Home Gaya Hidup Jelajah Kota Tambang, Dari Kota Mati Jadi Warisan UNESCO

Jelajah Kota Tambang, Dari Kota Mati Jadi Warisan UNESCO

Padang, Gatra.com - Siang itu Sudarsono, Petugas Rescue dan Pemandu Wisata Lubang Tambang Mbah Soero tampak sibuk mengarahkan pengunjung untuk memakai peralatan pelindung kepala dan sepatu bot saat memasuki Lubang Tambang Mbah Soero. 
 
Terlihat beberapa di antara pengunjung datang berombongan empat sampai lima orang, ada juga yang datang dua hingga tiga orang. Sudarsono tidak memboyong pengunjung sekaligus menyusuri terowongan bawah tanah bekas orang rantai itu karena alasan keselamatan.
 
Pada salah satu rombongan wisata, Gatra ikut menyusuri terowongan bawah tanah serta mendengar cerita tentang sejarah lubang tambang batu bara pertama di Sawahlunto itu. Dalam ceritanya, nama lubang tambang diambil dari tokoh asal Jawa yang menjadi pemimpin para pekerja atau disebut dengan orang rantai. Julukan 'orang rantai' diberikan lantaran pekerja paksa tambang beraktivitas dalam kondisi kaki dan tangan terikat rantai. 
 
Lubang ini dibangun sekitar tahun 1898 untuk kegiatan penambangan batu bara sepanjang 185 meter oleh Kolonial Belanda. Kemudian ditutup pada tahun 1932, karena rembesan air mengenangi terowongan.
 
Terowongan bawah tanah ini menjadi saksi sejarah penderitaan orang-orang rantai dalam membuat terowongan untuk pertambangan batu bara. 
 
Pada tahun 2007, pemerintah Kota Sawahlunto kembali membuka Tambang Mbah Soero untuk wisata sejarah dengan merevitalisasi di beberapa titik. Namun tidak mengubah bentuk aslinya.
 
Untuk keperluan wisata, pengunjung hanya bisa menyusuri puluhan meter saja, di beberapa bilik masih tertutup. Pada bagian dinding dan atap terowongan masih ada tetes-tetes air, itu sebabnya pengunjung diwajibkan mengenakan sepatu but dan helm. 
 
Sebelum memasuki anak tangga, pengunjung akan menjumpai replika dua pekerja mendorong lori (kereta kecil) berisikan batu bara yang diawasi seorang mandor Belanda. Pengunjung tidak akan masuk dan keluar di tempat yang sama, karena di dalam terowongan ada beberapa pintu dan bilik yang menembus ke lokasi lain. Lokasi keluar lubang tambang hanya berada di seberang museum. 
 
Berdasarkan informasi Balai Pelestarian Cagar Budaya, mulut lubang berupa bangunan bata dan coran beton setinggi 2 meter, lebar mulut terowongan 2 m, ketebalan dinding 40 cm. Luar mulut terowongan terdapat tangga beton dua tingkat dan arah ke dalam berupa tangga hingga ke persimpangan sepanjang 29 m dengan kemiringan antara 45° – 47° dan, lebar 2,2 m dan tinggi 2,75.
Pengunjung saat berada di Museum Kereta Api Sawahlunto untuk melihat jejak sejarah tambang batu bara di kota itu. (GATRA/Nella Marni/ar)

Semenjak ditetapkannya pertambangan Batubara Ombilin Sawahlunto atau 'Ombilin Coal Mining Heritage of Sawahlunto' menjadi Warisan Dunia kategori budaya oleh United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) di Azerbaijan pada 9 Juli 2019, nama Kota Sawahlunto langsung melesat hingga mancanegara, pengunjung selalu ramai memuaskan rasa penasarannya untuk melihat Sawahlunto. Bagaimana tidak, kota ini berhasil disulap dari kota mati bekas pertambangan menjadi kota wisata sejarah.

 
Nuansa Kolonial Belanda di kota ini begitu terasa, terlihat dari arsitektur bangunan-bangunan tua peninggalan Belanda yang awet hingga kini. Bangunan-bangunan tersebut ditetapkan sebagai cagar budaya, sehingga menarik banyak wisatawan datang untuk bernostalgia. Tidak hanya Lubang Tambang Mbah Soero,, Sawahlunto juga memiliki Museum Goedang Ransoem. 
 
Museum Goedang Ransoem pada zaman pemerintahan Kolonial Belanda digunakan sebagai dapur umum untuk memasak pekerja tambang yang jumlahnya mencapai ribuan orang. Lantaran pekerja tambang begitu banyak, alat-alat digunakan di bekas dapur umum ini pun hampir semuanya berukuran besar. Tungku untuk memasak setinggi 4 meter buatan Jerman, sejumlah periuk dengan tinggi 62 cm dan garis tengah 132 cm, kuali, dan aneka peralatan dapur lainnya yang juga berukuran sangat besar. Setidaknya, di dapur ini bisa memasak lebih dari 65 pikul atau setara dengan 3.900 kg nasi setiap harinya untuk 6.000 pekerja tambang.
 
Jika ingin melihat secara langsung kota Sawahlunto di masa lalu, Anda bisa menyaksikan foto-foto lama yang tersimpan di bangunan utama museum Goedang Ransoem. Di sini terdapat sekitar 250 lembar foto lama kehidupan masyarakat di sekitar pertambangan batubara, termasuk suasana pertambangan dengan orang-orang rantai yang bekerja keras menambang batubara.
 
Berbicara pertambangan batu bara Sawahlunto, tentu tidak lengkap rasanya jika tidak membahas dan mengunjungi Museum Kereta Api. Di Museum ini terdapat kereta api ''Mak Itam'', sebuah lokomotif uap buatan Jerman yang digunakan sampai tahun 1963. Museum ini adalah satu-satunya museum kereta di Sumatera Barat, dan kedua di Indonesia setelah Museum di Ambarawa. 
 
Moda transportasi ini dibangun oleh pemerintah Hindia Belanda untuk mengangkut batu bara. Rute yang dilintasi kereta batu bara ini adalah Sawahlunto, Muara Kalaban, Solok, Batu Tabal, Padang Panjang, Kayu Tanam, dan Teluk Bayur (Padang).
 
Tidak hanya tiga itu saja, masih banyak bangunan berarsitektur khas Belanda yang dilestarikan keberadaannya membuat warisan kolonial Belanda terasa kental di kota ini. Tak mengherankan ada yang menjuluki Sawahlunto sebagai Belanda Kecil. Untuk memperkuat objek wisata kota tua, Pemerintah Kota Sawahlunto mempertahankan konsep homestay sebagai tempat penginapan turis.
678