Home Gaya Hidup Zina: Dicaci Atawa Dikaji

Zina: Dicaci Atawa Dikaji

Jakarta, Gatra.com - Ada ontran-ontran apa lagi ini? Sudah gemuruh goreng-menggoreng di medsos soal adu dukungan hingga erupsi radikal-radikul, tiba-tiba kehebohan “Vina Garut” diikuti heboh viral disertasi soal Zina dari UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Hah, Zina? Loh, kok urusan yang sudah ditahkik sebagai wilayah dogmatis (ma’lumun min al-dini bi al-dhorurah), tak boleh diulik-ulik lagi menjadi anget kembali. Polemik pun berhamburan. Tak cukup itu, tuntutan untuk mencopot rektor dan penguji hasil penelitian Abdul Aziz tentang ‘milkul yamin’ yang mengacu pada intelektual muslim asal Mesir, Muhammad Sahrur itu menghantam bertubi.

Duh gusti, masalah ‘selangkangan’ lagi-lagi membangkitkan erangan hingga melayang-layang. Sebaiknya tidak perlu sradak-sruduk dulu. Anggap aja heboh halal-hulul zina itu sebagai ‘hiburan’ daripada gontokan soal ‘berat-berat sedap’ yang tiada habis-habisnya meluapkan ujaran miring sampai mrongos.

Banyak yang kepo, ingin tahu sebenarnya bagaimana duduk persoalannya konsep ‘zina halal’ imporan dari Mesir itu yang ditampilkan di ruang akademis? Ada yang langsung melakukan ‘blizts krieg’ serangan kilat sebagaimana kita sama-sama tahulah, tapi ada juga yang ibarat menerima tendangan bola dengan hattrick yang cantik.

Eit, berkah dari gonjang-ganjing disertasi itu, saya dapat undangan diskusi untuk obrolkan tema panas itu. Pada sebuah ruang pertemuan di hotel bersama juga dengan Denny JA yang dikenal maestro lembaga survei, hadir sekitar 20-an peserta dengan latarbelakang dan keahlian yang beraneka. Mereka tampak bersemangat untuk mendengar paparan dan bersua pikir terhadap isu yang bisa dijelajah dari berbagai lini.

Halaqoh terbatas itu mengundang narasumber KH Mukti Ali MA, ‘santri kluthuk’ alumnus Universitas Al-Azhar Mesir. Dengan membawa segebok kitab kuning, sang narsum kita ini membacakan dan mengulas ta’bir-ta’bir yang termaktub dalam beberapa kitab termasuk kitab karya Sahrur.

Wow, ternyata banyak fakta terungkap tentang perilaku para pendahulu kita menyangkut urusan ‘bawah perut’ ini. Sedikit bocoran, ada loh di kitab itu tersimak fakta, beberapa sahabat yang berbuka puasa bukan dengan mencicip kurma dulu, tapi langsung ‘tancap gas’ menyenggamai sariyah (budak perempuan) tiga sekaligus. Wah, kalau orang Indonesia sudah klenger burger, he he. Potong cerita, cerapan saya dari hasil ‘bahsul masail’ itu, terbukti warna-warni pandangan ulama fikih tentang soalan itu. Artinya, tidak manunggal sebagaimana digembar-gemborkan para du’at sepanjang ini.

Masih belum melandai isu itu, malah menanjak, saya jadi kembali siuman dari tidur panjang mengamati gerak gerik jagad eseks-eseks. Kontan, saya ingat masa-masa ‘jahiliyah’ dulu. Saat saya menjadi ‘bohemian radikal’ dengan jins belel, rambut gondrong, jaket kombor dan gelang tangan suka keluyuran hingga pelosok negeri ini.

Dan itu tanpa funding loh. Dengan bekal pundi-pundi rupiah saya hasil ngumpulkan dari menulis yang ‘tak seberapa pantas’, saya melalang berjihad untuk menekuri ‘fakta’. Ya, fakta-fakta yang membuat saya gelisah kalang kabut.

Dengan mengendap-endap, saya menjumputi fakta, merenungi, lalu ‘mengabstraksikan’ dengan susah payah sampai pikiran dan badan bonyok. Saya kala itu membayangkan diri saya seperti filsuf, utamanya Mitchel Foucoult, George Bataille, atau Marques De Sade, sosok-sosok yang menjalani--pinjam istilah Paul Ricoure--‘saintliness of evil’, uji balistik kesantoan dengan menyusuri lorong-lorong kegelapan dan kekelaman yang oleh mata khalayak umum diserapahi jijik, kotor, dan najis.

Ada ‘transgresi’ atas kebakuan dan kelaziman. Sebuah sikap ‘bunuh diri klas’, abai terhadap normalitas, menjauh dari pencitraan karena ingin mengarungi sedalamnya demi menyibak pernik-pernik realitas yang absurd ini. Dari bacaan sufi, saya begitu terpagut pada sebuah tarekat Malamatiyah, yakni ‘jalan pencelaan’ yang diamaliyahkan dengan memamerkan keburukannya agar masyarakat menganggapnya sebagai bajingan, bedebah atau julukan kasar lainnya. Ini ikhtiar untuk melumatkan sifat riya’, pamer dan pujian yang banyak orang ingin menangguknya.

