Home Nasional Lembaga Masyarakat Sipil Pengawas Pemilu Beberkan Pelanggaran Pemilu Luar Negeri

Lembaga Masyarakat Sipil Pengawas Pemilu Beberkan Pelanggaran Pemilu Luar Negeri

Jakarta, Gatra.com - Lembaga masyarakat sipil pemantau pemilu turut mengawasi jalannya pemilu. Direktur Migrant CARE, Wahyu Susilo, mengungkapkan bahwa pihaknya mendapat intimidasi, di luar banyaknya kecurangan lain yang ia saksikan sendiri.

"Beberapa kali kami mendapat penolakan meskipun kami lembaga pemantau terakreditasi Bawaslu. Ini terjadi di Hongkong dan Nunuka. Bahkan di Nunuka pemantau kami juga diintimidasi," ujarnya dalam konferensi pers yang digelar secara hybrid, Sabtu (17/2).

Selain penolakan yang diterima di Hongkong, ia menyebutkan juga bahwa banyak pemilih yang tidak bisa menggunakan hak pilihnya di Hongkong. Dari sekitar dua ribu pemilih yang terdaftar di DPT, hanya sekitar 750 yang mencoblos di hari H. Sementara, ribuan orang lain yang belum terdaftar dan ingin memilih malah tidak bisa menggunakan haknya.

"Padahal kami melihat logistik masih tersedia. Kami melihat ini upaya menghalang-halangin pekerja migran mendapat hak pilihnya," kata dia.

Sedangkan di Malaysia, persoalan calon yang melanggar aturan juga terjadi. Salah satunya dilakukan oleh Uya Kuya yang masih berkampanye di dekat pemilih yang sedang melakukan registrasi di TPS. Ia mengaku akan melaporkan hal ini ke Bawaslu dan meminta Bawaslu mengambil langkah penindakan sesuai dengan aturan.

Ia juga mendapati bahwa bila melihat sampel dari Johor Baru, terdapat banyak data pemilih ganda. Ini berpotensi terjadinya penggelembungan suara dari nama-nama yang terdaftar. Bahkan, data yang didapat juga menunjukkan bahwa pemilih dengan nomor paspor baru tidak terdaftar, tapi justru pemilik nomor paspor yang expired yang terdaftar. "Itu ribuan kami temukan," lanjutnya.

Persoalan lain yang muncul juga adalah terkait dengan sistem pengambilan suara menggunakan pos. Ada banyak kasus di lapangan ketika orangnya sudah tidak di luar negeri namun masih dikirim surat suara.

"Banyak pedagang suara nongkrong depan apartemen, mereka mengambil surat tidak terpakai, ada ribuan surat dan itu diperdagangkan. Kasus yang viral dicoblosin salah satunya dari mafia surat suara tersebut," paparnya.

Metode pemungutan suara melalui pos sangat riskan terjadinya penggelembungan suara, kecurangan, hingga kegagalan surat suara. Maka, ia merekomendasikan metode ini dihapus karena mekanisme pengawasan dan monitoringnya sangat lemah bila dibandingkan memilih langsung di TPS.

Penentuan waktu pemilihan juga menjadi masalah yang ia soroti. Ketidakcermatan waktu pemilihan suara, terutama di daerah dengan jumlah pemilih besar seperti Malaysia, Hongkong, Singapura, dan Taiwan di dekat masa imlek sangat tidak tepat dilakukan.

Pemilihan waktu yang tidak tepat ini berpengaruh dalam partisipasi pemilih dalam pemilu. Pada pemilu 2014, terdapat 2,5 juta pemilih, menurun di 2019 dengan 2,3 juta, dan pada pemilu 2024 kali ini jumlahnya semakin merosot hanya sejumlah 1,7 juta pemilih.

"Ada tren kemerosotan dari tiga pemilu terakhir. Ini berbanding terbalik dengan penyelenggara pemilu yang bolak-balik mengurus pemilu luar negeri," pungkasnya.

27