Home Ekonomi Merebut Kembali Kejayaan Pangan Lokal

Merebut Kembali Kejayaan Pangan Lokal

Jakarta, Gatrareview.com - Indonesia terlalu bergantung pada beras dan gandum sebagai sumber pangan. Padahal, dua komoditas tersebut masih impor. Perlu kembali perkuat pangan lokal.

 

 

Indonesia pernah mencapai swasembada pangan pada 1984. Tapi swasembada pangan itu hanya bertumpu pada satu komoditas pokok, yaitu beras. Produksi beras digenjot. Beras menjadi primadona. Bahkan pemerintah kala itu secara masif mendorong masyarakat menjadikan beras sebagai makanan pokok. Di sejumlah daerah yang tadinya memiliki makanan pokok lokal, seperti Madura dengan jagungnya dan Papua dengan sagunya, secara perlahan penduduknya beralih mengonsumsi beras.

 

Akibatnya, pangan pokok (staple food) bangsa Indonesia yang tadinya beragam pun bergerak menjadi monolitik, hanya beras. Selama sekian tahun kebiasaan makan beras itu terus bertahan. Akhirnya ketika lahan pertanian makin menyusut dan pemerintah mengimpor beras, barulah disadari bahwa hilangnya keberagaman pangan lokal.

 

 

Membangkitkan Lagi Pangan Lokal

 

Pemerintah berupaya membangkitkan kembali pangan lokal. Memang tidak mudah. Budaya yang sudah terbentuk sekian tahun memang tidak bisa diganti dalam waktu singkat. Tapi setidaknya pemerintah sudah menyadari kesalahannya dan kembali berusaha melakukan penganekeragaman pangan. Ketentuan tentang diversifikasi pangan itu antara lain tercantum dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan.

 

Setelah itu berbagai upaya diversifikasi pangan, juga berbagai kampanye pangan lokal non-beras terus digenjot. Program diversifikasi pangan pun jadi program resmi Kementerian Pertanian (Kementan) sejak beberapa tahun terakhir. Terutama pada 2018 lalu, program diversifikasi pangan itu terus digenjot. Festival pangan lokal non-beras pun makin ramai, diadakan oleh pemerintah daerah masing-masing.

 

 

Lenyapnya Budaya Pangan Lokal

 

Bumi Nusantara sebenarnya sangat kaya akan pangan lokal. Berbagai pangan lokal ini dulu juga menjadi makanan pokok (staple food). Antara lain: sorgum, sukun, singkong, gembili (sejenis ubi rambat), ubi talas, ubi jalar, kentang, hingga ganyong. Namun empat hingga lima dekade terakhir, gandum muncul sebagai makanan pokok. Hampir semua mi instan, roti, kue, dan biskuit dibuat dengan menggunakan bahan baku gandum.

 

Persoalannya, gandum bukan termasuk pangan lokal. Gandum harus diimpor. Indonesia pertama kali mulai mengimpor gandum pada 1968. Setelah itu, pemerintah Orde Baru membuka kran impor gandum. Bahkan pabrik pengolahan gandum pun dibangun. Perlahan pola makan masyarakat berubah. Penetrasi gandum terhadap budaya makan terus menguat. Mie instan, yang terbuat dari gandum, makin populer di Indonesia.

 

Bagi generasi muda yang lahir ketika era impor gandum sudah merajalela, mungkin sulit membayangkan bahwa gandum bukanlah makanan pokok lokal. Bahkan gandum sulit ditanam di Indonesia. Perubahan budaya pangan bisa jadi hal yang berbahaya. Di antaranya berdampak pada gizi buruk. Seperti kasus gizi buruk luar biasa yang terjadi di Kabupaten Asmat, Papua. Hingga Februari 2018, sudah 72 anak meninggal, sebagian besar karena campak. Pemerintah menetapkan status kejadian luar biasa (KLB) dan mengirim tim medis sekaligus bantuan makanan.

 

 

Akses Pangan Lokal

 

Harus diakui bahwa menghidupkan kembali budaya pangan lokal yang sempat lenyap memang tidak mudah. Selain karena kebiasaan yang memang sulit diubah, ada faktor lain, yaiu akses. Pengamat pertanian Khudori, misalnya, mengatakan bahwa saat ini isu diversifikasi pangan sejatinya adalah isu akses terhadap pangan lokal tersebut.

 

Gandum sebagai produk impor dari negara subtropis lagi-lagi bisa jadi contoh. Menurut Khudori, meski pemerintah berusaha menekan ketergantungan terhadap gandum, faktanya gandum dan produk turunannya (tepung terigu) merupakan bahan pangan yang mudah didapat dan harganya pun murah. Tapi kondisi berbeda terjadi di pangan lokal. Di Jakarta, misalnya, ubi jalar atau singkong hanya bisa ditemukan di pasar-pasar tradisional di wilayah pinggiran.

 

Faktanya, terutama di kawasan perkotaan, lebih mudah mendapatkan gandum daripada singkong. Karena itu upaya diversifikasi pangan pun terhambat. "Kalau warga didorong untuk mengonsumsi pangan lokal, produknya harus tersedia dan harganya juga murah. Bila dua hal ini belum tercapai, industri juga akan mencari jalan termudah," kata pengamat pertanian Khudori.

 

Sejauh ini, Khudori melihat bahwa akses masyarakat terhadap pangan lokal masih belum mudah. Karena itu, kampanye diversifikasi pangan harus segera diikuti dengan kebijakan strategis yang bisa memengaruhi industri makanan. Sebab, bila upaya diversifikasi pangan tidak segera diikuti dengan industrialisasi pangan lokal, dikhawatirkan justru gandum yang lagi-lagi akan mendapat untung. Kampanye tidak makan beras, misalnya, justru berpotensi meningkatkan konsumsi gandum. “Saat ini, porsi gandum dalam pola konsumsi nasional yang makin tinggi. Saat ini sekitar 25%,” tutur Khudori.

 

 

Ketersediaan Pangan Lokal

 

Masih banyak tantangan lain yang harus dihadapi pemerintah dalam upaya membangkitkan lagi diversifikasi pangan. Tapi yang terpenting, harus ditanamkan kesadaran bahwa pangan pokok bukanlah sesuatu yang monolitik. Tiap suku atau bangsa memiliki pangan lokalnya sendiri, yang tidak harus sama.

 

Bahkan menurut Khudori, bila kita melihat bagaimana dulu di Indonesia tiap daerah memiliki tanaman lokalnya sendiri, itu mengindikasikan bahwa tanaman itulah yang merupakan makanan pokok alias staple food masyarakat daerah itu. “Mengapa dulu sorgum banyak di NTT (Nusa Tenggara Timur), jagung di Madura, sagu di Maluku dan Papua? Itu cara Tuhan mengatur bahwa yang namanya staple food itu tumbuhnya di dekat masyarakat itu tinggal,” kata Khudori.

2045