Home Hukum Kuasa Hukum Nilai Pidana Pajak Direktur Dutasari Dipaksakan

Kuasa Hukum Nilai Pidana Pajak Direktur Dutasari Dipaksakan

Jakarta, Gatra.com - Kuasa hukum Direktur PT Dutasari Citralaras, Ronin Wijaya; Haris Azhar, mengatakan, pihaknya menilai sangkaan terhadap kliennya dalam perkara pidana perpajakan dan pencucian uang dari tindak pidana perpajakan sangat dipaksakan.

Karena itu, kata Haris di Jakarta, Rabu (12/2), pihaknya menolak proses hukum terhadap Ronin. Pertama, Ronin pernah ditahan oleh Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak pada bulan Desember 2017 lalu, sebagai proses penyanderaan terhadap penanggung pajak (gijzeling) atas utang pajak dari PT Dutasari Citralaras.

"Terhadap hal itu, klien kami sudah melunasi seluruh utang pajak dari PT Dutasari Citralaras dan akhirnya dibebaskan pada bulan Februari 2018," ujar Haris.

Kedua, lanjut advokat atau lawyer dari Kantor Hukum dan HAM Lokataru ini, Ronin disangka melakukan tindak pidana perpajakan berupa penggunaan faktur pajak yang tidak berdasarkan transaksi sebenarnya (faktur pajak fiktif), sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39A huruf a Undang-Undang (UU) Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU Nomor 16 Tahun 2009 (yang selanjutnya disebut sebagai “UU KUP”).

Namun demikian, ujar Haris, terhadap sangkaan tersebut, penyidik Ditjen Pajak sama sekali tidak mempertimbangkan untuk memeriksa terlebih dahulu pihak yang menerbitkan faktur pajak fiktif tersebut, yaitu Direktur Utama PT Dutasari Citralaras, Machfud Suroso.

"Pemeriksaan tersebut menjadi penting untuk membuktikan bahwa faktur pajak tersebut adalah fiktif sesuai dengan yang disangkakan oleh penyidik," ujarnya.

Alasan selanjutnya, atau ketiga, sangkaan penggunaan faktur pajak fiktif terhadap Ronin dilakukan atas periode pajak yang sama dengan periode pajak pada utang pajak PT Dutasari Citralaras yang telah dibayarkan secara lunas oleh Ronin dalam proses penyanderaan pajak.

"Sehingga terhadap klien kami seharusnya tidak dapat dilakukan proses pidana atas permasalahan yang sudah diselesaikan sebelumnya sesuai dengan prinsip ne bis in idem yang diatur dalam Pasal 76 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)," ujarnya.

Keempat, dalam penetapan tersangka terhadap Ronin, penyidik Ditjen Pajak mendasarkan bukti salah satunya pada artikel koran Sindo tanggal 29 Januari 2015 dengan judul “Saksi Ungkap Pemalsuan Audit Machfud”. Pada artikel tersebut, Yahya Novianto selaku auditor dan akuntan publik yang dihadirkan sebagai saksi dalam perkara tindak pidana korupsi dengan terdakwa Machfud Suroso, Direktur Utama PT Dutasari Citralaras, menyatakan bahwa “[Saya] pernah diminta mengeluarkan faktur fiktif. [Tapi] bukan dari Pak Machfud, tapi Pak Roni.”

Menurut Haris, keterangan tersebut berbeda dengan keterangan Yahya Novianto pada Putusan Perkara No: 117/PID.SUS/TPK/2014/PN.JKT.PST, yang menyatakan bahwa “Saksi pernah diminta untuk mencari faktur-faktur pembelian fiktif oleh terdakwa [Machfud Suroso] dan menyanggupi permintaan tersebut.”

Haris melanjutkan, keterangan saksi dalam persidangan dilakukan melalui proses penyumpahan, sehingga terhadap keterangan saksi yang berbeda, yaitu antara keterangan dalam artikel berita dan keterangan dalam persidangan tersebut, keterangan saksi yang diberikan dalam persidangan harus dianggap benar.

"Oleh karena itu, dasar penetapan tersangka oleh penyidik Dirjen Pajak terhadap klien kami berupa artikel berita sebagaimana dimaksud di atas, adalah dasar penetapan yang keliru," ujarnya.

Kelima, Ronin merupakan saksi dalam perkara tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan pemeriksaan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan berkedudukan sebagai whistle blower. Sehingga Ronin turut andil dalam membantu KPK dengan memberikan informasi dalam mengungkap kasus tindak pidana korupsi.

"Sebagai whistle blower, klien kami dilindungi untuk tidak dapat dituntut secara hukum, baik pidana maupun perdata atas kesaksian dan/atau laporan yang akan, sedang, atau telah diberikannya," ujar Haris.

Whistle blower tidak bisa dituntut secara hukum sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 10 Ayat (1) UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban sebagaimana diubah oleh UU Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

Keenam, dalam proses penyidikan atas sangkaan tindak pidana terhadap Ronin, terdapat dugaan tindak pidana pemerasan yang dilakukan oleh oknum jaksa. Dugaan tindak pidana pemerasan tersebut dilakukan melalui permintaan pembayaran sejumlah uang atas beberapa transaksi untuk kepentingan oknum jaksa tersebut.

"Terhadap pembayaran yang dilakukan oleh klien kami, oknum jaksa tersebut menjanjikan akan melakukan pengunduran waktu pemeriksaan klien kami," katanya.

Atas alasan tersebut, ujar Haris dalam keterangan tertulis, pihaknya menuntut Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan RI, dan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, Kejaksaan Agung RI menghentikan proses penyidikan perkara ini.

Selanjutnya, meminta Direktorat Penegakan Hukum, Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu), dan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, Kejaksaan Agung, setidak-tidaknya melakukan penundaan dalam pemeriksaan terhadap klien kami sesuai dengan Surat dari KPK Nomor: R/3292/Hk.06.03/55/08/2019, tertanggal 20 Agustus 2019, sampai dengan proses penanganan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh KPK mendapatkan putusan yang berkekuatan hukum tetap (Inkracht van Gewijsde).

1285