Home Politik Rizal Ramli: Akar Masalah BLBI karena Boleh Bayar Pakai Aset

Rizal Ramli: Akar Masalah BLBI karena Boleh Bayar Pakai Aset

Jakarta, Gatra.com - Mantan Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan, dan Industri, Rizal Ramli, mengatakan, materi pemeriksaan oleh penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hari ini tentang misrepresentasi yang dilakukan oleh pemilik saham pengendali Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI), Sjamsul Nursalim.

Usai menjalani pemeriksaan sekitar 2 jam di KPK, Jakarta, Jumat (19/7), mengatakan, awal permasalahan misrepresentasi karena para obligor diperbolehkan membayar menggunakan aset untuk membayar utang. Padahal, jika dibayar tunai permasalahan ini tidak akan serumit sekarang. 

Menurutnya, obligor BLBI bisa membayar utangnya menggunakan aset setelah Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Glen MS Yusuf, berhasil melobi Menteri Keuangan (Menkeu), Bambang Subianto.

"Nah, kalau pengusahanya bener, dia serahkan aset yang bagus-bagus, tapi ada juga yang bandel dibilang aset ini bagus padahal aset busuk atau setengah busuk atau belum clean and clear," ujar ekonom senior ini. 

Baca juga: Kasasi Dikabulkan MA, Syafruddin Temenggung Langsung Bebas

Kemudian, lanjut Rizal Ramli, Lehman Brothers--bank investasi raksasa asal Amerika Serikat-- melakukan valuasi atas permintaan BPPN. Ia juga menuding bahwa Leman melakukan valuasi secara serampangan. 

"Lehman Brother juga sembrono, masa dalam waktu 1 bulan dia udah bisa lakukan penilaian terhadap nilai dari ratusan perusahaan sehingga banyak kasus-kasus di mana ngaku udah menyerahkan aset segini," katanya. 

Dalam kasus ini, KPK menetapkan Sjamsul Nursalim dan istrinya, Itjih Nursalim sebagai tersangka karena diduga telah melakukan misrepresentasi. Kasus ini merupakan pengembangan perkara dari fakta persidangan terhadap Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Syafruddin Arsyad Temenggung.

Baca juga: KPK Pastikan Kasus Sjamsul-Itjih Nursalim Terus Berjalan

Dalam kasus ini Sjamsul Nursalim dan istrinya Itjih Nursalim ditetapkan sebagai tersangka karena telah melakukan misrepresentasi. Keduanya pun telah pernah dipanggil untuk dimintai keterangan sebagai tersangka pada Jumat lalu (28/6). Namun keduanya mangkir tanpa alasan dari panggilan tersebut.

Kasus ini merupakan pengembangan perkara dari fakta persidangan terhadap mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Syafruddin Arsyad Temenggung. Sjamsul Nursalim selaku pemilik BDNI melakukan misrepresentasi. 

Namun, majelis hakim kasasi MA mementahkan dakwaan hingga vonis Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta dan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. MA membebaskan Syafruddin dari segala tuntutan hukum. Sementara itu, KPK mengatakan bahwa kasus ini akan terus diusut walau Syafruddin sudah bebas dari tuntutan. 

Adapun misrepresentasi yang dilakukan Syafruddin bersama-sama Sjamsul yakni memasukkan piutang petani tambak Dipasena sejumlah Rp4,8 triliun itu lancar, sedangkan utang para petani tambak tersebut ternyata piutang macet.

Baca juga: Baca juga: Hirup Udara Bebas, Syafruddin Temenggung Pamer Buku BLBI

Utang petambak itu macet sebagaimana hasil Financial Due Diligence (FDD). BPPN kemudian menyurati Sjamsul untuk menambah jaminan aset sebesar Rp4,8 triliun. Namun Sjamsul menolak dengan alasan kredit petambak termasuk kredit usaha kecil (KUK).  Karena itu, hakim menilai penolakan itu justru bertentangan dengan Master Settlement Acquisition Agreement (MSAA). 

Namun, pada April 2004, malah terjadi penandatangan Akta Perjanjian Penyelesaian oleh Syafruddin dengan istri Sjamsul, Itjih Nursalim. Perjanjian tersebut menyatakan bahwa pemegang saham BDNI ini telah menyelesaikan seluruh kewajiban sesuai dengan yang diatur dalam MSAA. Lalu diterbitkanlah Surat Keterangan Lunas SKL-22 untuk Sjamsul Nursalim.

Atas perbuatan tersebut, Sjamsul dan Itjih disangka melanggar Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.

332