Home Hukum APHA: Interpretasi Delik Adat Perlu Aturan Mendetail

APHA: Interpretasi Delik Adat Perlu Aturan Mendetail

Jakarta, Gatra.com – Asosiasi Pengajar Hukum Adat (APHA) Indonesia menyatakan harus ada aturan lebih detail megenai tahapan interpretasi dalam penyelesaian delik adat agar terhindar dari multiinterpretasi.

“Perlu diatur lebih jauh bagaimana tahapan interpretasi yang dapat dilakukan dalam penyelesaian kasus delik adat,” kata Prof. Laksanto Utomo, S.H., M.Hum., usai menyerahkan 10 rekomendasi APHA kepada Wakil Ketua Mahkamah Agung (MA) Bidang Yudisial, Sunarto, di Gedung MA, Jakarta, Kamis (14/3).

Lasanto menjelaskan, multiinterpretasi dapat menyebabkan terjadinya ketidakjelasan dan semena-menanya penerapan hukum yang hidup di tengah masyarakat (living law), termasuk hukum adat.

Ia menjelaskan, pihaknya menyerahkan 10 rekomendasi tentang isu strategis nasional mengenai hukum adat dan masyarakat hukum adat, baik yang terkait dengan penerapan KUHP baru (Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023) dan pidana adat maupun di beberapa peraturan perundang-undangan lainnya.

APHA juga memandang perlu sesegera mungkin Pemerintah membuat peraturan pemerintah (PP) untuk membuat batasan yang jelas mengenai hukum yang mana yang dapat diterapkan.

Sedangkan untuk mengatasi hambatan filosofis penyelesaian sengketa adat yang dilakukan pada lembaga yang bukan berasal dari masyarakat adat, kata Prof. Laksanto, seharusnya penyelesaian perkara hukum adat dilakukan oleh hakim adat.

Prof. Laksanto lebih lanjut menyampaikan, rekomendasi lainnya, APHA memandang perlu ada aturan mengenai hukum perselisihan antaradat guna mengatasi adanya daerah-daerah hukum adat yang berbeda agar seseorang yang sehari-hari di bawah hukum adat dari lingkungan hukum adat mengadakan hubungan dengan orang dapat terselesaikan.

Selain itu, perlu ada aturan yang bersifat memaksa bagi pemerintah daerah (Pemda) untuk mengatur substansi hukum adat dalam peraturan daerah (Perda) agar dapat melaksanakan ketentuan dalam KUHP dan hukum adat menjadi bisa diterapkan.

“Perlu diatur penyelesaian kasus hukum adat secara formal agar memenuhi rasa keadilan masyarakat hukum adat,” ujarnya.

Poin selanjutnya, APHA menilai perlu diatur lebih jauh daya berlakunya putusan dalam perkara delik adat. Kemudian, perlu diatur lebih jauh mengenai bagaimana bentuk pengakuan negara terhadap putusan delik adat.

APHA juga merenyampaikan rekomendasi kepada MA agar para hakim dibekali mengenai formulasi penyelesian perkara hukum adat agar dapat sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat hukum adat.

Untuk memberikan atau mengembalikan hukum yang bersumber pada kearifan lokal dan mengembalikan keseimbangan dengan mengangkat hukum adat, sistem peradilan adat harus diberlakukan terlepas dari sistem peradilan umum dan posisinya diletakkan setara dengan sistem peradilan yang selama ini berlaku.

“Dengan demikian, perkara hukum adat dapat diselesaikan oleh hakim adat yang jauh lebih mengerti rasa keadilan masyarakatnya,” ujar dia.

Penyerahan 10 rekomendasi APHA Indonesia ini disaksikan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan (FH Unpar) Bandung Prof. Rr. Catharina Dewi Wulansari, Prof. H. Faisal Santiago dari Universitas Borobudur Jakarta, Prof. Abrar Saleng dari Universitas Hasanuddin (Unhas) Makasar, dan Prof. Rosnidar Sembiring dari Universitas Sumatera Utara (USU) Medan.

Selain itu, Prof. Amril Gaffar Sunny (Unpar), Prof. Roberth K.R. Hammar dari Universitas Caritas Manokwari Papua Barat, Dr. Rina Yulianti dari Universitas Trunojoyo Madura (UTM) Madura, Dr. Purnawan D. Negara dari Universitas Widyagama Malang, Dr. Ummu Salamah dari Universitas Nasional (Unas) Jakarta, dan Dr. Lenny Nadriana dari Universitas Sang Bumi Ruwa Jura (Saburai) Lampung.

24