Home Ekonomi Pemerintah Dorong Agen Bank Dukung Inklusi Keuangan

Pemerintah Dorong Agen Bank Dukung Inklusi Keuangan

Jakarta, Gatra.com - Pemerintah melalui Dewan Nasional Keuangan Inklusif (DNKI) terus mendorong peran agen bank untuk meningkatkan inklusi keuangan di Indonesia. Pasalnya, agen bank merupakan salah satu instrumen penting dalam pemerataan akses masyarakat terhadap layanan keuangan formal.

Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Iskandar Simorangkir mengatakan, sejak program "Layanan Keuangan Tanpa Kantor dalam Rangka Keuangan Inklusif", atau biasa disebut "Laku Pandai" diluncurkan tahun 2015, jumlah agen bank naik pesat dalam satu tahun pertama, dari sekitar 60.000 agen bank menjadi hampir 1 juta agen bank.

Data pun mencatat, sebanyak 55,3% orang dewasa di Indonesia telah memiliki akun di lembaga keuangan formal dan 70,3% dari seluruh penduduk dewasa telah terlayani oleh lembaga keuangan formal.

“Meski begitu, pemerataan akses terhadap layanan keuangan formal harus terus berlanjut agar kesejahteraan masyarakat dapat benar-benar terwujud,” ujar Iskandar kepada Gatra.com, Selasa (19/10).

Mayoritas agen bank di Indonesia, terutama agen "Laku Pandai" melayani CICO alias isi saldo dan tarik tunai. Dengan adanya layanan ini, masyarakat dapat langsung menyimpan penghasilan dengan aman, serta menarik sebagian dari tabungan kapan pun dibutuhkan.

"Kami di DNKI mendorong peran agen bank yang lebih agresif melayani masyarakat karena agen menekan biaya layanan bagi para nasabah. Selain memudahkan masyarakat mengakses layanan keuangan formal, masyarakat harus bisa mengakses layanan dan produk keuangan formal yang mudah, nyaman dan terjangkau," tuturnya.

Menurut Iskandar, sudah seharusnya agen mendapatkan perhatian lebih dari lintassektor karena mereka memperluas jangkauan kantor cabang bank. Khususnya kepada masyarakat unbanked di daerah pedesaan dan perbatasan.

Sejauh ini, agen bank adalah salah satu kanal utama selain kantor cabang bank untuk mengakses layanan keuangan formal. Dari hasil survei nasional mengenai inklusi keuangan tahun 2018, ditemukan 58,6% dari populasi penduduk dewasa di Indonesia mengetahui lokasi agen bank. Menurut mereka, agen bank memudahkannya untuk membuka rekening Basic Saving Account (BSA) dan deposit atau penarikan dalam enam bulan terakhir.

“Petani sawit di Sumatera, misalnya, dapat menabung untuk pendidikan anaknya lewat agen terdekat dari tempat tinggalnya. Dia juga bisa tarik tunai dari para anggota keluarganya yang bekerja di Jakarta dari agen tersebut,” ucapnya.

Kemudian, berdasarkan hasil Survei Nasional Inklusi Keuangan tahun 2018, kesadaran agen perbankan meningkat drastis setelah 2016, terutama di wilayah pedesaan. Sebanyak 63,1% penduduk dewasa di pedesaan mengetahui lokasi agen bank, sementara hanya 55% penduduk kota yang mendapatkan informasi tersebut. Artinya, 44,3% penduduk desa belum mengetahui keberadaan agen bank.

BCG dan Microsave Indonesia juga menemukan volume transaksi median di agen bank per harinya hanya sekitar empat transaksi, berbanding jauh dari beberapa negara lainnya yang mencapai lebih dari 35 transaksi per hari.

“Jika volume transaksi di agen rendah, bukan tidak mungkin jika ke depannya semakin banyak agen yang tidak mengelola layanannya dengan sepenuh hati, bahkan menutupnya. Jika kondisi ini dibiarkan, keuangan inklusif tak akan menjadi sebuah keniscayaan,” ujarnya.

Untuk itu, penetrasi perusahaan teknologi finansial (tekfin) khususnya agen teknologi dan fintech (tekfin) perlu dimanfaatkan untuk lebih memeratakan akses masyarakat terhadap layanan keuangan. Saat ini, ada lima juta agen tekfin di Indonesia yang dapat diberdayakan untuk menjangkau kelompok masyarakat yang selama ini belum terhubung dengan layanan keuangan formal, seperti wanita, petani, dan masyarakat berpenghasilan rendah.

Lebih lanjut, Iskandar yang juga menjabat Ketua Sekretariat DNKI, menegaskan bahwa para pengampu kebijakan dan pelaku industri perlu memberi ruang bagi inovasi. Namun di saat yang bersamaan selalu mengantisipasi berbagai risiko yang ada.

“Manajemen risiko perlu tetap dijaga, agar keberlangsungan usaha juga dapat berjalan sustainable”, tuturnya.

 

132