Home Pendidikan Bajik: Tak Layak Jadi Kurnas, Kurikulum Merdeka Harus Dievaluasi Total

Bajik: Tak Layak Jadi Kurnas, Kurikulum Merdeka Harus Dievaluasi Total

Jakarta, Gatra.com – Barisan Pengkaji Pendidikan (Bajik) menilai Kurikulum Merdeka tidak layak menjadi kurikulum nasional (Kurnas) dan harus dievaluasi secara total atau menyeluruh.

“Kurikulum Merdeka belum layak menjadi Kurikulum Resmi Nasional. Hal yang paling esensial yang harusnya ada dalam kurikulum resmi, malah belum ada, yakni kerangka kurikulumnya,” kata Dhitta Puti Sarasvati, Direktur Eksekutif Bajik dalam keterangan pers diterima pada Selasa (27/2).

Menurutnya, Kurikulum Resmi Nasional apapun harus berdasarkan filosofi pendidikan dan kerangka konseptual yang jelas. Filosofi pendidikan dan kerangka konseptual ini harus tertuang di dalam naskah akademik. Di Naskah Akademik juga perlu dijelaskan berbagai argumen-argumen lain mengenai dasar-dasar pemikiran terkait kurikulum merdeka.

“Sampai saat ini, Kurikulum Merdeka belum ada Naskah Akademiknya. Tanpa adanya naskah akademik ini sulit untuk memahami apa yang menjadi dasar pemikiran dari Kurikulum Merdeka,” ujar Puti.

Kurikulum resmi biasanya terdiri atas beberapa komponen. Misalnya filosofi kurikulum (melingkupi tujuan kurikulum dan prinsip-prinsip dasar kurikulum) , kerangka kurikulum (secara keseluruhan), dan bidang studi.

Setiap bidang studi harus ada tujuan (lintas kelas), kerangka bidang studi, dan tujuan pembelajaran umum (di dalam Kurikulum Merdeka disebut capaian pembelajaran) yang biasanya mencakup tujuan pembelajaran dalam 1 atau 2 tahun, dan tujuan pembelajaran instruksional yang menjadi acuan dalam perancangan kegiatan harian.

“Ketika awal Kurikulum Merdeka diluncurkan bagian-bagian paling esesial yakni, filosofi, prinsip-prinsip dasar kurikulum, kerangka kurikulum belum dibuat. Karena itu, Kurikulum Merdeka harus dievaluasi secara menyeluruh sebelum diresmikan menjadi kurikulum nasional,” tandasnya.

Kurikulum Merdeka baru dalam tahap uji coba dan sebagai kurikulum operasional saja. Sebagai kurikulum, Kurikulum Merdeka belum lengkap. Kurikulum ini baru memiliki dokumen Capaian Pembelajaran (CP), buku teks, dan beberapa panduan seperti panduan pengembangan Kurikulum Operasional Satuan Pendidikan (KOSP), panduan Penguatan Profil Pelajar Pancasila, dan beberapa lainnya.

“Kurikulum Merdeka sebagai kurikulum resmi sebenarnya belum lengkap. Bukan berarti tidak bisa dipakai. Capaian Pembelajarannya bisa saja digunakan oleh guru dalam merancang pembelajaran,” ujarnya.

Menurut Puti, Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila pun bisa saja digunakan sebagai acuan dalam merancang projek. “Tetapi secara dokumen kurikulum resmi, saya menganggap Kurikulum Merdeka belum selesai,” katanya.

Bajik selaku organisasi nirlaba, kata Puti, sudah membandingkan capaian pembelajaran (CP) Kurikulum Merdeka dengan beberapa tujuan pembelajaran umum dalam kurikulum lain. Menurutnya, CP yang ada bisa digunakan tapi masih perlu disempurnakan lagi agar lebih mudah dipahami oleh guru. Kerangka bidang studi per mata pelajaran ada yang sudah baik dan ada yang masih perlu direvisi.

Di dalam kurikulum Merdeka disediakan Capaian Pembelajaran (CP) yang pada dasarnya sama dengan apa yang disebut dengan tujuan pembelajaran umum, yaitu berupa tujuan pembelajaran yang perlu dicapai siswa dalam waktu dua tahun (setiap fase).

“Agak aneh mengapa Kurikulum Merdeka tidak menyediakan tujuan pembelajaran instruksional [di kurikulum Merdeka disebut Tujuan Pembelajaran]. Di dalam Kurikulum Merdeka, guru harus mendefinisikan sendiri tujuan pembelajarannya (TP),” kata dia.

Meski sebenarnya sah-sah saja begitu, kata Puti, dengan syarat semua guru Indonesia sudah dibekali pengetahuan dan keterampilan yang mumpuni untuk menerjemahkan Capaian Pembelajaran. Faktanya, masih banyak guru yang kesulitan dalam hal ini.

Menurut kajian Bajik, masih ada pertanyaan apa alasan Kurikulum Merdeka tidak menyediakan Tujuan Pembelajaran Instruksional. Di beberapa kurikulum sejumlah negara, tujuan instruksional ini didefinisikan secara jelas.

Ia lantas mencontohkan kurikulum Ontario, Australia, Singapura, dan Hongkong. Bukan sebagai kebenaran mutlak yang harus diikuti guru tetapi sebagai acuan saja. Guru dapat menggunakannya untuk merancang asesmen dan kegiatan pembelajaran.

“Pada dasarnya guru profesional punya hak untuk menginterpretasi kurikulum apapun, termasuk yang sudah menyediakan tujuan pembelajaran instruksional ini,” paparnya.

Melihat kondisi Kurikulum Merdeka masih belum lengkap, Kemdikbudn Ristek, dan Dikti tidak memaksakan kurikulum operasional itu sebagai kurikulum nasional. “Kalau hanya sekadar digunakan, Kurikulum Merdeka bisa saja digunakan. Namun sebagai kurikulum resmi nasional, Kurikulum Merdeka perlu banyak penyempurnaan,” katanya.

Atas dasar itu, lanjut Puti, pihaknya mendesak agar Kurikulum Merdeka dievaluasi secara total, diperbaiki, dan bahkan apabila memungkinkan harus dipetakan dan didefinisikan kembali pada beberapa detail dalam kurikulum tersebut.

Puti menyebutkan, hal esensial lain yang juga perlu diingat bahwa pemerintah perlu serius dalam mempersiapkan sekolah dan semua guru agar siap memahami, menginterpretasi, dan mengkritisi kurikulum resmi apapun sehingga bisa menjadi dasar dalam merancang kurikulum operasionalnya sendiri sesuai konteks dan kebutuhan sekolah maupun kelasnya.

“Artinya, guru perlu punya kesempatan mempelajari pengetahuan dan keterampilan untuk menggunakan kurikulum resmi apapun secara kritis. Bukankah hal ini yang juga dicita-citakan sejak adanya Kurikulum Tingkat Satu?an Pendidikan (KTSP),” ujarnya.

77