Home Kebencanaan KNTI: Kebijakan Tata Ruang Laut Tak Selesaikan Masalah

KNTI: Kebijakan Tata Ruang Laut Tak Selesaikan Masalah

Jakarta, Gatra.com - Ketua Harian DPP Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), Marthin Hadiwinata, menjelaskan bahwa kebijakan tata ruang laut justru tidak menyelesaikan masalah. Menurutnya, ada beberapa konflik yang muncul terkait kebijakan tata ruang laut, salah satunya soal pencemaran perairan di Kalimantan Utara akibat aktivitas loading (pemuatan) batu bara yang merugikan nelayan tradisional sekitar.

"Masalah yang hari ini menjadi ancaman besar kita adalah energi batu bara. Tata ruang laut tidak menyelesaikan pencemaran-pencemaran di perairan salah satunya adalah akibat dari transportasi batu bara di Kalimantan Utara," ucapnya dalam acara media briefing bertajuk "Poros Maritim: Riwayatmu Kini" di Jakarta Pusat, Rabu (20/11).

Lalu lalang kapal tongkang pengangkut batu bara, lanjut dia, membuat perairan menjadi tercemar. Hal ini dikarenakan batu bara yang diangkut oleh kapal tongkang tersebut jatuh ke laut.

Ketua KNTI Kalimantan Utara, Rustan, menjelaskan bahwa kehidupan nelayan tradisional khususnya di Tarakan, Kalimantan Utara sejak adanya aktivitas loading batu bara itu membuat mereka mengalami penurunan penghasilan, terbatasnya lokasi penangkapan ikan, dan bahkan terancam nyawanya.

"Nyawa kita terancam juga sih sebenarnya karena lalu lalang kapal tongkang itu di tempat kita mencari nafkah dan itu terbukti sudah terjadi benturan antara kita dengan kapal-kapal besar itu," ungkapnya.

Sejak adanya loading batu bara, lanjut Rustan, para nelayan mengalami goncangan kejiwaan. Hal ini terkait berkurangnya penghasilan serta ikan hasil tangkapan akibat dari penambatan jangkar kapal tongkang yang membuat ikan lari ke habitat lain sehingga lokasi yang tadinya potensial bagi nelayan untuk menangkap ikan, kini jadi minim. "Yang jelas [hasil tangkapan] sekitar 30 sampai 40% itu menurun."

Menurut catatannya, kini juga terjadi pengurangan jumlah nelayan. Dari 7.000 sekarang 3.000 nelayan tradisional yang aktif. "Catatan kami di kota Tarakan itu ada tiga ribuan yang aktif lumayan banyak. Ada [juga] yang beralih profesi jadi tukang ojek atau budidaya rumput laut," ungkapnya.

Sebelumnya, Marthin menjelaskan bahwa tata ruang laut tidak memastikan ruang penghidupan bagi nelayan. "Ruang penghidupan nelayan ini secara normatif diakui di dalam Undang-Undang (UU) No. 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan. Nah, dalam ruang tersebut, wilayah tangkap nelayan tradisional, ruang penambatan perahu, tempat tinggal nelayan itu tidak ada sama sekali."

Reporter: ARH

457