Home Nasional Hari Buruh 2024, Aliansi Perempuan RI Minta Pemerintah Setop Eksploitasi Perempuan, Buruh dan Alam

Hari Buruh 2024, Aliansi Perempuan RI Minta Pemerintah Setop Eksploitasi Perempuan, Buruh dan Alam

Jakarta, Gatra.com - Aliansi Perempuan Indonesia menilai, hari Buruh Internasional atau May Day yang jatuh setiap tanggal (1/5), menjadi momentum penting bagi perempuan yang secara signifikan berkontribusi dalam gerakan buruh dan memperjuangkan kesetaraan di tempat kerja.

Menurut mereka, ketidakadilan terhadap pekerja perempuan, seperti upah rendah, jam kerja panjang, dan kondisi kerja yang tidak aman, menjadi permasalahan utama. Perempuan sering kali menjadi buruh pabrik yang terpinggirkan dan dieksploitasi secara ekonomi.

“Meskipun ada kemenangan penting, dominasi dan hegemoni terus berkembang dengan metode baru. Kesejahteraan seringkali hanya dipandang dari sudut pandang eksploitasi sumber daya alam dan manusia, yang mengancam kedaulatan dan kesejahteraan rakyat,” jelas Aliansi Perempuan Indonesia sebagaimana dikutip dalam keterangan resmi pada Rabu (1/5).

Sebagaimana diketahui, Aliansi Perempuan Indonesia hari ini ikut berpartisipasi dalam aksi unjuk rasa di kawasan Istana Negara dan Glora Bung Karno (GBK). Merujuk dari data Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) setidaknya ada sekitar 50.000 buruh atau pekerja yang ikut aksi tersebut.

Mereka juga menuntut agar Pemerintah memberhentikan eksploitasi Sumber Daya Alam (SDA) di Indonesia. Mereka menilai di era pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) industri ekstraktif dan investasi modal tumbuh subur dengan regulasi yang mendukung, menciptakan surga bagi investor asing.

“Namun, dibalik kemakmuran yang dijanjikan, ada gelombang kekerasan yang semakin menerpa perempuan dan rakyat kecil,” jelasnya.

Selain itu, mereka juga menilai sistem kerja yang saat ini eksploitatif, akan berdampak dengan munculnya kekerasan dan diskriminasi yang menimpa kelompok-kelompok rentan seperti perempuan, LGBTIQ, dan disabilitas. Jenis kekerasannya pun beragam, mulai dari fisik, mental, seksual hingga kekerasan ekonomi.

Menurut data dari Komnas Perempuan tahun 2023 terjadi 321 kekerasan pada perempuan buruh migran dan 103 kekerasan pada perempuan disabilitas. Sedangkan dari survei UNESCO tahun 2021 hingga 2024, sebanyak 735 jurnalis perempuan pernah mengalami kekerasan online, 3308 kasus kekerasan terhadap PRT. Data ini masih bagian kecil dari kasus-kasus yang sebenarnya terjadi setiap harinya.

Mereka juga menjelaskan bahwa, pada LGBTIQ dan disabilitas, kekerasan dan diskriminasi terjadi pada syarat kerja yang masih menggunakan kata ‘laki-laki atau perempuan’ dan ‘sehat jasmani rohani’ sehingga menjauhkan dari akses pekerjaan. Ditambah pengucilan di tempat kerja, minimnya aksesibilitas, pemaksaan pemakaian jilbab, serta ujaran seksis pada penampilan maskulin transpria maupun transpuan.

“Melihat situasi di atas, maka kami dari berbagai organisasi perempuan dan masyarakat sipil melakukan aksi short march dari Bawaslu RI hingga Istana Negara RI, turun melawan dan membangun kekuatan memperkuat perlawanan dalam merebut kembali hak-hak yang telah dirampas,” pungkasnya.

25