Home Politik Ancaman Siber, Terorisme Digital & Diplomasi Konflik

Ancaman Siber, Terorisme Digital & Diplomasi Konflik

Jakarta, Gatra.com - Dua pejabat dari Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) yakni Agung Nugraha dan Sulistyo berhasil meraih gelar doktor siber di bidang hubungan internasional. Hal itu dperoleh keduanya setelah dinyatakan lulus sidang ujian terbuka doktoral di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Padjajaran, Bandung, Rabu (15/4).

Agung lulusan Akademi Sandi Negara tahun1993 sekaligus Direktur Bidang Proteksi Infrastruktur Informasi Kritikal Nasional BSSN itu mengangkat disertasi berjudul “Penanggulangan Terorisme Siber pada Media Sosial di Indonesia”. Sementara Sulistyo lulusan Akademi Sandi Negara tahun 1994 yang kini menjabat Direktur Deteksi Ancaman BSSN membawakan disertasi “Diplomasi Siber Indonesia dalam Menghadapi Konflik Siber”.

Kedua paparan ilmu yang diberikan keduanya dinilai bermanfaat dan memberikan sumbangsih terhadap dunia siber di Indonesia. “Saya bangga kepada Agung Nugraha dan Sulistyo atas pemaparan disertasi yang kritis dan berkorelasi dengan kehidupan saat ini, serta berhasil lulus menjadi Doktor Siber pertama di Indonesia dengan hasil memuaskan,” kata Ketua Tim Promotor Sidang Ujian Doktor Terbuka Prof. Dr. Arry Bainus, M.A, seusai sidang ujian terbuka, Rabu lalu.

Arry mengatakan doktor siber, dalam konteks cyber security di Indonesia sudah banyak. Hanya saja belum banyak kandidat yang mampu menyajikan pemikiran yang lebih luas terutama pada aspek hubungan internasional. Kedua doktor yang juga praktisi siber itu telah membawa pemikiran yang baru dalam perspektif ilmu siber dari kacamata hubungan internasional.

“Memang ini masih barang langka karena untuk hubungan internasional ini penteoriannya masih kurang, karena kita tahu berangkatnya dari sisi security-nya. Tadi ada statement menarik dari kedua kandidat yakni dari sisi hubungan internasional masalah cyber security ini bersifat in between,” katanya.

Baca juga: Dua Doktor Siber Pertama Indonesia Lulus Sidang Ujian Online

Dunia siber terang Arry tidak sepenuhnya bergerak di dunia maya. Penetrasi siber menurutnya memiliki daya ancam yang dapat menerobos batas wilayah hingga berpotensi menyulut perang nyata. Ia mencontohkan konflik yang menguap antara AS-Cina dimana Amerika menuding adanya serangan siber yang dilakukan peretas Cina kepada sistem pertahanannya. Lalu ada kasus Edward Snowden, pembocor program rahasia National Security Agency (NSA) pada 2013.

Kasus tersebut menunjukkan bagaimana siber menjadi ruang yang penting dan vital bagi keamanan suatu negara. Keamanan siber menurutnya harus juga dipandang dari sudut pandang internasional yang menyangkut diplomasi siber dan juga kejahatan transnasional.

Guru besar bidang ilmu Studi Keamanan Unpad itu turut berkomentar terhadap dua disertasi para doktor asal BSSN itu. Ia menyebutkan kajian akademik “Penanggulangan Terorisme Siber pada Media Sosial di Indonesia” yang dibuat oleh Agung Nugraha sebagai sebuah studi yang bermanfaat bagi dunia siber, keamanan dan intelijen tanah air.

Arry menyebutkan tantangan masa depan adalah pemanfaatan medium siber untuk kelompok teroris (cyber terrorism). Teroris masa depan menurutnya telah bertransformasi menjadi “penjahat cerdik” yang memanfaatkan teknologi digital, media sosial, dan layanan pesan. Mereka melakukan aktivitas kejahatan seperti: propaganda, radikalisasi, rekrutmen anggota, perencanaan serangan, sarana interaksi dan komunikasi, serta pendanaan kelompok.

“Kemungkinan di masa depan media sosial itu akan dipergunakan oleh para teroris sehingga disebutlah sebagai cyber terrorism. Ke depan ini banyak mengemuka karena masalah pendanaan, masalah perekrutan itu sudah banyak by online dan menggunakan cyber space,” terangnya. Tentunya hasil studi ini dapat menjadi input yang bermanfaat bagi lembaga yang menangani masalah keamanan siber seperti BSSN, BNPT, dan Badan Intelijen Negara (BIN).

Sementara itu kajian yang diketengahkan Sulistyo lewat “Diplomasi Siber Indonesia dalam Menghadapi Konflik Siber” juga dianggap baru dan relevan dalam konteks hubungan internasional. Menurutnya perlu sebuah paradigma berpikir bahwa ruang siber bukan ruang yang “tak terbatas”. Oleh karenanya ketika terjadi persoalan di ranah siber yang menyangkut serangan maupun ancaman maka upaya yang diperlukan yakni diplomasi siber.

“Yang [kajian] kedua ini menarik sekali karena ini barang baru di Indonesia yaitu cyber conflict yang salah satunya bisa dipecahkan dengan cyber diplomacy,” kata Arry. Ia menyebutkan doktor Sulistyo mampu menjelaskan secara gamblang perbedaan antara digital diplomacy dengan cyber diplomacy. Menurutnya hal ini sangat bermanfaat bila dirumuskan dalam bentuk kebijakan sehingga Indonesia mempunyai diplomat siber yang mampu mengatasi persoalan siber di tingkat internasional.

Arry menyebutkan kedua hasil disertasi dari doktor bidang siber itu layak untuk menjadi bahan masukan dan kajian bagi banyak pihak. “Jadi kalau kita mendengarkan ujiannya itu banyak sekali tataguna laksana yang saran-sarannya sangat konstruktif dan bisa dipergunakan di Indonesia. Hanya sekarang political will dari pemerintah, mau tidak melaksanakan sesuai apa yang disarankan,” pungkasnya.

2210