Home Gaya Hidup Sineas Yogyakarta Refleksikan Gangguan Mental Remaja Lewat Film

Sineas Yogyakarta Refleksikan Gangguan Mental Remaja Lewat Film

Yogyakarta, Gatra.com – Merujuk pada data 15,5 juta remaja Indonesia yang mengalami gangguan mental dalam 12 bulan terakhir, komunitas sineas Yogyakarta menghadirkan empat film pendek yang merefleksikan tantangan berat yang dihadapi remaja saat ini tersebut.

Berjudul Phytagoras, Diorama, Serenada, dan Memoar, keempat film ini menjadi media kampanye ihwal kesehatan dan kesejahteraan jiwa remaja. Film-film ini ditayangkan perdana pada ‘Share Screen Volume II: Bingkai Rasa’, di Grhatama Pustaka Yogyakarta, Selasa (23/4).

Kehadiran film-film ini merupakan kolaborasi Lembaga Advokasi Keluarga Indonesia (LAKI) dengan Yayasan Rumpun Nurani dan Sineas Muda dari Cakra Visual. Proyek ini dikerjakan sejak Juni 2023 lalu.

“Survei Indonesian National Adolescent Mental Health menunjukan 1 dari 3 remaja memiliki satu gangguan mental dalam setahun terakhir. Perubahan fisik, emosional, dan sosial menjadi tanda mereka mengalami gangguan kesehatan mental yang dapat berakibat hingga dewasa serta perilaku berisiko tinggi,” kata Ketua LAKI, Rennta Chrisdiana.

LAKI menisiatori program School-Based Mental Health (SBMH) dengan bertujuan membangun sistem kesehatan jiwa berbasis sekolah untuk meningkatkan kualitas kesehatan jiwa siswa. SBMH diterapkan melalui asesmen kesehatan mental bagi siswa, guru, dan orang tua.

Program ini juga membuka akses layanan kesehatan mental serta mengkampanyekan urgensi keterhubungan dan kepedulian terhadap remaja yang karena berjarak dengan orang tuanya. Mereka babak belur oleh keadaan yang membuat mereka tertekan.

Melalui empat film ini, Rennta mengakui pihaknya ingin menumbuhkan kesadaran-kesadaran baru dari orang tua, guru, maupun anak-anak untuk lebih peduli pada kesehatan mental. Orang tua dan guru dituntut bertanggung jawab pada pertumbuhan anak-anaknya.

“Dukungan orang dewasa di keluarga maupun sekolah serta keterlibatan lebih praktisi kesejahteraan mental menjadi upaya kunci preventif, kuratif, maupun rehabilitatif untuk menyelamatkan anak-anak kita,” tegasnya.

Project Lead Sekawan, Febri Tugas Pratama, yang bertugas mengawal proyek ini menyatakan keempat film ini menjadi medium pertemuan gagasan dan karya seni sehingga menjadi cerminan kondisi riil yang dihadapi dari perspektif remaja secara otentik.

“Karya kolaboratif ini mengajarkan tentang tujuan dan kepedulian bersama. Kami berharap bisa menjadi objek reflektif sekaligus pemantik percakapan berarti antara anak, orangtua, guru, dan lingkungannya,” terangnya.

Febri menjelaskan selama 8 bulan ada 30 orang yang terlibat. Di awal proyek semua gagasan dan ide mengenai isi film terus dikoordinasikan hingga memasuki proses produksi yang berlangsung 16 hari.

Setelah pemutaran perdana ini, keempat film akan dibebaskan untuk diputar di berbagai lembaga, sekolah, maupun komunitas-komunitas film sebagai bagian dari pentingnya kesehatan mental remaja.

Lead Campaign SBMH, Ahmad Wasil Mustofa, menyatakan setiap film membawa cerita, warna, pengalaman dan rasa yang berbeda-beda. Baginya karya ini mampu membuat penonton untuk merefleksikan kembali hal-hal yang pernah dilalui, berucap, dan berperilaku pada sesama.

“Ini merupakan wujud nyata dari upaya kami menyebarkan kepedulian terhadap kesehatan jiwa remaja. Melalui sebuah karya seni, kampanye ini memiliki harapan besar dalam menyebarkan kepedulian kesehatan jiwa,” terangnya.

251