Home Hukum Tiga Gagasan Menkopolhukam kepada Jokowi Patut Didukung

Tiga Gagasan Menkopolhukam kepada Jokowi Patut Didukung

Jakarta, Gatra.com - Praktisi hukum di bidang advokat R. Riri Purbasari Dewi mengatakan, tiga usulan Menkopolhukam, Mahfud MD, kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) merupakan gagasan cemerlang (briliant) yang harus didukung.

"Saya beranggapan bahwa saran Menkopolhukam sangat briliant dan patut didukung Kepolisian dan masyarakat," kata Riri di Jakarta, Sabtu (29/2).

Adapun ketiga usulan Mahfud yang juga menjabat sebagai ketua komisioner Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) tersebut adalah agar penindakan hukum tidak dipengaruhi pertimbangan politik.

Kemudian, agar polisi menggunakan pendekatan keadilan restorasi ketimbang selalu menerapkan pasal di KUHP atau KUHAP, khususnya untuk kasus-kasus kecil dan agar Polsek-Polsek tidak lagi melakukan penyelidikan dan penyidikan. Penyelidikan dan penyidikan dilakukan minimal di tingkat Polres.

Riri yang juga menjabat Ketua Bidang di DPN Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) dan sebagai pengurus di Pusat Bantuan Hukum (PBH) Peradi ini, yakin bahwa masyarakat sangat mendukun usulan agar penindakan hukum tidak dipengaruhi pertimbangan politik demi kesetaraan di depan hukum.

"Siapapun dia, rakyat atau pejabat, konglomerat atau melarat, semua sama kedudukannya di mata hukum. Hukum harus seperti pedang, tajam di kedua sisinya, bukan seperti pisau dapur yang hanya tajam di bawah tapi tumpul di atas," ujarnya.

Namun demikian, lanjut Riri, penindakan hukum terkait kasus-kasus berbau politik terlebih Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan (SARA) sangat rentan "digoreng" untuk membangun opini sesat demi kepentingan sesaat pihak tertentu yang ingin menggoyang keamanan dan ketertiban nasional.

Agar penindakan hukum terkait kasus-kasus di atas tidak bisa "digoreng"? maka penanganannya harus profesional dan transparan. Selian itu, harus ada juga tindakan ekstra terkait penanganan komunikasinya.

Agar komunikasinya efektif, maka bisa melibatkan tokoh-tokoh netral dari luar kepolisian yang memiliki keahlian hukum sekaligus kelihaian komunikasi, guna membantu polisi dalam memberi penjelasan yang lebih mudah dipahami dan diterima oleh media juga masyarakat, sehingga mengurangi risiko pembelokan isu.

Adapun usulan terkait penerapan pendekatan keadilan restorasi, Riri yang sudah menjalankan profesi advokat puluhan tahun, menyampaikan, dalam praktiknya polisi sudah menerapkan penyelesaian masalah secara kekeluargaan dengan musyawarah untuk mufakat.

"Ini sudah lama polisi lakukan. Saya ingat ketika almarhum Pak Hoegeng [Kapolri 1968-1971] membebaskan sekelompok tukang becak yang tertangkap memasuki jalan protokol," ungkapnya.

Namun sebelum membebaskan mereka, Hoegeng memerintahkan anak buahnya untuk mendata semua tukang becak yang tertangkap tersebut. Lantas, Hoegeng berpidato di hadapan para tukang becak menjelaskan kesalahan mereka.

Hoegeng kemudian meminta para tukang becak tersebut untuk berjanji tidak akan mengulangi kesalahannya lagi. Bila kembali melakukan, maka polisi akan memproses secara hukum.

"Jadi pendekatan kekeluargaan dan musyawarah untuk mufakat bukanlah hal baru bagi kepolisian. KUHAP pun memberikan pintu untuk itu," ujarnya.

Menurut Riri, polisi bisa saja menghentikan proses perkara atau kasus jika restorative justice sudah bisa menutup kerugian, semua pihak ikhas, dan tidak ada lagi pihak yang merasa terdzalimi. Untuk memastikan restorative justice sesuai dengan ketentuan atau aturan yang berlaku, maka harus ada pengaturan ?dan pengawasan agar jelas aturan mainnya.

Contoh, kata Riri, restorative justice hanya boleh diterapkan pada kasus dengan ancaman pidana di bawah sekian tahun, hanya pada kasus yang deliknya aduan, lalu pelakunya belum pernah dipidana dan belum pernah dilaporkan untuk kasus serupa.

