Home Olahraga Mencari Talenta Muda Atletik

Mencari Talenta Muda Atletik

Perhelatan Popnas 2019 memberikan banyak catatan prestasi atlet muda cabang atletik. Keseriusan pengelolaan serta pemberian bonus prestasi menjadi instrumen penunjang bagi mereka.


Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa, punya agenda khusus yang tak mau dilewatkannya saat ke Jakarta pada Kamis pekan lalu. Hari itu, ia memang berkunjung ke Ibu Kota, bukan hanya untuk urusan dinas. Ia juga ingin menonton pertandingan olahraga yang sedang diikuti para atlet asal Jawa Timur di Pekan Olahraga Pelajar Nasional (Popnas) 2019 yang digelar 18–22 November.

Kehadiran Khofifah sebagai pemompa semangat bagi kontingen Jawa Timur yang berlaga di ajang olahraga dua tahun tersebut. Mantan Menteri Sosial Kabinet Kerja itu, juga muncul di Stadion Madya, Senayan, Jakarta Selatan, yang menjadi tempat cabang olahraga atletik berlangsung. Khofifah tak canggung duduk di barisan penonton, berbaur bersama pengunjung lainnya.

Gubernur Jawa Timur itu tampak bangga menyaksikan putra-putri muda terbaiknya berlaga di Jakarta. Ia berharap para atlet atletik ini bisa melanjutkan prestasi di ajang nasional hingga internasional. Memang, sejak beberapa tahun terakhir, Pengurus Besar (PB) Persatuan Atletik Seluruh Indonesia (PASI) mendorong atlet-atlet muda untuk berprestasi tak hanya di tingkat regional, tetapi juga prestasi internasional.

Hal ini dibuktikan dengan mengirimkan atlet-atlet muda ke ajang SEA Games 2019 yang berlangsung di Filipina pada 30 November–11 Desember. Menurut Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Atletik Seluruh Indonesia (PB PASI), Mohammad Hasan, dikirimnya atlet-atlet muda bukan untuk mengharapkan medali emas di Filipina, melainkan proses regenerasi atlet.

“Bukan [mengharapkan] medali emas, melainkan Indonesia harus punya 10 atau 20 orang seperti Zohri,” kata pria yang akrab disapa Bob Hasan ini kepada Muhamad Guruh Nuary dari GATRA.

Atlet muda, kata Bob Hasan, juga harus maju. “Tidak perlu target emas, yang penting bisa dapat pengalaman bertanding tingkat internasional,” ucapnya.

***

Salah satu atlet muda yang diharapkan bisa menorehkan prestasi terbaik di masa depan, yaitu Pujiansyah. Puji yang baru 16 tahun ini tuntas menyelesaikan dengan baik nomor lari 2000 meter putra. Atlet berasal dari Kepulauan Bangka Belitung ini pun meraih medali emas di ajang Popnas, yang berlangsung pada Jumat lalu.

Selain Puji, di hari terakhir ajang Popnas, Adit, atlet muda asal Kabupaten Banten, meraih medali emas di ajang lompat tinggi dengan pencapaian 1,94 meter. “Alhamdulillah cukup senang. Persiapan, kan udah lama juga, ya, untuk mematangkan Popnas ini. Persiapan setelah Kejurnas Remaja, dari bulan Agustus, berarti sekitar tiga bulan,” katanya.

“Untuk hambatan sendiri, kaki cedera pas latihan. Tadi juga menghambat, cukup sakit, tetapi dengan kaki sakit begini, alhamdulillah bisa juara,” ujar Adit lagi. Sempat ada larangan dari pelatih untuk melanjutkan perlombaan di ajang Popnas 2019 ini, karena sakit kaki yang dideritanya. Namun ia tetap memaksakan dan menjadi juara. Ia juga berharap, untuk target selanjutnya, bisa lolos limit untuk PON 2020.

Ada pula Juwita Siany Koy yang berhasil menyabet emas di nomor 2000 meter putri. Atlet muda asal Nusa Tenggara Timur ini, meraih pencapaian 7 menit 38 detik. Juwita juga baru 16 tahun. Latihan dan disiplin terhadap asupan makanan menjadi kunci kemenangannya. “Ya latihan keras, dibimbing terus sama pelatih. Sama makan juga harus disiplin, teratur, meski untuk persiapan Popnas ini enggak lama, ya, sekitar satu bulan,” ucapnya.

