Home Hukum LPSK Dinilai Alpa Lindungi Ronny

LPSK Dinilai Alpa Lindungi Ronny

Jakarta, Gatra.com - Peneliti dari Indonesia Justice Watch, Fajar Tri Winarko, mengatakan, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) alpa melindungi mantan Direktur Operasional PT Dutasari Citralaras (PT DCL), Ronny Wijaya.

"Jadi ada kealpaan LPSK yang tak melakukan langkah-langkah perlindungan dan memonitor pengadilan terhadap Ronny," katanya dalam keterangan tertulis, Rabu (26/2).

Menurutnya, Roni telah membantu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membongkar kasus korupsi Pusat Pelatihan Pendidikan dan Sekolah Olahraga Nasional (P3SON) Hambalang, namun harus berurusan dengan hukum terkait kasus pajak.

Ia menduga kasus pajak yang dituduhkan kepada Ronny tersebut merupakan aksi balas dendam atau serangan balik pihak yang dibongkar atau diungkap bersangkutan dalam kasus korupsi P3SON Kementerian Olahraga (Kemenpora).

Ia meminta LPSK untuk mengkaji seluruh pelapor yang sempat diberikan perlindungan dari serangan balik pihak yang sempat dilaporkan kepada KPK. ?LPSK harus mendata berapa jumlah saksi atau lainnya yang sempat mendapat perlindungan demi memastikan mereka menerima serangan balik atau tidak terkait kasus yang dilaporkan.

Sesuai Undang-Undang (UU) Nomor 13 Tahun 2006? tentang Perlindungan Saksi dan Korban, LPSK wajib memberikan perlindungan dan pengawalan untuk memastikan keamanan para pelapor.

Ia pun mendorong agar aparat hukum termasuk Kejaksaaan untuk menghentikan serangan balik kepada para pelapor kasus korupsi yang beritikad baik seperti Ronny Wijaya. Jaksa agung agar segera mencermati dan menghentikan proses penuntutan terhadap Ronny.

Terkait dugaan manipulasi pajak yang dilakukan Ronny, sesuai Pasal 32 UU Ketentuan Umum Tata Cara Pajak menyebutkan tentang pengertian pengurus yaitu adalah orang yang nyata-nyata mempunyai wewenang ikut menentukan kebijaksanaan dan/atau mengambil keputusan dalam menjalankan perusahaan.

"Artinya, penyidik pajak maupun kejaksaan harus menangkap aktor utama yang bertanggung jawab karena telah melakukan manipulasi pajak dan jangan sampai penegak hukum error in persona atau salah tangkap," katanya.

Belum lagi dalam Pasal 66 UU Perseroan Terbatas mengamanatkan apabila RUPS sepakat menerima laporan tahunan yang diajukan oleh direksi, maka mereka dibebaskan dari tanggung jawabnya, tugas atau kewajiban terhadap kegiatan yang telah dilaksanakan (acquit et de charge). Konsekuensinya, direksi tidak dapat dituntut bertanggung-jawab dalam hal terjadinya kerugian yang diderita perseroan.

"Misalnya jika terjadi kekurangan pembayaran pajak, maka perusahaanlah yang seharusnya membayar dan bukan menimpakannya pada direksi," ungkap Fajar.

Menurutnya, jika terjadi kesalahan dan kelalaian direksi dalam penghitungan pajak, maka kesalahan dan kelalaian Direksi dan Dekom telah diambil alih (take over) oleh Perseroan. Termasuk pula jika telah terjadi kerugian, maka kerugian tersebut adalah kerugian perseroan.

Jika LPSK ataupun Kejagung abai terhadap kasus Ronny, Fajar mengatakan situasi ini menunjukkan kepada publik bahwa menjadi whistleblower atau pelapor di Indonesia dapat merugikan pribadi dan keluarga.

"Karena sangat rentan atas pembalasan dan minim perlindungan negara. Dikhawatir kasus-kasus seperti ini akan menyurutkan langkah para calon whistleblower dan para pelapor, khususnya dalam kasus korupsi di Indonesia," ujarnya.

Sebelum ditahan di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang, Ronny sudah membayar denda pelunasan pajak PT Dutasari Citralaras kepada Direktorat Pajak, Kementerian Keuangan (Kemenkeu).

242