Home Ekonomi Pertumbuhan Ekonomi Sulit Tembus 5%, Konsumsi Kuncinya

Pertumbuhan Ekonomi Sulit Tembus 5%, Konsumsi Kuncinya

Jakarta, Gatra.com - Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Muhammad Nawir Messi mengaku pertumbuhan ekonomi di atas lima persen sulit tercapai tercapai beberapa tahun mendatang.  Hal ini lantaran adanya ancaman resesi yang datang akibat melambatnya pertumbuhan ekonomi secara global, terutama Amerika Serikat, Cina, dan Eropa.

"Bank Dunia mengestimasi pertumbuhan [ekonomi] kita di bawah lima persen hingga 2022. Ini dalam keadaan normal, bukan krisis," tuturnya kepada Gatra.com, Senin (9/9). 

Nawir berpendapat konsumsi domestik adalah kunci untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi ketika terjadi resesi ekonomi. Dari krisis-krisis global sebelumnya seperti 2009, Indonesia bisa belajar bahwa kita kuat karena faktor yang dominan adalah konsumsi rumah tangga bukan ekspor. Negara-negara yang berorientasi ekspor dan investasi akan lebih terpukul oleh resesi karena melemahnya permintaan di pasar internasional.

Baca Juga: Perang Dagang Ganggu Reformasi Struktural Pemerintah

"Salah satunya adalah menguatkan permintaan rumah tangga untuk mendukung pertumbuhan ekonomi. Karena itu faktor jangka pendek yang bisa kita kelola adalah mengelola permintaan domestik," terangnya.

Karena itu dia mengkhawatirkan peningkatan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) akan menurunkan daya beli masyarakat, sehingga konsumsi domestik akan turun. Alih-alih meningkatkan iuran BPJS, dia meyarankan adanya program padat karya di pedesaan untuk menggenjot konsumsi rumah tangga.

Secara fiskal, pemutihan pajak (tax amnesty) belum tepat untuk dilakukan. Ia lebih menyarankan adanya keringanan pajak untuk menggenjot laju pertumbuhan ekonomi. "Ini bukan saatnya menaikkan bersaran pajak," ujarnya.

Baca Juga: Waspadai Modal Keluar Saat Resesi, FDI Jadi Solusi

Namun, Ia mengingatkan pemerintah harus mewaspadai adanya lonjakan arus modal keluar (capital outflow) dari dalam negeri, terutama dalam bentuk portofolio (surat berharga). Oleh karena itu, Ia menekankan pentingnya meningkatkan keyakinan para investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia.

"Kalau menarik duitnya, persoalan besar. Karena terjadi gejolak domestik. Hal itu akan berefek ke mana-kemana," tuturnya.

Perlambatan perekonomian global saat ini menyebabkan Indonesia kehilangan kesempatan untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi, setidaknya hingga empat tahun mendatang. Indonesia diperkirakan masih butuh waktu puluhan tahun lagi untuk masuk sepuluh besar ekonomi dunia.

"Potensi itu ada. Saya percaya misalnya kalau Pak Jokowi bekerja all out, reformasi mendalam, sehingga yang diinginkan betul-betul dikerjakan menteri dan kepala daerah di lapangan. Bukan tidak mungkin 15 tahun mendatang masuk berpendapatan tinggi," tukasnya.

 

153