Untung dari galang-gulung itu tidak tercecer ke mana-mana. Dalam kondisi tinggal di kamar pengap, dompet yang selalu bokek dan selalu was-was ditagih uang kos bulanan, pada sebuah kampung di Rawajati, Jakarta Selatan—tempat yang sama Tan Malaka menulis Madilog--saya berhasil melampiaskan dalam wujud buku “In The Name of Sex, Santri, Dunia Kelamin dan Kitab Kuning” sampai 578 halaman dan diterbitkan oleh Jawa Pos.

Pikiran saya waktu menulis itu, setelah buku terbit, saya hanya ingin seperti pernah diikrarkan oleh novelis Jorge Luis Borges,”Saya berharap, saya akan dilupakan.” Dalam bahasa santrinya, majhulun fil ardhi, masyhurun fil al-sama’, sirna ditelan gempita bumi, mengerlip dalam kabut kesunyian langit.

Begitu jamak cerita di buku itu. Ada sedu sedan, pedih, perih, marah dan protes yang saling berkelindan. Segebung fakta-fakta gelinjang seksualitas yang membuat ‘tegang’ dari segala penjuru. Bagaimana tafsir atas ‘ayat-ayat langit’ ketika diperhadapkan dengan ‘wanita malam’ yang masih mau jalani sholat. Ada sajadah dan al-Quran tertata rapi di ‘ruang kerja’ nya. Terhadap pula, seorang emak-emak difabel yang bekerja untuk ‘industri lendir’ dan tak sepi dari konsumen. Ada lagi ‘cabai-cabaian’, belia yang menawarkan tubuhnya demi hedon semata.

Di kalangan jetset, menghablur deretan ‘telik sandi’ seperti one nitght standing, orgy, gangbang, swinger, striptis, pijat spa dan lainnya. Kehidupan samen laven yang saya lihat dengan mata telanjang pada teman kos saya dan juga ada gay yang ‘nikah resmi’ dengan bule Jerman. Dan masih banyak kisah-kisah yang menujah-nujah hati saya hingga saya tak mampu menuntaskan jawaban.

Yang penting sudah jadi buku, titik. Anything goes, biarlah berjalan seliarnya dan meremujung sejauh ujung. Sekarang, saya yang sudah ‘hijrah’ ini kalau mengingatnya seakan mumbul ‘getaran’ seismik yang cukup mengguncang hati saya. Ah, gara-gara ramai disertasi zina ini, saya ingin kembali bohemian lagi. Alamak!

Di buku itu, juga saya beberkan jungkir balik saya membaca banyak kitab kuning untuk ‘mengimbangi’ hasil bergulung-gulung fakta yang ‘mutasyabihat’ itu. Saya menyigi lembar demi lembar kitab kuning dengan sekuat pikir. Termasuk pemikiran Sahrur, saya cuplik tentang konsep ‘al-had al-adna’ dan al-had al-a’la’.

Aha, saya temukan fakta-fakta ‘abnormal’ zaman kekhalifahan hingga ragam pandangan ulama fikih. Dari Akbar S Ahmed, saya mendapati bongkaran fakta tentang harem-harem yang memenuhi topkapi pada kekhalifahan Turki Ustmani. Oh, begitulah perjalanan kekuasaan yang menampilkan semacam ‘pornokrasi’ yang kini sering dipuja dan hendak diwujudkan lagi. Atau bolehlah saya sebut, sejarah telah mengisahkan tentang ‘seks imperium’.

Jihadis Kelamin?

Mata saya tertumbuk pada tulisan pendek dari seorang ‘ikhwan’ kenalan saya, bernama Sufyan Tsauri, eks kombatan yang sudah malang melintang di belantara jihadis. Setelah menghirup udara kebebasannya, kini dia menekuni dunia menulis dan penerbitan buku-buku untuk melawan paham jihadis takfiri.

Gus Sufyan--begitu saya biasa menyapanya—dulu sebelum jadi polisi dan lalu hijrah ke jihadis adalah seorang santri yang pernah mondok di Lirboyo, Ploso, dan Tebuireng. Dia ‘tunggal guru’ dengan saya hanya tidak bebarengan waktu nyantrinya. Dalam catatannya tersebut, Gus Sufyan seakan mengingatkan kita untuk tidak perlu heran terkait heboh ‘milkul yamin’.

Ya, karena amaliyat yang begini ini sudah dilakukan oleh para takfiri sedari lama. Mereka selama ini menganggap wanita-wanita musuhnya atau di luar kelompoknya sebagai sabaya dan itu halal hukumnya, bahkan berasyik-masyuk dengan perempuan di Eropa dan Amerika juga halal hukumnya.

Gus Sufyan tidak abal-abal dalam beragumentasi. Dia mengutip kitab “Jawabussual jihad” yang ditulis oleh Syeikh Athiyullah. Mereka para takfiri ini sebagaimana disebutkan dalam kitab tersebut sebagian melakukan zina secara terang-terangan di Eropa dan di belahan bumi lainnya dengan alasan klaim-klaim batil lantaran anggapan bahwa perempuan-perempuan yang mereka pakai ‘kuda-kudaan’ itu statusnya perempuan hamba sahaya.

