebih kecil untuk usianya, berat badan rendah untuk anak seusianya, dan pertumbuhan tulang tertunda

Sementara Indikator Gizi Kurang/Gizi Buruk, ditandai dengan tubuh anak tampak sangat kurus, wajah keriput, kulit kering, perut tampak buncit, sering lemas dan tidak aktif bermain, gangguan tumbuh kembang, rambut mudah rontok dan tampak kusam, dan pembengkakan (edema) di tungkai.

Ditegaskan Vera, gizi buruk berbeda dengan stunting. Gizi buruk ditandai dengan badan anak yang terlalu kurus dibandingkan tinggi badannya.

Sedangkan stunting ditandai dengan tinggi badan anak yang lebih pendek dari standar usianya. Namun yang menyamakan adalah bahwa keduanya bermula dari defisiensi nutrisi.

Stunting disebabkan oleh defisiensi nutrisi yang terjadi dalam jangka waktu lama atau berulang di 1.000 Hari Pertama Kehidupan anak.

Jadi, penanganan stunting harus dimulai sejak 1.000 Hari Pertama Kehidupan tersebut, dan pencegahan sejak dalam kandungan. Sementara penyebab gizi buruk terjadi ketika anak tidak mendapatkan asupan gizi yang baik berapapun usianya.

Untuk mengatasi defisiensi nutrisi dan mencegah stunting, Kementerian Kesehatan, telah mempromosikan kampanye “Protein Hewani Cegah Stunting” sejak diluncurkan pada Hari Gizi Nasional ke-63 pada tahun 2023.

“Perlu diketahui bahwa protein hewani adalah salah satu instrumen gizi penting yang dibutuhkan oleh ibu hamil guna mencegah stunting pada anak, hal ini dikarenakan pangan hewani mempunyai kandungan zat gizi yang lengkap, kaya protein, mineral, dan vitamin yang sangat penting dalam mendukung pertumbuhan dan perkembangan,” ucap Vera.

Dikutip dari laman Kementerian Kesehatan, Ketua Umum Pergizi Pangan Indonesia Prof. Hardiansyah juga mendukung urgensinya pemberian protein hewani terhadap penurunan angka stunting.

Ia mengatakan bahwa gangguan pertumbuhan janin dalam kandungan menjadi salah satu penyebab utama anak lahir stunting, salah satunya karena komponen gizi.

“Ini bukti pemberian telur satu butir satu hari pada anak setelah pemberian ASI eksklusif itu menurunkan risiko stunting,” ujar Hardiansyah.

Menurut Vera, selain pemberian protein hewani, terdapat beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mencegah stunting pada anak, diantaranya mempersiapkan dan memenuhi kebutuhan gizi sejak hamil, dengan rutin minum Tablet Tambah Darah dan mengkonsumsi gizi seimbang kaya protein hewani selama kehamilan.

Kemudian, memberikan ASI Eksklusif sampai bayi berusia 6 bulan, memberikan MPASI yang kaya protein hewani untuk bayi usia diatas 6 bulan, terus memantau perkembangan anak dan membawa si Kecil ke Posyandu secara berkala, dan menjaga kebersihan lingkungan.

APPNIA sendiri berkomitmen terus mendukung program pemerintah dalam menangani stunting. Dari sisi industri, pihaknya sudah memberikan ketersediaan layanan dan akses terhadap bahan pangan bergizi yang berkualitas dan berbasis sains.

"Visi dan misi APPNIA sendiri adalah untuk membantu peningkatan status gizi masyarakat khususnya ibu dan anak dalam 1.000 hari pertama kehidupan," kata dia.

Caranya, yakni melalui layanan dan akses terhadap bahan pangan bergizi dan berkualitas dengan tetap mendukung program pemerintah. Termasuk program penurunan prevalensi stunting, melalui berbagai program berkelanjutan yang sesuai dengan etika usaha.

Masalah stunting ini tidak bisa dianggap sebelah mata. Sebab, berpotensi memperlambat perkembangan otak anak dan meningkatkan risiko penyakit kronis di kemudian hari, seperti obesitas, diabetes, dan hipertensi.

Vera mengatakan APPNIA akan terus mendukung pemenuhan gizi di Indonesia untuk mencapai visi Generasi Emas 2045. Generasi emas ini akan menjadi kekuatan utama bangsa Indonesia untuk menjadi bangsa yang besar dan maju di tahun 2045.

Menurut dia, semua pasti menyadari dan mengalami betapa pencapaian visi ini mengalami tantangan yang luar biasa dan sangat tidak mudah. Sehingga, masyarakat harus berupaya mendukung pertumbuhan manusia Indonesia menjadi seutuhnya.

"Dan itu membutuhkan persyaratan, salah satunya pemenuhan gizi yang optimal pada anak," ujarnya.

40