Home Ekonomi Peringatan ke-14 Lumpur Lapindo, Kerugian Tak Hanya Materi

Peringatan ke-14 Lumpur Lapindo, Kerugian Tak Hanya Materi

Jakarta, Gatra.com - Sudah 14 tahun sejak tragedi lumpur Lapindo yang menenggelamkan 16 desa. Penyintas dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jawa Timur, Rere Christanto, akan terus melakukan peringatan tragedi lumpur ini karena menurutnya kerugian belum terbayarkan.

"Pertama, karena kita baru melihat segores awal dari apa yang sebetulnya dialami oleh para korban," katanya di acara Pemutaran Film dan Diskusi Grit di Visinema Campus, Kamis malam (13/2).

"Kita hanya melihat kehilangan tanah dan bangunan sebagai apa yang hilang dari korban lumpur Lapindo. Sesungguhnya yang terjadi adalah kehilangan multi dimensi yang mereka hadapi," lanjutnya.

Baca juga: Ini Perkembangan Ganti Rugi Lapindo Versi Pemerintah

Kehidupan masyarakat Porong seperti dicabut dari tempat tinggal, dipaksa pindah ke tempat lain. Ada banyak hal yang hilang dan tidak semuanya bisa dimulai lagi dari awal.

Di area lumpur Lapindo, ada 30-40 industri besar, saat kawasan itu tenggalam banyak yang kehilangan pekerjaan. Orang-orang lama tidak bisa juga dengan serta merta menjadi pekerja di tempat baru, apalagi dipengaruhi faktor usia yang sudah tidak muda. Mereka tidak bisa mengikuti pergerakan dari pindahan industri ini.

Hak mendapatkan kesehatan dan lingkungan yang sehat juga hilang. Dari riset WAHLI Jawa Timur tahun 2008-2016, menemukan dua jenis logam berat: karnium dan timbal dengan kadar ratusan kali di atas ambang batas yang diperbolehkan.

Juga ditemukan Polisiklik Aromatik Hidrokarbon (PAH) yang ribuan kali di atas ambang batas. Terus menerus keluar semenjak semburan lumpur sampai sekarang. Masyarakat yang bermukim dekat lokasi terpapar sehingga membahayakan kesehatan. WHO mengategorikan PAH sebagai zat kasenogenik yang bisa mememicu kanker.

Marwati, korban lumpur Lapindo di Porong, mengatakan, suaminya yang bekerja di Lapindo terkena kanker tidak lama setelah bencana lumpur. Dijanjikan untuk korban bencana Lapindo mendapatkan pengobatan gratis. Nyatanya, sampai di rumah sakit ditolak dan akhirnya suaminya meninggal tanpa mendapat bantuan.

Marwati juga menceritakan, saat itu ada 25 wanita yang terkena kanker, tidak lama kemudian meninggal dan tidak mendapat jaminan kesehatan.

Adapun hak untuk mendapat pendidikan, dari 44 institusi pendidikan yang tenggelam akibat lumpur Lapindo tidak ada satu pun yang dibangun ulang. SD negeri kemudian dilebur, gurunya dipindahkan, muridnya tidak selalu bisa pindah ke sekolah baru. Yang swasta harus berjuang sendiri, mendirikan ulang sekolah di ruko atau bekas toko bangunan, tidak sedikit yang kemudian tutup.

Baca juga: Pemerintah Serahkan Penyelesaian Korban Lumpur 30 Pengusaha pada Lapindo Brantas

"Hal-hal seperti ini tidak pernah kemudian diakui keberadaannya sebagai hal yang hilang dari korban lumpur Lapindo. Pemerintah selalu hanya berpikir yang hilang cuma tanah dan bangunan, jadi seolah kompensasi dari pembayaran tanah dan bangunan sudah menyelesaikan perkara," kata Rere.

Ketidakmauan pemerintah untuk mengakui hal ini mengakibatkan pemerintah tidak pernah ada usaha memulihkan kembali kehidupan korban lumpur Lapindo.

"Itu kenapa tiap tahun kami terus berjalan bersama teman-teman korban untuk mengingatkan ada banyak hal yang belum selesai dalam urusan kasus Lapindo," tandasnya.

Reporter: FBA

819

KOMENTAR

TINGGALKAN KOMENTAR