Dengan menyitir Dr Muzhir al-Waisy dalam kitab Alamatul Fariqoh Fi Kasyfi Din al-Mariqah, Gus Sufyan mengungkapkan bahwa pengambilan dalil takfiri Wahabi itu memang mirip kelompok Murjiah yang suka mempermudah (tasahul) dalam urusan hawa nafsu.

Gus Sufyan sendiri sudah mengulasnya dalam bukunya “Wanita Dalam Lingkaran Takfiri” yang membongkar fakta betapa ketika kaum takfiri ini menyerbu Najd dan Hijaz juga melakukan ‘perzinahan halal’ tersebut.

Tulisan Gus Sufyan ini yang paling ‘sexy’ bagi saya adalah soal fakta-fakta ‘penghalalan zina’ produk ‘istidlal’ kaum takfiri bahwa perempuan yang dizinahi itu sebagai budak. Kalau soal ‘tahdzir’ -nya bahwa itu merupakan perbuatan batil, ya jelaslah saya mengamini. Bisa-bisa ‘pecah ndasku’ kalau saya menyangkal itu. Cukuplah bagi saya bersikap tawaqquf alias mingkem saja

Sosok Abdul Azis yang menggeber disertasi itu, saya baca-baca dia berani mengangkat tema zina karena dibaluri oleh kegelisahan. Dia melihat seringnya terjadi kriminalisasi terhadap hubungan seksual non marital.

Melalui kajian akademis, dia mencoba tawarkan solusi. Dia tidak merumuskan pikirannya sendiri atau malah hendak berijtihad. Tentu itu jauh panggang dari api. Dia hanya pinjam pikiran Sahrur yang mengulas tuntas terhadap kegelisahan yang dipendamnya selama ini. Dan tema ‘milkul yamin’ menambatnya lantaran istilah perbudakan masih terdapat dalam ayat al-Quran. Inilah yang oleh Sahrur ditafsir ulang secara hermeutika untuk memahami dalam konteks kekinian.

Apa yang diungkap oleh Abdul Aziz ini menyodok kembali untuk bongkar-bongkar perjalanan seksualitas. Sejarah seksualitas telah mengabarkan berita seks yang kusut masai, gelap dan juga tak satu warna. Disitu ada kenikmatan, keliaran, kebrutalan, penafsiran dan juga kepedihan. Saya jadi teringat pepatah Arab klasik yang mengatakan al-istimta’ fi muqobalat al-nafaqoh (ada kesenangan ada uang atau al-nafaqot fi muqobalat al-istimta’ (ada uang ada kesenangan). Pepatah yang meluapkan ‘zetgeist’ masa lalu. Itulah peradaban yang juga melahirkan ‘jihadis kelamin’ yang pernah jaya dan dipuja-puji sakral tanpa cela.

Dan kini, lewat ISIS sejarah kelam itu menayang kembali. Kebrutalan yang membawaserta panji ‘jihad sex’ telah banyak mengorbankan anak manusia terlebih terhadap kaum perempuan. Paham ultrateror ini melintas tanpa batas. Dan di negeri kita ini, para Isiser dan juga jihadis lainnya tengah menyemai diri.

Ini sebuah pertempuran, dialektika wacana dan perebutan kuasa yang tak pernah berhenti. Wacana agama tampak tengah menghadapi gempuran hebat dari para pengikutnya sendiri. Satu belahan, mereka yang ingin mengembalikan ajaran agama pada yang ‘asli’, secara puritan dan bahkan ekstrem.

Belahan lain, mereka yang resah atas kejumudan pemikiran keislaman oleh karena konservativisme dan literalisme yang makin menguat. Trend ‘conservative turn’ terus menggeliat dan kian menampakkan kekuatannya.

Lahirnya peradaban modern yang menggelorakan semangat sapare aude, berani berpikir dan bertindak sendiri telah melahirkan idiologi ‘sadar tubuh’. Sebuah era yang sebelumnya sejak Plato hingga dalam paham agama-agama, tubuh telah dirasiskan sebagi ‘penjara bagi jiwa’.

Seiring zaman, tubuh tidak lagi dicela, tetapi lebih tegas—seperti dalam fenomenologi Marleau Ponty—tubuh menjadi subyek kesadaran manusia atas dunia kehidupannya. Dan kini, tubuh-tubuh berarak-arakan melalui karnaval ekspresi tubuh publik. Eksistensi manusia sebagai makhluk seksual menyadarkan bahwa seksualitas tidak mudah direpresi, ia akan bangkit terus menerus untuk mencari ruang-ruang yang hidup selekat keberadaan manusia.

Tak ayal, dunia seks adalah sektor riil yang terus menggelinjang dan memacak diri. Petuah agama dan moral seolah ibarat seekor elang di ketinggian pohon yang tengah menatap tajam mangsa, namun tak berdaya, karena mangsa itu bergerak lebih gesit dan cekatan.


Soffa Ihsan
Pengelola Rumah Daulat Buku (Rudalku)