Home Ekonomi Itikad Ritno Menyulap Sungai dan Nyarai di Kaki Rimba

Itikad Ritno Menyulap Sungai dan Nyarai di Kaki Rimba

Padang, Gatra.com - Mentari kian menyinsing. Dari ujung rambut peluh mulai jatuh ke dahi, dan turun membasahi puluhan pasang kelopak mata dalam truk tua bercat kuning. Sebagian lantai truk itu sudah ada yang berlubang. Tapi tenaganya masih kuat mendaki, menuruni bukit, dan menyusuri jalan bebatuan.

Selama perjalanan, puluhan pasang mata itu menikmati alam yang menakjubkan. Sawah dan ladang yang membentang, dan kiri-kanan pepohonan rindang. Tak sabar rasanya ingin cepat-cepat merasakan sejuknya air Sungai Batang Anai. Apalagi, merasakan petualangan menantang Arung Jeram (rafting), yang dikelola Lubuk Alung (LA) Adventure.

Setelah 30 menit, akhirnya truk tua itu berhenti di lokasi Lubuk Alung (LA) Rafting kawasan Lubuk Alung, Padang Pariaman, Sumatra Barat. Persis di tepian Sungai Batang Anai, sudah bersandar 11 perahu, peralatan rafting, dan belasan senyum pemandu yang menunggu. Hawa segar mulai hinggap ketika kaki dicelupkan ke bibir sungai. Airnya sungguh jernih.

"Sebelum mulai, kawan-kawan jangan lupa berdoa. Nanti ikuti arahan pemandu, keselamatan adalah yang utama," kata Ritno Kurniawan, pelopor wisata LA Rafting itu mengingatkan peserta dari protokol se-Sumbar dan awak media, Jumat (6/12) lalu. 

Sebelum pertualangan dimulai, pria berusia 33 tahun itu memberikan pengarahan penuh telaten. Tujuannya tidak lain demi keselamatan, dan agar peserta bisa menikmati pertualangan Arung Jeram yang tak terlupakan. Masing-masing peserta regu dibekali dengan rompi pelampung, dan didampingi langsung satu orang pemandu.

Petualangan dimulai. Sebanyak 11 perahu rafting menyusuri arus. Satu perahu berisikan lima orang. Meskipun arus sungainya cukup deras, petulangan sangat seru. Tidak ada sedikit pun ketakutan di raut wajah peserta, sebab pemandu sudah berlisensi dan teruji. Apalagi LA Rafting ini sudah tergabung dalam Asosiasi Experiential Learning Indonesia (AELI) sejak 2016 lalu.

Pelopor ekowisata Air Terjun Nyarai dan LA Rafting, Ritno Kurniawan saat ditemui di kawasan Sungai Batang Anai, Padang Pariaman. (GATRA/Wahyu Saputra/far)

Sepanjang 8 kilometer, mata tidak bisa berkedip melihat eksotisnya alam. Hutan-hutan tampak menghijau, ladang penduduk tumbuh subur memukau. Lika-liku arus sungai menakjubkan. Suasana sejuk, dengan gemiricing air yang jernih mewarnai keceriaan. Sesekali nyanyian burung juga menambah kedamaian hati di kala siang itu.

"Ini pertama kali ikut Arung Jeram. Pengalaman seru, tak terlupakan. Sungainya sangat jernih, pemandangan alamnya bikin takjub. Apalagi kiri-kanan banyak hutan," kata Mutiara Ramadhani dan Sally Della Putri, peserta dari media dengan kompak.

Perahu mereka terus melaju dan berpaju mengikuti arus sungai. Peserta rafting lainnya ada yang tercebur ke dalam sungai, tapi tetap penuh tawa. Namun di sisi lain, anak-anak kecil mandi dengan riangnya. Ada pula yang mencari ikan dengan senapan tradisional. Pada satu sudut tepian, beberapa lelaki paruh baya dengan sabar menunggu umpan pancingnya ditelan ikan.

Padahal kata Ritno, lima tahun silam laki-laki daerah setempat pekerjaannya mengambil pasir dan batu dengan mengeruk sungai. Sebagian lagi menebang pohon dan kayu dijual. Akibatnya, tidak jarang kawasan ladang-ladang masyarakat yang ada dilanda galodo, atau terjadi abrasi dikala hujan tiba. Ujungnya, tetap masyarakat setempat yang merugi.

Kini, sejak LA Rafting hadir, Sungai Batang Anai beralih fungsi dan kian memikat. Ratusan wisatawan datang menikmati Arung Jeram setiap bulannya. Pundi-pundi rupiah mulai mengalir. Sudah barang tentu, berdampak pada ekonomi masyarakat setempat. Pengeruk pasir juga mulai beralih jadi pedagang dan pemandu wisata.

