Home Gaya Hidup Belajar Tradisi Jawa di Negeri Para Kyai

Belajar Tradisi Jawa di Negeri Para Kyai

Banyumas, Gatra.com - Desa Tambaknegara, Kecamatan Rawalo, Kabupaten Banyumas, sudah lama menyandang status "desa wisata" sejak 20 tahun silam. 
Keberadaan Pemandian Tirta Husada Kalibacin dan sejumlah peninggalan sejarah menjadi daya tarik utama. Objek wisata yang dikelola Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Banyumas ini sangat unik karena airnya berbau belerang.  
 
"Pemandian Kalibacin dulu bernama Tuk Sumingkir, sudah ada sejak masa penjajahan Belanda. Diresmikan oleh Raden Dipowinoto, Wedana Banyumas tahun 1892. [Setelah] ditanam pohon beringin, namanya sempat berubah menjadi Tambak Wringin Tirta Hoesada," kata Juru Pelihara Situs Kalibacin, Budi Somaputera (89), Jumat (27/9). 
 
Setiap akhir pekan, objek wisata ini selalu ramai pengunjung, terutama anak-anak. Di kanan-kiri terdapat penginapan untuk keluarga. 
 
Menurut Budi, di sekitar tempat itu, terdapat beberapa gua peninggalan tentara Jepang saat menghadapi serbuan Sekutu yang berupaya memasuki Purwokerto. Namun, bangunan tersebut belum dibuka untuk umum, hingga saat ini. 
 
Tidak hanya objek wisatanya, tradisi masyarakat desa ini juga cukup unik. Para penghayat kepercayaan Kasepuhan Adat Kalitanjung kerap menggelar upacara bernafaskan Budaya Jawa.  Mereka (kaum adat) juga mudah dikenali. Para lelaki mengenakan ikat kepala motif batik dan perempuan tua mengenakan jarit. 
 
"Mereka dipanggil Kyai untuk lelaki dan Nyai untuk kaum perempuan. Semuanya sudah berusia lanjut, karena itu mereka disebut kasepuhan," ujarnya. 
 
Menurut Budi, ragam ritual dan tradisi juga masih dilakoni oleh para sesepuh adat yang tergabung dalam Kasepuhan Adat Kalitanjung. Komunitas ini beranggotakan warga setempat yang usianya rata-rata 76 tahun, paling muda 65 tahun, dan tertua 120 tahun. 
 
Sedekah bumi, merupakan salah satu upacara wajib yang digelar setiap tahun baru Jawa. Tradisi ini ternyata sudah dilakukan secara turun temurun oleh para Kyai dan Nyai. 
 
Konon, sambung dia, budaya yang diwariskan oleh masyarakat Kasepuhan Adat bersumber dari Kadipaten Bonjok, wilayah kekuasaan Kadipaten Pasirluhur di bawah Kerajaan Mataram. Kerajaan kecil itu berpusat di Desa Tambaknegara. 
 
"Dari penuturan tetua, ada beberapa adipati yang pernah memimpin Kadipaten Bonjok. Mulai Wiranegara, Suranegara, Mertanegara, Mertagati, dan Sabdogati. Adat istiadat dan tradisi yang dipegang para anggota kasepuhan itu tidak lepas dari pengaruh para adipati," ujarnya. 
 
Ketua Adat Kasepuhan Kalitanjung, Muharto menuturkan, rangkaian upacara sedekah bumi bulan Sura ini sudah dimulai sejak sehari sebelumnya. Warga setempat mulai membersihkan rumah, jalan desa, makam dan memasang sejumlah ornamen dari janur di perempatan jalan dusun. Setelah selesai, warga berkumpul di salah satu rumah, untuk menikmati sajian pentas wayang semalam suntuk.
 
"Gotong royong dan keguyuban warga ini yang unik. Semuanya, tua muda ikut membantu menyiapkan acara. Ini menjadi daya tarik wisata budaya," katanya. 
 
Prosesi peringatan datangnya bulan pertama tahun Jawa ini dimulai dengan tradisi selamatan dan kidungan di pendopo setempat, bersih desa dan wayang ruwatan. Sementara tradisi sedekah bumi digelar Jumat (27/9) pagi. Puluhan tumpeng dan nasi penggel serta takir yang dibawa warga dengan menggunakan tenong.
 
Setelah doa bersama, tetua Kasepuhan memulai tradisi menanam kepala kambing beserta bunga dan bahan makanan seperti beras, sayur mayur, hingga lauk di salah satu sudut perempatan,
 
"Sedekah bumi ini adalah bahan makanan yang ditanam di tanah, itu tujuannya bukan mistis. Tetapi menjadi simbol harapan. Agar kelak, tanah desa dapat menyediakan makanan yang mencukupi kebutuhan warga Kalitanjung. Jadi memang tidak hanya sekadar perayaan. Ada banyak simbol dan filosofinya yang mengingatkan manusia sebagai manusia seutuhnya," ucap Muharto.
3078