Home Gaya Hidup Film Dokumenter “Pilihan” Diputar Perdana di KBRI Singapura: Bercerita Kompleksitas Perempuan Migran Indonesia dan Jebakan Terorisme di Media Sosial

Film Dokumenter “Pilihan” Diputar Perdana di KBRI Singapura: Bercerita Kompleksitas Perempuan Migran Indonesia dan Jebakan Terorisme di Media Sosial

Singapura, Gatra.com - Perempuan Pekerja Migran Indonesia (PMI) dihadapkan pada berbagai kondisi batin yang bisa mengubah nasibnya ke depan. Saat salah langkah, mereka bisa tergelincir hingga terjerat kasus hukum. Terorisme salah satunya. 

Di era digital saat ini, media sosial jadi makanan sehari-hari, sangat mempengaruhi kehidupan PMI di negeri seberang. Keputusan kecil menentukan arah hidup mereka selanjutnya. 

Pesan itu disampaikan pada film dokumenter bertajuk “Pilihan”, karya perdana dari Ruangmigran. Film ini berdurasi 21 menit 46 detik. Film itu diputar di Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Singapura, Minggu (25/2) siang waktu setempat.

Baca Juga: Peran Perempuan dalam Terorisme Harus Dilihat Secara Holistik

Produser dilm ini adalah Ani Ema Susanti, yang juga merupakan mantan PMI di Hong Kong. Adapun Eksekutif Direktur di film itu Noor Huda Ismail . Ada sekira 250 orang PMI yang hadir menonton dan berdiskusi tentang film itu. 

Sutradara film Pilihan Ridho Dwi Ristiyanto, Produser Ani Ema Susanti dan Eksekutif Direktur Noor Huda Ismail berbicara di depan ratusan PMI di KBRI Singapura, Minggu (25/2). (Dok: IST)

“Jujur saya sekarang masih minder kalau ngomongin dulu pernah jadi pekerja migran, yang saya rasakan, saya itu rendah diri. Kenapa? Karena di keluarga besar saya nganggep, saya pergi ke luar negeri ke Hong Kong itu bekerja tidak layaknya orang pada umumnya bekerja,”ungkap Ani Ema Susanti.

Dia menyebut, stigma negatif sosok perempuan PMI cukup mengganggunya. Dia dianggap dapat gaji tinggi karena saya jual diri.

“Itu beneran membuat harga diri saya, mental saya, beneran jatuh gitu. Dan itu lama, proses menjadi normal, menjadi manusia yang sediakala itu lama,” sambung perempuan asli Jombang, Jawa Timur, tersebut. 

Namun demikian, Ani tetap bertekad melanjutkan pilihannya. Dia ingin nantinya setelah pulang ke Indonesia, bisa hidup lebih nyaman dengan taraf ekonomi yang naik. 

Akhirnya Ani memutuskan kuliah, membangun relasi baru, belajar perfilman. Dari awalnya masih minder untuk presentasi film, akhirnya saat ini beberapa film telah dibuatnya. Dia juga menjadi pemenang Piala Citra (FFI) tahun 2011 untuk film dokumenter terbaik berjudul “Donor ASI”.

Dia juga senang ketika beberapa kali kembali ke Hong Kong melihat teman-temannya PMI sudah berkuliah online. Media sosial memungkinkan hal itu. Ani kembali ke Hong Kong tentu bukan lagi sebagai PMI, melainkan untuk kesibukannya di dunia film itu.  

Beberapa film dokumenter di mana Ani terlibat di dalamnya, di antaranya; Pengantin (2018) tentang 3 perempuan PMI yang terjerat kelompok ISIS, Kembali ke Titik (2023) film tentang mantan anggota Jamaah Islamiyah (JI) yang tobat karena rasa cinta kepada ibu. Ani juga menggarap film layar lebar bertajuk “Glo Kau Cahaya” (2023) tentang perjuangan seorang difabel yang jadi atlet renang.

“Film ini dan Ruangmigran Ini jadi piranti edukasi kreatif bagi para PMI dalam melawan ekstremisme di dunia maya dan pendidikan adalah salah satu cara memutus mata rantai kemiskinan,” beber Ani Ema yang juga pendiri Ruangmigran.id itu. 

Baca Juga: Densus 88 Telah Menangkap 142 Tersangka Terorisme Selama Tahun 2023

Sementara itu, pasca-pemutaran film dan diskusi, ratusan PMI itu mendapat pelatihan kewirausahaan dari 4 dosen Magister Manajemen Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY). 

“Melatih kewirausahaan ayam dan telur untuk para PMI di Singapura, jadi ada manajemen, literasi keuangan dilatihkan ke mereka. Tujuannya agar mereka sudah punya keterampilan saat purna menjadi PMI dan kembali ke Indonesia,” tambah Noor Huda Ismail. 

Alur Film Pilihan

Pada chapter pertama bertajuk “Jebakan Media Sosial”. Ini adalah kisah Listyowati mantan PMI Hongkong asal Kabupaten Kendal, Jawa Tengah yang sempat terjerat terorisme kelompok ISIS karena media sosial. 