"Pengaturan dan pengawasan menjadi sangat penting agar pendekatan restorative justice tidak bisa disalahgunakan oleh oknum polisi nakal," katanya.

Sebaliknya, pengaturan dan pengawasan juga harus dapat memberikan perlindungan hukum bagi polisi yang mengambil pendekatan restorative justice, agar jangan sampai dipersalahkan di kemudian hari.

Sedangkan untuk usulan terakhir yakni polsek tidak lagi melakukan penyelidikan dan penyidikan, menurut Riri, ini merupakan ide yang fenomenal seperti gagasan untuk memisahkan Polri dari ABRI puluhan tahun lalu.

Awalnya, lanjut Riri, gagasan pemisahan Polri dari ABRI ini banyak yang meragukan, tapi setelah dijalankan terbukti bahwa gagasan itu bukan saja sekadar fenomenal, tapi juga konstitusional dan sangat fungsional.

"Saya menyambut dengan sangat gembira gagasan ini. Terlebih, karena salah satu alasan utamanya adalah untuk mengedepankan prinsip check and balance antara penyidik dengan penuntut umum sejak awal proses penyidikan," ujarnya.

Menurut Riri, ide ini sangat bagus untuk meyakinkan bahwa proses penyidikan sudah sesuai dengan hukum perundangan, sehingga di persidangan nanti, semua dakwaan penuntut umum memiliki dasar hukum yang kuat. Sebaliknya, prinsip check and balance antara penyidik dan penuntut umum ini juga akan melindungi masyarakat dari proses penyidikan yang semena-mena, karena akan sulit untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka apabila penyidik tidak memiliki bukti yang akurat.

"Lagi pula, penyelidikan dan penyidikan, dalam kaitannya sebagai fungsi penegakan hukum, hanyalah sebagian kecil dari fungsi kepolisian secara keseluruhan," kata Riri.

Pembebasan tugas penyelidikan dan penyidikan ini diharapkan Polsek ?atau unit di bawah Polres bisa lebih fokus pada fungsi kepolisian lainnya di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan masyarakat.

Selain itu, aparat kepolisian juga lebih bisa menyatu dengan masyarakat sehingga masyarakat bisa merasakan manfaat langsung kehadirannya. Polisi tidak hanya hadir ketika razia lalulintas atau ketika mengawal mobil pejabat di jalan raya.

Kedekatan antara polisi dan masyarakat ini menjadikan pendekatan preventif untuk membina serta mengembangkan potensi dan kekuatan masyarakat dalam menangkal, mencegah, dan menanggulangi segala bentuk pelanggaran hukum serta berbagai bentuk gangguan lainnya yang dapat meresahkan masyarakat bisa maksimal.

Menurut Riri, jika polisi maksimal melakukan fungsisnya di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan masyarakat tersebut, maka itu sekaligus menutup pintu masuk bagi kehadiran kelompok-kelompok radikal yang berusaha memanfaatkan kebutuhan masyarakat terhadap figur penjaga, pelindung, dan pengayom.

Namun demikian, Riri menggarisbawahi bahwa gagasan Polsek atau unit di bawah Polres tidak lagi melakukan penyelidikan dan penyidikan ini jangan sampai membatasi akses masyarakat terhadap penegakan hukum. Polsek atau unit di bawah Polres masih tetap bisa menerima pengaduan dari masyarakat.

Demi memudahkan pelapor atau masyarakat, lanjut Riri, proses BAP bisa dilakukan di Polsek menggunakan teknologi informasi yakni teleconference. Mengadopsi revolusi IT merupakan keniscayaan di era revolusi industri 4.0. Penggunaan IT ini mempermudah dan menjadikan murah hubungan dua arah.

Penerapan IT tersebut bukan hal yang tidak mungkin. Riri mencontohkan penerapannya di dunia perbankan. Nasabah awalnya harus datang ke bank untuk bertansaksi. Seiring majunya teknologi, kemudian cukup hanya pergi ke Anjungan Tunai Mandiri (ATM) terdekat.

"Sekarang, terus bereformasi, sampai akhirnya bisa bertransaksi dari mana saja dengan menggunakan smartphone [gawai pintar]," katanya.

Riri menyampaikan, meski ketiga gagasan Prof. Mahfud MD ini sangat baik, namun tidak menutup kemungkinan untuk diperkaya melalui masukan berbagai pihak agar implementasinya lebih bagus.

"Bila diminta, maka PERADI sebagai organisasi advokat terbesar Indonesia, bersedia menggali berbagai masukan dari para advokat Indonesia untuk memperkuat gagasan mulia ini," ujarnya.

386