Home Politik Harapan Petani Sawit Pasca Pilpres

Harapan Petani Sawit Pasca Pilpres

Pekanbaru, Gatra.com - Petani Kelapa Sawit Indonesia berharap kondisi politik negeri ini semakin kondusif pasca pengumuman hasil Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden.

Sebab dengan kondusifitas yang semakin baik itu diyakini akan sangat berdampak positif pada ekonomi bangsa, khususnya bagi kesinambungan perkelapsawitan Indonesia.

"Helat politik sudah selesai. Ada baiknya kita terima hasil itu tanpa harus melakukan hal-hal yang justru akan merugikan bangsa ini. Menurut saya tak ada istilah kalah dan menang, yang ada adalah bahwa inilah Indonesia. Berdemokrasi tanpa huru-hara atau anarki," kata Hendri Alpian, salah seorang petani kelapa sawit yang juga anggota Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) dari Indragiri Hulu (Inhu) kepada Gatra.com, Selasa (21/5).

Setelah pesta demokrasi membuahkan hasil, petani kata Hendri sudah kembali dihadapkan pada kenyataan pahit bahwa harga Tandan Buah Segar (TBS) sudah melantai lagi.

Meski harga melantai, Hendri tidak lantas menjadikan itu sebagai persoalan besar yang kemudian menyingkirkan akal sehat. Sebab dia yakin, Indonesia yang besar ini akan bisa mencarikan solusinya dengan catatan, bahwa Indonesia harus tetap menjadi negara yang kuat, negara yang tidak akan terpecah belah oleh segelintir orang yang tak senang dengan hasil sebuah pesta demokrasi.

"Bagi kami, ikut dalam pesta demokrasi adalah keharusan dan kami turut andil di sana. Saya sendiri punya pilihan, namun saya tidak mempersoalkan pilihan saya itu kalah atau menang. Sebab ini Indonesia, bukan perkumpulan," ujarnya.

Ketua Umum DPP Apkasindo, Gulat Medali Emas Manurung mengamini apa yang dikatakan Hendri. "Saat ini ekonomi Indonesia sudah baik, industri hilir kelapa sawit semakin terbuka luas. Itu salah satunya ditopang oleh devisa terbesar yang dihasilkan oleh Crude Palm Oil (CPO). Kalau kita terlena dengan hiruk pikuk Pilpres, maka inilah sebenarnya yang diinginkan oleh negara lain untuk mengobok-obok hasil bumi Indonesia di pasar Internasional, khususnya industri sawit kita yang sudah membuat negara asing cemburu. Dan ini pula yang diinginkan untuk menyalip Indonesia dalam berbagai hal yang salah satunya adalah investasi," ujar Gulat.

Sawit kata Gulat sangat berhubungan langsung dengan dunia internasional, jika kondisi tidak kondusif akan menjadi modus buat negara asing untuk menekan harga CPO Indonesia dan juga kesempatan bagi pemain CPO dalam negeri menekan harga TBS.

Kondisi ini kata Gulat sudah terasa sebulan belakangan. Harga TBS petani sudah mulai melantai. Ini belum lagi oleh pengaruh tradisi jelang hari besar terhadap tertekannya harga TBS itu.

"Turunnya harga TBS ini langsung sangat berdampak pada petani yang jumlahnya mencapai 42 persen dari total 14 juta hektar luas kebun kelapa sawit di 22 provinsi penghasil CPO yang ada di Indonesia," katanya.

Lantaran itulah makanya lagi-lagi, petani sangat berkeinginan situasi politik Pilpres ini jangan menjadi pemicu semakin anjloknya harga CPO dunia.

Sebab kondisi itu akan langsung berdampak bagi petani. Petani menginginkan supaya Pemerintah lebih Fokus melakukan upaya perbaikan tataniaga kelapa sawit baik di skala nasional maupun internasional, ya ujung-ujungnya iklim politik harus dalam keadaan kondusif dulu.

"Jujur saya bilang, di level petani pekebun, mereka sudah mengeluh dan kesal oleh pernyataan-pernyataan tidak penting yang berseliweran. Pernyataan yang saling menjelekkan. Kondisi ini sangat merugikan petani dan saya pikir juga masyarakat biasa lainnya," ujar Gulat.

"Untuk itu Saya menghimbau kepada Petani Kelapa Sawit Indonesia, supaya jangan ikut-ikutan menambah panasnya suhu politik saat ini, mari fokus bekerja di profesi kita sebagai petani, tingkatkan kinerja, selalulah menjadi Pahlawan Devisa Negara dengan cara meningkatkan produktivitas dan menjaga kesejukan lingkungan kita masing-masing," tambahnya.

Negara ini kata Gulat harus damai dengan hasil Pemilu apa adanya. Jangan justru menjadi mainan bagi orang atau kelompok tertentu yang hasrat dan tujuannya tidak tercapai.

"Saya menjadi sangat heran ketika negara lain sangat takjub dengan demokrasi Pilpres di Indonesia, di kita sendiri malah latah mengurai ini dan itu salah. Negara besar adalah negara yg menghargai demokrasi. Tidak ada demokrasi yang sempurna," katanya.

Kondisi politik kata Gulat sangat berhubungan dengan laju pertumbuhan ekonomi. Indonesia sebagai negara terbesar di bidang industri kelapa sawit dan komoditi ini kemudian muncul sebagai penyumbang devisa negara terbesar, harus dijaga bersama demi kepentingan bangsa dan ratusan juta masyarakat.

Persoalan di sektor kelapa sawit sudah cukup banyak. Tak hanya soal kampanye negatif sawit, tapi juga masalah akses izin HGU dan petani sawit dalam kawasan hutan. Ini semua menjadi jurus dan modus penekanan pada industri sawit Indonesia.

"Jika saat ini kita masih terus terlena dengan politik Pilpres, maka siap-siaplah kita bahwa iklim industri kelapa sawit akan terus terganggu," katanya.

461