Pada 2020 silam, Lis, sapaannya, ditangkap Densus 88/Antiteror Polri menjalani hukuman pidana 3 tahun penjara dan pada Juni 2023 dia bebas dari Lapas Perempuan Kelas IIA Semarang. 

“Saya sekolah SLTP nggak lulus, langsung pesantren, terus kerja jadi TKW (PMI). Saya pingin saya pingin seperti yang lain, punya kendaraan sendiri, pegang uang sendiri,” ungkap Lis. 

Awalnya, 2 tahun dia kerja sebagai PMI di Singapura, kembali ke Indonesia. Dia sempat mendapat KDRT dari suaminya, bercerai dan memutuskan kembali jadi PMI. Tujuannya kali ini Hong Kong.  

Berangkat dengan batin yang gundah, Lis menemukan hal baru di media sosial YouTube dan Facebook. Dia bercerita sering melihat postingan-postingan kehancuran akibat konflik di mana korbannya juga anak-anak. 

Dia terus mengikuti informasi itu hingga diarahkan gabung ke grup FB yang belakangan diketahui membernya berisi simpatisan ISIS. “Saya terus menyimak (konten-konten),” kataya.

Dia join dengan nama Al Fatih. Di grup itu ada seseorang bernama Arif yang intens berkomunikasi dengannya. Dorongan ingin ikut menyelamatkan anak-anak korban konflik agar nantinya bisa masuk Surga setelah meninggal dunia, membuatnya terpesona dengan Arif. 

Sebab Arif, selalu menawarkan dan bercerita tentang bahan peledak dan senjata. Dia makin terpesona dengan Arif, hingga nantinya berniat pulang ke Indonesia dan akan membangun rumah tangga barunya dengan pujaan hati yang dikenalnya di media sosial itu. 

Perjalanannya, Lis mentransfer sejumlah uang ke Arif. Selain untuk membeli senjata dan bahan peledak, juga beberapa kebutuhan pribadi Arif seperti membeli ponsel dicukupi Lis. Puluhan juta rupiah sudah ditransfer.

“Saya mau beli senjata, pingin punya skill. Kalau nggak nanti bisa mati konyol. Saya seorang TKW di Hong Kong. Menurutku, aku sudah ketemu jalannya. Saya tekad, saya cari cadar di Hong Kong bahkan di sana harganya mahal tak beli lah. Arif itu orangnya lembut, nggak pernah sekalipun ngomong kasar. Saya paling suka sama Arif karena itu,” bebernya. 

Ternyata semua rencananya gagal. Arif ditangkap Densus 88/Antiteror di Kalimantan Barat sebab bergabung ISIS di media sosial, merencanakan aksi teror. Lis tak lama setelah pulang ke Indonesia juga ikut diciduk Densus 88. 

Sempat ditahan di Rutan Polda Metro Jaya, Lis akhirnya bebas dari LPP Semarang. Dia menemukan pertobatan di sana, bertekad untuk memperbaiki masa lalunya. Hidup tenang di Kabupaten Kendal. 

“Saya waktu bebas dari LPP Semarang tak menyangka (bisa bebas), saya langsung sujud syukur,” ungkapnya.  

Warga Negara Indonesia (WNI), termasuk PMI yang terpapar medsos dan ingin bergabung kelompok radikal teror di Suriah mencapai ratusan. 

Data Kementerian Luar Negeri Indonesia, ada 430 WNI yang dideportasi dari Turki karena akan bergabung kelompok radikal teror di Suriah antara tahun 2015 – 2017. Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) mencatat pada periode yang sama, sekira 43 WNI di Hong Kong terpapar paham radikal teror.

Chapter selanjutnya bercerita tentang PMI asal Malang, Jawa Timur. Dia sudah purna jadi PMI di Singapura. Namanya Masyitoh, sapaannya Mosquito. Keberangkatannya ke luar negeri karena awalnya sang ibu yang akan berangkat. Dia berpikir, jika ibunya yang berangkat, kasih sayang ibu kepada saudara-saudaranya siapa yang menggantikan. 

Tekad kuat mengubah nasib membuatnya semangat bekerja di sana. Tak hanya cari uang, Masyitoh juga melanjutkan pendidikan Paket C dan mengambil Diploma. Dia mengikuti berbagai kursus, belajar bahasa Inggris, hingga belajar berjualan melalui media sosial. Semua yang dijalani mengubah nasibnya. 

“Di sana itu semua tersedia, mau belajar bahasa Cina, bahasa Inggris, memasak, membuat roti (di Singapura) tinggal kita sendiri maunya gimana. Kan kita nggak akan selamanya kerja ikut orang,” kata Masyitoh. 

Sementara, Sutradara Film Pilihan, Ridho Dwi Ristiyanto, mengatakan film itu mengikuti perjalanan Ani Ema Susanti dari mantan PMI yang alih profesi jadi sutradara film yang mencoba memahami fenomena radikal teror di media sosial di kalangan PMI. 

“Melalui sudut pandang perjumpaan Ani dengan Listyowati, Masyitoh, film ini menggali kompleksitas kehidupan migran dan dampak media sosial,” terangnya.

151