Selain dari wilayah Sumbar, pengunjung banyak dari Pekanbaru. Rata-rata rombongan dari instansi, kelompok, perusahaan, komunitas, BUMN, dan lainnya, sebut Ritno.

Merintis Ekowisata 

Sejak lulus Jurusan Pertanian Universitas Gadjah Mada (UGM) 2011, Ritno tidak pernah melamar kerja. Berbekal pengalamannya ketika tinggal di Yogyakarta selama kuliah, pria kelahiran 3 Mei 1986 bertekad mengubah kampungnya sebagai tujuan wisata. Jauh dari itu, ia berniat membangun ekowisata di daerahnya.

Tak mudah bagi Ritno mewujudkan mimpinya. Terutama untuk mengubah perilaku dan pola pikir masyarakat setempat, yang mayoritas SDM-nya masih berpendidikan rendah. Apalagi usaha Ritno bertentangan dengan mata pencaharian masyarakat, yang bergantung pada pasir, batu, dan kayu. Beragam penolakan menghadang, bahkan nyawa dipertaruhkan.

Penentangan itu bukan hanya datang dari orang lain, tapi juga datang dari orang tuanya sendiri. Betapa tidak, hati seorang ibu ingin melihat Ritno mencari kerja yang layak. Misalnya kerja di instansi, perusahaan, atau ikut tes CPNS. Sebagai seorang sarjana harus memakai dasi, berbaju rapi, dan kalau bisa yang bergaji tinggi. Setidaknya, tidak direndahkan orang di kampung.

"Mulanya upaya saya ditentang ibu, sebab sudah jauh-jauh kuliah di Pulau Jawa, tapi pulang kampung kerjanya malah mengurusi hutan dan sungai. Namun saya minta izin baik-baik, untuk diberikan kesempatan. Akhirnya hati ibu luluh," tutur ayah dua anak itu.

Atas izin ibunya, Ritno semakin nekat masuk hutan ke luar hutan, dan menyisiri kawasan hingga ke hulu sungai. Ia melihat banyak potensi yang bisa dimanfaatkan, hanya saja bertahun-tahun dibiarkan terbengkalai. Hutan-hutan dibabat, sungai-sungai dikeruk, sehingga merusak lingkungan yang ada. Prihatin dengan itu, Ritno mencari jalannya sendiri.

Peserta Arung Jeram menikmati segarnya air Sungai Batang Anai. (GATRA/Wahyu Saputra/far)

Ritno mulai melakukan sosialisasi berbasis kearifan lokal ke masyarakat. Mendekati Wali Nagari, sesepuh, tetua adat, ninik-mamak, pemerintah, pemuda, dan masyarakat setempat. Selaku orang terdidik, sepatutnya ia lakukan itu. Apalagi di kampung, adat, budi baik, dan sopan-santun masih dipegang erat. Ia tidak ingin, sikap lancangnya menentang pekerjaan masyarakat semakin ditolak.

Ritno mulai perlahan-lahan menyerukan kepada masyarakat untuk menjaga lingkungan, tidak merambah hutan atau mengeruk sungai. Ia menawarkan solusi, agar semua elemen masyarakat bersama-sama memanfaatkan alam menjadi objek wisata. Tujuannya agar ekosistem hutan kembali normal, dan bisa dimanfaatkan untuk anak-cucu dalam masa yang lebih lama. 

Edukasi yang dilakukan tidak serta-merta diterima. Tak jarang cemoohan yang ia dapatkan. Namun tekadnya tidak luntur begitu saja. Bagi Ritno, kata tidak mungkin dari orang lain justru menunjukkan peluang. Dalam artian, bakal sedikit saingan untuk mewujudkan mimpinya membangun sektor wisata di kampung halamannya itu.

"Pengalaman selama di Yogyakarta, objek wisatanya biasa saja. Tapi karena konsepnya bagus, makanya banyak pengunjung. Saya melihat di Sumbar potensi tidak kalah bagus. Apalagi masyarakat bilang tidak mungkin bisa, itu artinya peluangnya besar. Makanya tidak berhenti mewujudkannya," terang Ritno.

Salah satu wisata yang ditawarkan Ritno, yakni Arung Jeram (rafting). Lokasinya tidak jauh dari jalan raya, hanya sekitar dua jam perjalanan dengan kendaraan. Tujuannya, selain memanfaatkan potensi Sungai Batang Anai yang menjanjikan, juga mencegah adanya pengerukan pasir atau pengambilan batu yang merusak permukaan sungai.

Bukan hanya rafting. Sebelumnya, Ritno berhasil mengembangkan objek wisata Air Terjun Nyarai bersama kelompok sadar wisata (Pokdarwis) LA Adventure. Konsepnya sama, yakni ramah lingkungan berlaku baik pada alam. Sekaligus, mengembangkan beragam potensi alam yanga ada sebagai objek wisata, tanpa harus merusak lingkungan. 