Ada pula Mariana Rosali, atlet nomor lempar cakram putri, asal Jawa Tengah. Usianya baru beranjak 15 tahun, tetapi ia berhasil meraih emas. Di ajang ini, ia pun sangat bangga bisa melampaui rekor pribadinya. “Kemarin, kan pas Kejurnas, 33 meter. Sekarang bisa 34.23 meter. Target selanjutnya akan lebih fokus lagi latihan yang keras dan lomba selanjutnya ada Kejurnas PPLP. Kalau enggak salah, di Aceh,” ujarnya.



Catatan Medis Atlet Muda

Ajang Pekan Olahraga Pelajar Nasional (Popnas) 2019 yang berlangsung di Jakarta dan di beberapa tempat lainnya pada 18–22 November lalu, banyak menyisakan catatan penting bagi bibit baru atlet, khususnya cabang atletik. Catatan ini datang dari Komisi Medis Pengurus Besar Persatuan Atletik Seluruh Indonesia (PB PASI).

Meskipun tidak terlibat secara langsung mengenai kondisi di lapangan, Komisi Medis PB PASI tetap memonitor para atlet atletik yang sedang mengikuti kejuaraan nasional antarpelajar tersebut. Catatan penting datang dari Ketua Komisi Medis PB PASI, Dr. dr. Ermita Ibrahim Ilyas.

Berdasarkan keterangan Ermita, ada atlet putri yang sangat tangkas dan melebihi atlet putri lainnya. Dalam istilah medis, atlet putri tersebut mengalami differences in sex development (DSD). Kondisi ini biasanya akibat gangguan genetik. Atlet tersebut sejak lahir hingga saat ini menganggap dirinya perempuan, tetapi penampilannya terlihat seperti anak laki-laki kebanyakan.

Selain itu, atlet tersebut juga memiliki kekuatan yang besar dibanding atlet lain seusianya. “Biasanya menunjukkan prestasi yang sangat bagus pada kelompok perempuan seusianya,” kata Ermita.

Pada atlet seperti itu, biasanya ditemukan hormon pria, yaitu testosteron, yang tinggi lebih dari normal. Biasanya pada kondisi normal, perempuan termasuk atlet, mempunyai kadar hormon testosteron di darah 0.12 hingga 1.79 nmol/L. Nilai normal pada laki-laki setelah pubertas, yaitu 7.7 hingga 29.4 nmol/L.

Pada anak perempuan dengan gangguan DSD atau ada tumor, dapat memiliki nilai testosteron tinggi, yaitu sama dengan (=) atau lebih dari (>) 5 nmol/L, bahkan jauh lebih tinggi. Akibat kondisi tersebut, banyak atlet atau pelatih lain merasa tidak fair, sebab atlet tersebut seharusnya berada di kelompok anak laki-laki. “Bertanding bersama atlet perempuan tidak fair, sebab atlet tersebut seperti anak laki-laki,” kata Ermita.

Ermita mengatakan, beberapa tahun belakangan, jika ditemukan atlet yang ditengarai mengalami DSD, panitia penyelenggara kejuaraan akan segera mendiskualifikasinya. Ciri-ciri yang dianggap sebagai DSD, yaitu atlet berperawakan seperti laki-laki meskipun merasa dirinya perempuan dan bentuk alat genitalia eksternal atlet tidak normal. Namun, saat ini peraturan atau regulasi yang ada terhadap temuan seperti itu sudah berubah.

Dengan perubahan regulasi pertandingan, panitia penyelenggara kejuaraan terlebih dahulu harus melakukan pengecekan hormon dan kromosom atau genetik. Sejak 2018, diperkuat dengan penegasan peraturan pada Mei 2019, bila ditemukan atlet demikian, ditetapkan terlebih dahulu apakah atlet tersebut selama ini secara hukum perempuan dan menganggap dirinya perempuan.

Selain itu, pemberlakuan regulasi ini hanya berlaku di nomor terbatas, yakni nomor 400 meter hingga 1 mil atau 1500 meter. Sebab nomor-nomor ini dianggap memberi keuntungan bagi kinerja atau prestasi si atlet yang ditengarai mengalami DSD. “Adanya peraturan ini tidak membatasi kemungkinan atlet akan tetap berprestasi dan fair bagi atlet-atlet lainnya,” ujar Ermita.

145