Home Hukum Buka Riwayat dan Dokumen untuk Ungkap Perampasan Tanah

Buka Riwayat dan Dokumen untuk Ungkap Perampasan Tanah

Jakarta, Gatra.com - Kepala Sekretariat Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar (Saber Pungli) Kemenkopolhukam, Brigjen Pol Bambang P., mengatakan, kerap terjadi ada dua surat kepemilikan asli atas sebuah bidang tanah yang dikeluarkan lembaga resmi.

"Kok ada, satu sertifikat hak milik (SHM) tapi ada juga HGB [Hak Guna Bangun] di atas tanah tersebut," katanya. Menurut dia, meskipun kedua surat tersebut misalnya diterbitkan oleh lembaga yang sah, yakni BPN, namun salah satunya pasti diperoleh melalui cara yang tidak sah. Untuk mengungkapnya, bukalah hal rumit, tinggal menelusuri atau mengusutnya hingga tingkat kecamatan.

"Sebetulnya penyelesaiannya mudah. Di BPN kan ada warkah, [setifikat] ini kan produk BPN harus ditarik ke belakang, memeriksa riwayat kepemilikan tanah, dokumen sampai di tingkat desa, kelurahan. Kalau di desa ada patok D, pasti ketemu pemilik tanah yang sah," ujarnya.

Bambang mengungkapkan, 'pemalsuan' surat tanah di antaranya bisa terjadi saat proses pengajuan sertifikat. Pengungkapan siapa pemilik yang sah pasti bisa dilakukan. "Kalau ingin mengungkap kebenaran, dengan hati nurani pasti ketemu," ujarnya.

Sementara itu, Sekretaris Saber Pungli Kemenkopolhukam, Irjen Pol Agung Makbul, mengimbau masyarakat agar melaporkan kepada Satgas Saber Pungli jika kasus perampasan tanah yang diadukan lamban atau tidak ditindaklanjuti pihak terkait.

"Saber Pungli ini bukan hanya di Kemenkopolhukam, ada juga di provinsi sampai kabupaten. Andai laporan di kabupaten itu lambat atau tidak diproses, lapor lagi ke provinsi," ujarnya.

Ketua Forum Korban Mafia Tanah Indonesia (FKMTI), S. Kendi Budiardjo, dalam keterangan tertulis, Kamis (21/1), mengatakan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam Rapat Terbatas (Ratas) pada 3 Mei 2019 lalu, memerintahkan jajarannya untuk menyelesaikan masalah konflik pertanahan.

Perintah tersebut, lanjut Kendi, sesuai dengan amanat Pasal 33 UUD 1945 dan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Tahun 1960. Pihaknya berharap agar perintah Presiden tersebut dijalankan para penegak hukum.

"Ini menyangkut hak warga negara yang dirampas tanahnya. Korban tidak pernah menjual tanahnya tetapi bisa dikuasai oleh pihak lain tanpa membeli," katanya usai rapat dengan Saber Pungli Kemenkopolhukam.

Menurut Kendi, maraknya kasus perampasan tanah karena negara tidak menjalankan UUPA dan PP Nomor 10 Tahun 1961. Kedua aturan tersebut sangat berpihak kepada rakyat. Ia menyayangkan rezim Orde Baru malah menerbitkan PP Nomor 24 Tahun 1997 yang mengakomodir kepentingan mafia tanah untuk merampas tanah rakyat.

Karena itu, pihaknya meminta agar penguasa segera mencabut PP Nomor 24 Tahun 1997 yang bertentangan dengan UUPA. PP tersebut kerap dijadikan oknum BPN untuk berlindung atas kesalahannya menerbitkan SHGB di atas tanah SHM atau girik rakyat.

Sekjen FKMTI, Agus Muldya, mengungkapkan, selain HGU banyak juga lahan HGB yang bermasalah. Ia berharap Satgas Saber Pungli mengusutnya dengan menelusuri asal usul kepemilikan lahan tanah.

"Mengapa di atas tanah mereka ada SHGB, aparat negara tidak mau buka data dan menyuruh korban gugat ke pengadilan. Bagaimana mungkin di atas lahan yang sama ada 2 surat asli terbitan BPN," ujarnya.

Agus melanjutkan, kasus perampasan tanah rakyat modusnya relatif sama. Mafia merampas tanah setelah mendapatkan SHGB, SHP, dan lain-lain. Kemudian mereka menguasai fisik tanah tanpa membeli.

Agus mecontohkan tentang perampasan tanah yang dialami oleh Robert Sudjasmin, Rusli Wahyudi, Nugroho, Samiun, dan para transmigran yang terjadi pada awal tahun 1990-an.

Agus menyebut bahwa Robert jelas membeli tanah SHM dari lelang negara pada tahun 1990. Sebelum dilelang, tanah tersebut sudah diverifikasi BNP yang menyatakan bahwa tanah tersebut clear and clean. Namun kemudian tanah tersebut secara fisik dikuasai oleh salah satu perusahaan.

Tragisnya lagi, pengadilan memutuskan bahwa Robert bukan pemenang lelang nomor 388. Atas dasar itu, BPN kemudian menganulir SHM milik Robert yang pernah diterbitkannya. Selain itu, letak objek tanah milik perusahaan itu berada di kecamatan berbeda.

Menurut Agus, tanah milik Robert berada di Pegangsaan. Sementara lokasi tanah perusahaan berlokasi di Petukangan. "Banyak kejanggalan tapi masih dibela oleh oknum BPN. Seharusnya setelah buka datanya dan ternyata jelas perampasan, maka BPN membatalkannya dan memberikan hak Pak Robert," tandasnya.

Agus juga mengungkapkan kasus perampasan tanah yang berstatus SHM menimpa Patrick, Sri Cahyani, Karsidi, dan Tri. Selain SHM, tanah girik seperi yang dialami Rusli Wahyudi, Samiun, Sukra di kawasan Jabotabek, perampasan juga dialami oleh BUMN seperti KAI, Pelindo, dan tanah untuk irigasi.

"Ini bukti juga perampasan tanah itu masif, membahayakan karena terjadi di banyak wilayah di Indonesia," katanya.

Menurut Agus, perampasan tanah juga terjadi karena kewenangan Departemen Keuangan dan Departemen Dalam Negeri dipangkas dalam urusan pertanahan sejak tahun 1993.

"Banyak kasus perampasan tanah terjadi pada awal tahun 90-an. Saat itu, surat Ipeda, salinan letter diserahkan ke BPN. Jadi banyak tanah rakyat yang dikuasai pihak pengembang, perkebunan, dan lain-lain," katanya.

Agus menambahkan, perampasan tanah belum disebutkan sebagai kejahatan yang luar biasa dalam UU Pertanahan, sehingga pihak korban diarahkan untuk menempuh gugatan perdata ke pengadilan. Pihaknya berharap Jokowi menyatakan bahwa perampasan tanah bukan hanya mengganggu investasi, tetapi juga membahayakan kedaulatan negara.

1144