Seiring banyaknya pengunjung, pengeruk pasir di sungai "menghilang", dan perambah hutan akhirnya juga pelan-pelan berkurang, yang akhirnya ikut menjaga kelestarian alam. Kendati begitu, pendekatan dengan berbagai elemen masyarakat dan instansi terus Ritno dilakukan. Bermacam paket wisata mulai dilakoninya, sehingga wisata tracking ke Air Terjun Nyarai, outbond, hingga rafting mulai menampakkan hasil.

"Semua yang dulu menentang, kini berkawan. Kami bersama-sama melejitkan sektor wisata. Dulu pengeruk sungai, kini jadi pemandu rafting. Dulu perambah hutan, kini pemandu wisata Nyarai," ungkap Ritno bangga.

Menabur Virus Pemberdayaan

Kendati hidup masih pas-pasan, tapi niat baik Ritno sudah bulat menjadikan kampungnya sebagai tujuan wisata. Caranya, ia tempuh dengan mendatangi berbagai instansi pemerintahan. Mulai Dinas Kehutanan, Dinas Lingkungan Hidup, hingga Dinas Pariwisata Padang Pariaman, yang tujuannya mencari dukungan.

Berbekal dengan keberanian dan peduli lingkungan, Ritno mendapat sokongan. Akhirnya, banyak pihak termasuk kaum milenial yang sepaham ikut bergabung. Anggota kian hari, semakin bertambah dan personelnya semakin kuat. Masyarakat, terutama pemuda desa dirangkul untuk menjadi bagian pemandu wisata. Semuanya terkonsep dengan rapi.

Penuturan Ritno, sejak awal konsep wisata dirancang dengan sistem bagi hasil. Semua pihak mendapat bagiannya masing-masing. Mulai dari hak pemilik tanah, untuk nagari (desa), posyandu, pengurus dan pemandu. Dengan sistem bagi hasil ini, semuanya merasa adil. Agar banyak pemasukan dari pengunjung, masyarakat terus mempromosikan objek wisata yang menjanjikan itu.

Terkait LA Rafting, kata Ritno sudah dirancang sejak 2013 bersama Pokdarwis LA Adventure. Berawal dari dua perahu pada tahun 2016, wisata menantang adrenalin ini mulai terealisasi. Kemudian, tahun 2017 LA Rafting mendapat bantuan tambahan perahu, hingga kini pihaknya sudah memiliki 11 perahu, dan 30 orang pemandu yang siap membawa wisatawan bertualang.

Sejak adanya Arung Jeram, sektor wisata di daerahnya semakin menggeliat. Apalagi, 17 di antara pemandu yang tergabung dalam LA Adventure sudah mengantongi sertifikat berlisensi. Tak heran, setiap hari Sungai Batang Anai itu tidak pernah sepi wisatawan. Jumlah pengunjung datang untuk rafting pun bertambah, mulai dari 100 hingga mencapai 500 orang setiap bulannya.

Kata Ritno, untuk menikmati Arung Jeram ini, pengunjung bisa memilih sesuai paket yang ditawarkan. Setidaknya ada tiga paket LA Rafting, yakni jarak pendek 4,8 kilometer, dikenai Rp150/orang. Jarak menengah 8 kilometer dipatok biaya Rp250/orang. Sementara untuk jarak panjang 14 kilometer, dikenai biaya Rp350/orang. Setiap paket menyediakan fasilitas yang bervariasi, dan semuanya dibekali jaminan asuransi.

Misalnya, untuk paket jarak menengah, peserta diberikan nasi kotak, kelapa muda, paket foto-foto. "Kalau mau makan bajamba juga bisa disediakan. Semua layanan itu kita bekerjasama dengan masyarakat. Termasuk pemandu juga kita rekrut dari pemuda setempat," ungkap Ritno.

Dikatakan Ritno, selain Arung Jeram, pengunjung juga bisa menikmati destinasi wisata Air Terjun Nyarai. Namun dengan syarat, wajib membawa satu bibit pohon produktif untuk ditanam di kawasan Nyarai. Bibitnya sudah disediakan pihak setempat, dan pengunjung hanya membeli dengan harga Rp10.000/ batang. Setelah ditanam, pohon itu tetap atas nama dan menjadi milik pengunjung hingga berbuah nantinya.

Tak perlu khawatir untuk bisa sampai di Air Terjun Nyarai, sebab pihaknya dari Pokdarwis LA Adventure sudah memiliki 168 orang pemandu. Sebanyak 55 orang telah berlisensi dari Asosiasi Pemandu Gunung Indonesia (APGI). Bahkan, 10 di antaranya mengantongi sertifikat internasional untuk extreme adventure dari National Geographic.

