Home Gaya Hidup Festival Lima Gunung, Seni Tanpa Pretensi

Festival Lima Gunung, Seni Tanpa Pretensi

Magelang, Gatra.com – Festival Lima Gunung ke-18 di Dusun Tutup Ngisor, Sumber, Kabupaten Magelang dibuka tanpa embel-embel “resmi”. Pesta seninya wong nggunung yang polos apa adanya.

Seperti mula digagas, penyelenggaraan festival yang menyatukan komunitas kesenian rakyat di Gunung Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh memang tanpa tujuan yang muluk.

Komunitas Lima Gunung yang semula hanya mewadahi pegiat seni tari tradisional, meluas ke media seni lainya. Bahkan kemudian menjadi lintas profesi dan latar belakang sosial.

Di panggung seukuran setengah lapangan bulu tangkis, pemimpin Padepokan Seni Tjipta Boedaja Tutup Ngisor, Sitras Anjilin meneguhkan gagasan tersebut. “Tujuannya menghibur. Tidak ada tujuan khusus, apalagi bermaksud nguri-uri (melestarikan) budaya,” kata Sitras, Jumat (5/7).

Tanpa pretensi. Pengunjung bebas datang menikmati pertunjukan dan pulang dengan hati senang. Tidak ada beban memahami pesan yang terkandung dalam pertunjukan.

Dari tahun ke tahun Festival Lima Gunung seperti tidak pernah kehabisan ide mengejutkan. Setelah memutuskan tidak lagi menerima sponsor maupun donasi (sejak penyelenggaraan ke-9 tahun 2010), ide-ide liar terus muncul mewarnai kegiatan.

Tema-tema yang pernah diangkat, lumayan nyeleneh merefleksikan perenungan batin para penggiatnya. Sebut saja “Tapa ing Rame” (tahun 2014), “Mari Goblok Bareng” (2017), dan “Masih Goblok Bareng” (2018).

Dijumpai Gatra.com dua hari sebelum pembukaan festival, Sitras enggan menjelaskan maksud tema festival tahun ini “Gunung Lumbung Budaya”. Pernyataan Sitras soal tujuan pertunjukan seni untuk hiburan, mungkin sedikit menjawab rasa penasaran. Meski tetap belum terang apa maksud tema tahun ini.

Bagi Sitras, kegembiraan yang lahir dari pertunjukan seni akan menghadirkan cinta. “Dan alasan berbudaya adalah cinta. Cintalah yang menghidupkan peradaban.”

Karena cinta, Kaisar Mughal Shah Jahan membangun Taj Mahal untuk mendiang istrinya Mumtaz Mahal. Begitu juga dengan Borobudur yang dibangun sebagai penengah cinta Rakai Pikatan (wangsa Sanjaya) dengan Ratu Pramodhawardani (wangsa Syailendra).

Atas dasar cinta pula sekitar 77 kelompok kesenian beragam aliran setuju pentas gratisan di panggung Festival Lima Gunung. Mereka yang datang dari luar kota atau luar negeri bahkan harus merogoh kocek sendiri untuk ongkos perjalanan.

Setelah di lokasi acara mereka juga harus menyelaraskan perform dengan durasi yang mepet. Digelar maraton selama 3 hari, masing-masing kelompok hanya mendapat jatah 20-30 menit utuk unjuk menyajikan pertunjukan.

Kebanyakan yang tampil adalah kelompok kesenian mix tradisional kontemporer. “Kesenian tradisional butuh durasi pertunjukan yang panjang. Waktunya tidak cukup, karena yang mau tampil banyak,” kata Sitras.

Diberondong pertunjukan 20 menitan, tampaknya tidak menghilangkan keasyikan penonton untuk menikmati keseluruhan acara. Pembacaan puisi oleh para mahasiswa Pasca Sarjana Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta menjadi jeda, dimana sebelumnya tampil tarian Rukmakala Wanara dan Arga Yudha yang enerjik menguras tenaga.

Hingga Minggu (7/7), Dusun Tutup Ngisor bakal disemarakan aneka pertunjukan kesenian. Menurut jadwal acara, musikus sufi Candra Malik dan budayawan Prie GS akan tampil di hari penutup.

 

797