Home Hukum Mahkamah Partai Emoh Bersidang, Kader PDIP Somasi Megawati

Mahkamah Partai Emoh Bersidang, Kader PDIP Somasi Megawati

Jakarta, Gatra.com - Pengacara Kamaruddin Simanjuntak menceritakan duduk perkara kliennya, Caleg PDI Perjuangan (PDIP) Morlan Simanjuntak, yang dipecat karena tak memberikan sejumlah uang kepada partainya setelah terpilih menjadi anggota DPRD Riau.

Kamaruddin menjelaskan, Morlan mutlak memenangkan kursi DPRD karena mengantongi suara terbanyak di daerah itu. Namun setelah terpilih, ada orang, yang disebut Kamaruddin sebagai utusan Kesekjenan PDIP, meminta sejumlah uang kepada Morlan. Morlan lantas tak bisa langsung memenuhi permintaan itu, ia berjanji baru bisa memberikannya saat gaji bulanannya turun.

"Rupanya jawaban akan membayar setelah gajian itu tidak disuka oleh Kesekjenan, maka keluarlah surat pertama menunda pelantikannya dari Yasonna Laoly selaku Menteri dan juga selaku Ketua DPP Hukum dan HAM dari PDIP," kata Kamaruddin di Bareskrim Polri, Jakarta Selatan, Senin (10/1) malam.

Setelah ditunda, kemudian PDI Perjuangan menerbitkan surat pemecatan yang ditandatangani Ketua Umum Megawati Soekarnoputri dan Sekjen Hasto Kristiyanto. Kamaruddin menyebut, surat pemecatan itu isinya palsu, sebab di butir lima surat itu disebutkan bahwa kliennya dipecat dengan alasan melakukan tindak pidana pemilu dan politik uang.

Surat pemecatan itu pun sudah diklarifikasi atau dibantah oleh Bawaslu Kabupaten Kampar pada 29 Januari 2020 dengan nomor 001/RI/NIK.04/HK.01.00/I/2020. Dalam surat itu disebutkan bahwa Morlan tidak pernah melakukan tindak pidana Pemilu atau politik uang. "Artinya tidak terbukti, karena kalau untuk bisa seseorang dikatakan narapidana kan harus dilapor dulu ke Bawaslu dan Gakkumdu," terang Kamaruddin.

Tak terima pemecatan itu, Morlan pun memberikan kuasa kepada Kamaruddin untuk membereskan kasus itu pada 27 Desember 2019. Sehari setelahnya, Kamaruddin mengajukan gugatan ke Mahkamah PDI Perjuangan. Alasannya, sesuai Undang-undang Pemilu, penyelesaian persoalan politik diselesaikan secara internal di mahkamah partai

"Akan tetapi, karena Ketua Mahkamah parpol ini adalah Yasonna Laoly selaku Ketua DPP Hukum HAM, sampai 10 Januari 2020 tidak disidang-sidang, walaupun sudah berulang kali kami tanyakan kapan sidangnya," ujar dia.

Karena tak kunjung disidangkan, maka Kamaruddin mengirimkan surat somasi pertama kepada Megawati Soekarnoputri dan juga Hasto Kristiyanto. Namun karena tak ditanggapi lagi, Kamaruddin pun mengirimkan surat somasi yang terakhir. Somasi terakhir berbunyi, apabila tidak diselesaikan, maka akan dilaporkan kepada polisi.

Akhirnya pada Senin, 10 Februari 2020, Kamaruddin melaporkan kasus itu di Sentra Pelayanan Kepolisian (SPK) Bareskrim Polri. Kamaruddin menyebut, pihak SPK berani menerima laporan, tetapi mereka meminta dibuatkan format laporan yang harus disertai rekomendasi dari Direktorat Tindak Pidana Umum Subdit 4. Sayangnya, Kamaruddin tak bisa mendapatkan rekomendasi itu.

"Nah, di Subdit 4, salah satu kanit (kepala unit), itu Nur Said tidak mau mengeluarkan rekomendasi karena takut. Takut kepada PDIP. Jadi saya simpulkan bahwa Bareskrim Polri sekarang bukan lagi polisi Indonesia, tapi sudah cenderung menjadi 'polisi PDIP' karna mereka tidak mau mengeluarkan rekomendasi untuk kejahatan pemalsuan," jelasnya.

Padahal, lanjut dia, seluruh bukti sudah dibawa semuanya. Kamaruddin pun mengirimkan pesan WhatsApp kepada Direktur Tindak Pidana Umum,  Direktur Pengawasan Umum, dan Kepala Bareskrim untuk meminta penyelesaian kasus tersebut.

"Saya dari pagi sampai sore ini menghadap ke Dirtipiddum dan kepada Kabareskrim untuk membuat laporan ini, tetapi mereka sepertinya sangat sibuk atau memang ketakutan menerima  laporan saya sehingga tidak ada solusi," keluhnya.

9401