Diceritakan Ritno, banyak objek wisata yang ditawarkan kepada pengunjung. Bukan itu saja, pengunjung juga menikmati sensasi tracking, camping, hingga outbond. Hampir 80 persen pemandu LA Adventure itu dari masyarakat setempat yang dulu perambah hutan. Menurutnya, merangkul perambah itu cara efektif menghentikan pembalakan liar.

Sejak Air Terjun Nyarai banyak pengunjung, mindset masyarakat berubah. Mereka tidak lagi merambah hutan. Tapi mulai berdagang. Ada yang buka warung nasi, menjual souvenir, hingga batu akik, ngojek, bahkan menjadi pemandu wisata, jelas Ritno.

Itikad Baik Berbuah Penghargaan

Ibarat kata pepatah, proses tidak akan pernah mengkhianati hasil, mungkin itu sangat cocok menggambarkan perjuangan Ritno. Betapa tidak, dari kampung kecil ia bisa mengubah mindset dengan ide cemerlang. Melalui sektor wisata berbasis lingkungan dan pemberdayaan, eko ekonomi masyarakat jauh lebih meningkat. 

Dulu, daerah kecil bernama Nagari Lubuk Alung itu masuk dalam daftar Inpres Desa Tertinggal (IDT). Kini, seiring meningkatnya pendapatan masyarakat, daerah itu dimekarkan menjadi Nagari Salibutan Lubuk Alung, yang kemudian bisa keluar dari status IDT. Hal itu tidak lain, juga bagian keterlibatan nyata Ritno meningkatan taraf hidup masyarakat, dengan memanfaatkan potensi wisata.

Terbukti objek wisata yang dirintisnya semakin dilirik pemerintah. Tahun 2014, pihaknya diganjar penghargaan dari Kementerian Pariwisata RI, kemudian tahun 2016 Pokdarwis LA Adventure juga berhasil meraih juara 1 Asosiasi Outdoor Eropa (EOCA). Tahun 2017, Ritno sendiri juga dinobatkan pemenang kategori lingkungan Semangat Astra Terpadu Untuk (SATU) Indonesia Award.

Penghargaan bergengsi SATU Indonesia Award, digelar PT Astra Internasional Tbk setiap tahunnya. Tujuannya, untuk menjaring generasi muda Indonesia di berbagai bidang, seperti kesehatan, lingkungan, pendidikan, kewirausahaan, dan teknologi. Ritno, salah seorang yang memang sudah sepatutnya menyandang gelar tersebut, atas dedikasinya menjaga lingkungan.

Jika dilihat prosesnya, perjuangan Ritno tidaklah mudah. Dengan niat dan itikad baik, usahanya mengembangkan ekowisata berbasis lingkungan berhasil. Kelestarian alam makin terjaga. Mulai dari destinasi wisata Air Terjun Nyarai di kawasan hutan lindung seluas 1.800 hektar, hingga menjaga ekosistem Sungai Batang Anai dengan wisata berkonsep rafting yang banyak peminat wisatawan.

Peserta Arung Jeram menikmati senja di Sungai Batang Arau. (GATRA/Wahyu Saputra/far)

Kendati meraih SATU Indonesia Award, Ritno belum merasa puas. Ia terus menginspirasi dan memotivasi generai muda atau penggiat wisata di Sumbar. Bersama Astra, Ritno merangkul masyarakat dalam #KitaSATUIndonesia #IndonesiaBerbicaraBaik dengan beragam program. Salah satunya dengan menggelar pelatihan di Kampung Berseri Astra (KBA) Nyarai yang diemban kepadanya.

Keberhasilan Ritno memanfaatkan potensi alam sebagai destinasi wisata patut diacungi jempol. Berkat kerja keras dan kerja ikhlasnya, ribuan hektar hutan lindung itu sudah berstatus Hutan Nagari oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) RI. Kini, sudah tak terdengar mesin sinso menebang hutan. Bahkan daerah yang dulu penebangan, dilakukan penghijauan.

Ritno, lulusan Pertanian UGM itu memang pulang kampung untuk "mambangkik batang tarandam". Ia mampu mengalihfungsikan isu perusakan lingkungan menjadi lebih berdaya. Ekosistem Sungai Batang Anai dari bagian hulu hingga hilir mulai terjaga. Tak ada lagi pengerukan, dan batu-batu dibongkar paksa. Kendati pun ada, tak sebanyak dulu. Semuanya sudah tertuju membangun ekowisata.

Konsep yang diusungkan Ritno ini, patut ditiru penggiat wisata di seluruh Tanah Air. Terutama, bagi generasi muda yang harus ikut turun tangan menjaga dan beriktikat baik pada alam. Apalagi daerah dengan potensi wisata yang menjanjikan, harus di-eksplor dengan konsep ekowisata, demi keberlangsungan semesta tetap terjaga. Melindungi alam, alam pasti menjaga kita. Pasti!

980